Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 1): "Pak SBY Menelponku"

"Sebuah artikel istimewa yang hanya ada di Sabili.id. Dituturkan langsung oleh pelakunya, Dr. Abdullah Hehamahua selama memegang amanah sebagai Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi. Tulisan ini akan kami hidangkan kepada pembaca setia Sabili secara berkala. Ada banyak fakta menarik yang selama ini tidak bisa menjadi konsumsi publik, bisa diiintip dari penuturan beliau ini. Berikut, seri pertama dari kisah beliau. Selamat menikmati."

Pak SBY Menelponku

Telepon di atas meja kerjaku berdering. Kutatap jam dinding. Jarum jam menunjuk pukul 19.00. Saya tertegun! “Siapa yang telepon kantor malam-malam begini,” batinku. Jangan-jangan ada berita duka. Kuraih gagang telepon.

“Pak Abdullah, saya ajudan pak SBY,” suara dari gagang telepon. Saya agak terkejut. “Pak SBY mau bicara,” sambung suara di seberang sana. “Ada apa, Pak SBY sebagai Menko Polkam menelpon malam-malam ke kantor KPKPN. Apakah karena saya tidak punya HP? Atau karena di rumah mertua, tidak ada telepon?” Khayalanku berhenti ketika kudengar suara pak SBY. “Begini pak Abdullah,” SBY memulai percakapan. “Tadi saya sudah menghadap ke ibu Presiden. Saya sampaikan bahwa, orang yang pantas jadi Ketua KPK adalah pak Abdullah Hehamahua. Jadi saya harap pak Abdullah bersedia,” kata SBY. “Saya harus istikharah dulu pak,” jawabku singkat.

KPK lahir, KPKPN Bubar

Tap MPR No. XI/1998 melahirkan dua undang-undang. Pertama, UU No.28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari KKN. Undang-undang ini yang melahirkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Kedua, UU No. 31/99 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang inilah yang melahirkan UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ada satu hal positif dari pemerintahan orde baru: Hampir semua undang-undang memiliki naskah akademik yang relatif baik. Salah satu penyebabnya, anggota DPR yang bertanggung jawab dalam membahas suatu RUU adalah dosen. Mereka adalah doktor dan profesor yang menguasai disiplin ilmu masing-masing. Kini, tidak ada anggota DPR yang dosen PNS. Sebab, UU tidak membenarkan PNS menjadi caleg. Olehnya, sering dijumpai suatu undang-undang digugat ke MK.

UU pada masa orde baru, sekalipun memiliki naskah akademis yang relatif baik, tapi selalu ada pasal kontradiktif. Pasal ini disiapkan sebagai emergency exit bagi para pejabat oportunis, akibatnya merajalelalah salah urus pemerintahan KKN.

UU No. 28/99 disusun dalam suasana eforia reformasi. Olehnya, isinya sangat menjanjikan pemberantasan korupsi secara sigifikan melalui proses pencegahan. Anggota DPR warisan orba menganggap, sekalipun UU tersebut sangat progresif, tapi ia tidak akan dioperasionalkan anggota KPKPN. Sebab, itulah pengalaman mereka sewaktu orde baru. Undang-undang hanya disimpan di etalase kekuasaan. Bukan untuk dipraktikkan. Ternyata, sebagian besar anggota KPKPN adalah orang “gila.” Mereka secara konsekwen melaksanakan isi UU tersebut.

Salah satu bukti “kegilaan” Komisioner KPKPN, mereka mempermasalahkan status rumah yang dimiliki Wakil Presiden, Megawati dan Jaksa Agung. Temuan KPKPN ini menggegerkan PDIP dan Senayan. Akhirnya, menggelinding bola liar ketika terjadi pembahasan RUU No.30/2002 tentang KPK. Tetiba, dalam pembahasan RUU ini, lahir pasal tentang pembubaran KPKPN. Singkat cerita, KPK lahir, KPKPN bubar. KPKPN dianggap sebagai Lembaga Negara yang membahayakan eksistensi anggota legislatif dan PN.

Berunding dengan Ketua MPR

Semua Pimpinan Lembaga Tinggi Negara telah melaporkan harta kekayaan mereka. Hanya LHKPN Presiden Megawati yang belum disahkan Sub-Komisi Eksekutif. Penyebabnya, Megawati tidak mau mengisi nilai barang-barang antiknya. Alasannya, beliau tidak bisa menakar nilai barang-barang antik tersebut.

Pimpinan KPKPN, sesuai SOP, harus mengumumkan LHKPN di Tambahan Berita Negara (TBN). Kegiatan tersebut tertunda. Sebab, harus menunggu LHKPN Presiden Megawati. Dalam situasi seperti itu, Pak Yusuf Syakir, Ketua KPKPN harus berangkat ke Amerika Serikat untuk suatu tugas selama sebulan. Saya ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPKPN. Saya pun langsung menghunus pedang penegakkan hukum.

Kuumumkan, jika Presiden Megawati tidak segera melengkapi isian LHKPN-nya, akan kupanggil Ketua MPR. Sebab, Ketua MPR waktu itu, Taufiq Kiemas adalah suami Presiden Megawati. Dalam ketentuan, harta kekayaan suami dan isteri sama jenis dan nilainya. Saya sebagai Ketua Sub-Komisi Legislatif akan menggunakan kewenangan yang ada untuk memanggil Ketua MPR. Keesokannya, Ketua MPR menghubungi Sekjen KPKPN. Beliau minta mau menjumpaiku. Kiatku berhasil.

Kudatangi Gedung MPR, seorang diri. Lorong menuju ruangan kerja Ketua MPR, dipenuhi pemuda-pemuda berseragam hitam-hitam. Terkesan seakan-akan kita memasuki markas gerilyawan. Atau kita memasuki pedepokan silat di tengah hutan. “Pak Abdullah, ayahku juga orang Masyumi,” ucap Taufiq Kiemas sewaktu kami bersalaman.  “Apa urusannya?” batinku. Memang, Pemilu 1955, Masyumi menang di 10 dari 14 daerah pemilihan. Daerah-daerah yang dimenangkan tersebut adalah seluruh Sumatera, Jawa Barat (termasuk Banten), Kalimantan, NTB, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), dan Maluku (termasuk Maluku Utara) kecuali Maluku Tenggara.

“Pak Abdullah masih pimpin Masyumi?” pak Taufiq mengusik khayalanku. Tidak kujawab pertanyaannya. Sebab, saat itu, saya sedang menjalankan tugas sebagai Wakil Ketua KPKPN, bukan Ketua Umum DPP Partai Masyumi. Kubuka langsung LHKPN milik Presiden Megawati. Sebagai Ketua Tim Penyusunan Kode Etik KPKPN, saya harus taat asas. Tidak boleh mencampur-adukan tugas negara dengan urusan pribadi, golongan atau partai.

“Begini pak Taufik,” saya memulai percakapan. “Sejatinya, kami dapat langsung menerbitkan hasil LHPKN di TBN sekarang juga. Namun, hal itu akan mencederakan citra presiden,” lanjutku. Kujelaskan, jika LHKPN semua Ketua Lembaga Tinggi Negara, termasuk Wakil Presiden Hamzah Haz diumumkan sementara milik Megawati belum ada, hal itu akan mencederakan kredibilitas presiden. “Olehnya, nanti malam, di tempat tidur, pak Taufiq meyakinkan ibu Mega agar mau mengisi nilai barang-barang antik tersebut,” kataku. Taufiq Kiemas berdalih, mereka tidak bisa memperkirakan nilai barang-barang antik tersebut. Kujelaskan, di Jakarta ada tenaga pakar yang bisa menilai harga suatu barang antik.  Taufiq Kiemas setuju. Beberapa hari kemudian, harta kekayaan para pimpinan Lembaga Tinggi Negara, termasuk Presiden Megawati, diterbitkan dalam Tambahan Berita Negara.

Kutolak Permintaan SBY

Sekjen KPKPN, Amir Muin, super sibuk. Beliau, setelah tau kalau SBY menelponku, mengumpulkan berkas-berkas mengenai pendaftaran Calon Pimpinan KPK, edisi pertama, 2004. Saya pun mengisi formulir tersebut. Tetiba, saya tertegun. Ada formulir “Surat Kelakuan Baik.” Saya tidak mengisinya. Kukatakan, surat keterangan ini, warisan orde baru. Pada waktu itu, seseorang datang ke kantor Polsek, membayar sejumlah uang lalu memiliki Surat Kelakuan Baik. Jadi, seseorang dinyatakan baik hanya dengan selembar surat dari Polsek. Itu pun setelah membayar sejumlah uang. Surat Kelakuan Baik ini, menurutku, menghina Lembaga Negara, KPKPN. Saya sebagai Wakil Ketua Lembaga Negara yang sudah melalui fit and proper test di DPR, kok dimintai Surat Kelakuan Baik.

Ada pula formulir lain yang tidak kuisi. Bahkan, ia menjadikan saya berhenti ikut proses seleksi pimpinan KPK. Formulir itu berupa surat lamaran. Kukatakan ke salah seorang anggota KPKPN, Nabi Muhammad melarang memberi jabatan ke orang yang meminta. Jika kuajukan surat lamaran tersebut, berarti saya meminta jabatan.

“Kan Yusuf meminta diberi jabatan Bendahara Mesir,” kata kawan anggota KPKPN. “Yusuf seorang Nabi. Apa yang dilakukannya dalam skenario Allah SWT. Saya bukan nabi,” kataku dengan tegas. “Kok pak Abdullah mau jadi Komisioner KPKPN,?” kawan ini masih belum mengalah. Kukatakan, saya tidak melamar untuk menjadi Komisioner KPKPN. Saya diminta dan diajukan oleh Pansel sendiri. “Kan kita harus bekerja untuk menafkahkan diri dan keluarga,” ngotot kawan ini lagi. Kujelaskan, bekerja dan menjemput rejeki bagi seorang laki-laki wajib hukumnya. Sebab, dia harus mememuhi kebutuhan hidup sehari-hari dirinya dan keluarganya. Bukan meminta jabatan.

Akhirnya, permintaan SBY agar saya mau jadi Ketua KPK, kutolak dengan cara tidak ikut proses seleksi.

Menjadi Penasihat KPK

Beberapa waktu setelah pelantikan Pimpinan KPK edisi satu, Taufiequrachman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua dan Wakil Ketua KPK, bersilaturrahim ke kantor KPKPN. Ketua, Yusuf Syakir dan saya menerima mereka berdua. Inti pembicaraan, saya diminta untuk menjadi Penasihat KPK. Kuterima dengan dua syarat. Pertama, saya harus selesaikan tugas di KPKPN terlebih dahulu. Kedua, saya tidak mau mengajukan surat lamaran.

Kedua syaratku diterima. Sebab, proses seleksi Penasihat berbeda dengan Pimpinan KPK. Calon Penasihat KPK dapat diajukan pihak lain, baik universitas maupun LSM. Dua Lembaga Hukum dari dua universitas yang berbeda di Jakarta mengusulkan namaku untuk menjadi Penasihat KPK. Setelah terbit Keppres pengakhiran eksistensi KPKPN dan para komisionernya, baru kuikuti proses seleksi Penasihat KPK. Tiga hal yang harus dipenuhi: Tes Kesehatan; Pembuatan Makalah; dan fit and proper test. Dari sekitar 300-an calon, dua orang dinyatakan lulus.

Biro SDM KPK melakukan rekrutmen gelombang kedua. Sebab, undang-undang menetapkan, Penasihat KPK sebanyak empat orang. Ternyata, seleksi gelombang kedua, tidak ada yang terpilih. Pimpinan KPK, berdasarkan prinsip efisiensi dan efektifitas, memutuskan, cukup dua Penasihat yang dilantik. Maret 2005, saya dan Surjohadi Djulianto, purnawiran Kemenkeu dilantik sebagai Penasihat KPK. (Wonosobo, 12 Februari 2023).

Bersambung...

Judul Episode Selanjutnya

Pengalaman 8 Tahun Menjadi Penasehat KPK (Bagian 2): “Dari Bus Kota hingga Avanza”
Perilaku Abah Natsir langsung menginspirasiku. Saya langsung berjalan ke arah halte bus di Jalan Juanda. Kutumpangi bus kota PPD.