Penetapan Tersangka untuk 7 Warga Masyarakat Adat di Halmahera Timur: Keadilan yang Terpinggirkan
Pertengahan Maret 2024, sebuah tindakan yang mengejutkan dilakukan Polda Maluku Utara. Ketika itu, Polda Maluku Utara menetapkan 7 warga masyarakat adat di Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, sebagai tersangka. Keputusan ini berdasarkan Surat Keterangan dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Utara, yang menuduh ketujuh warga masyarakat adat itu mengganggu kegiatan usaha pertambangan milik PT. Wana Kencana Mineral.
Kabid Humas Polda Maluku Utara, AKBP Bambang Suharyono, mengonfirmasi hal itu kepada pers, hari Kamis (4/4/2024). “Benar (ada penetapan tersangka terhadap 7 orang warga, dan polisi saat ini melakukan) pemanggilan untuk periksa sebagai tersangka,” katanya.
Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh ketujuh warga masyarakat adat tersebut adalah memperjuangkan hak mereka atas tanah ulayat yang telah mereka tinggali selama ini. Mereka merasa bahwa perusahaan telah melakukan pembohongan terhadap publik dan tidak memenuhi kewajibannya kepada masyarakat adat.
Polisi menetapkan 7 orang sebagai tersangka, yaitu Septon Djojong, Estepanus Djojong, Keng Kamariba, Lifas Gorango, Paulus Lasa, Rifo Bobala, dan Oskar Barera. Penetapan tersangka itu adalah buntut peristiwa nyaris tiga tahun lalu. Ketika itu, warga melakukan pemalangan jalan hauling PT WKM (Wana Kencana Mineral) di Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur, pada Oktober 2021. Menurut mereka, aksi warga tersebut sebagai bentuk protes dan menuntut hak atas tanah ulayat ke pihak perusahaan. Sebab, pihak perusahaan dinilai tidak menjalankan kesepakatan yang telah ditanda tangani sebelumnya dengan warga.
Persoalan yang terjadi di antara masyarakat adat dengan korporasi tersebut berkaitan dengan hasil kesepakatan mereka yang belum direalisasikan oleh perusahaan. Kesepakatan itu terkait dana kompensasi lahan dengan pola tanam tumbuh dan lain-lain. Masyarakat yang merasa telah terlalu lama pihak perusahaan belum juga mewujudkan kesepakatan tersebut, lantas menyebut perusahaan itu telah melakukan pembohongan terhadap publik.
Baca juga: Kembali ke Fitrah atau Kembali ke Habit?
Paulus Lasa dan sejumlah warga awalnya menjalani pemeriksaan di Polsek Wasile Selatan pada 22 November 2022. Pada 18 Januari 2023, mereka menerima surat panggilan sebagai saksi. Pada 22 Januari 2023 mereka kembali dipanggil untuk diperiksa di Polsek Wasile Selatan. Lalu ada gelar perkara yang dilakukan di Ditreskrimsus Polda Maluku Utara pada 19 Januari 2024. Pada 18 Maret 2024, polisi mengeluarkan surat penetapan tersangka sekaligus panggilan pertama. Panggilan kedua dikeluarkan tanggal 29 Maret 2024.
Ini bukan hanya masalah hukum biasa. Ini adalah cermin dari tidak seimbangnya kekuatan antara rakyat kecil dan korporasi besar. Kebijakan yang tampaknya berpihak kepada korporasi sudah mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah ada sejak zaman dahulu. Dan kebijakan itu hanya akan semakin memperburuk kesenjangan sosial.
Kami, sebagai warga negara yang peduli keadilan, tak bisa hanya diam. Kami akan mengambil tindakan nyata dalam bentuk aksi demonstrasi di depan Mabes Polri untuk menuntut keadilan bagi ketujuh warga tersebut. Kami akan meminta Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kapolda Malut, Midi Siswoko, dari jabatannya. Sebab, ia diduga bermain mata dengan pihak korporasi sehingga berpihak kepada mereka.
Kami juga mendesak Kementerian ESDM untuk segera mencabut izin usaha pertambangan dari PT. Wana Kencana Mineral, yang telah merugikan dan menyengsarakan masyarakat. Sudah terlalu lama tanah adat tergusur tanpa proses ganti rugi yang layak. Dan ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Kami akan terus berjuang untuk keadilan dan melawan ketidak adilan yang terjadi di Halmahera Timur. Kami tidak akan berhenti sampai suara mereka didengar dan hak-hak mereka diakui. Sebab, dampak ekspansi tambang nikel tak hanya mengancam tanah adat, tetapi juga keberlangsungan hidup mereka.