Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Pelajar, Di Mana Nalar Pemerintah?
Presiden Joko Widodo telah secara resmi menanda tangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan, pada Jumat, 26 Juli 2024. Tetapi, PP tersebut kini memicu kontroversi. Sebab, dalam aturan terbaru itu turut diatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa sekolah dan remaja.
Aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi dibahas dalam pasal 103 PP No 28/2024. Secara umum, pasal itu membahas mengenai edukasi kesehatan reproduksi, menjaga kesehatan reproduksi, perilaku seksual berisiko dan akibatnya, serta tentang perilaku melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual. Khusus tentang alat kontrasepsi muncul dalam ayat 4 yang berbunyi: “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 paling sedikit meliputi:
- Deteksi dini penyakit atau skrining
- Pengobatan
- Rehabilitasi
- Konseling
- Penyediaan alat kontrasepsi”
PP baru ini kontan menuai banyak sekali kontroversi. Menanggapi kontroversi yang muncul terkait aturan baru tersebut, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati, menyebut, pemerintah harus segera merevisi PP Nomor 28 Tahun 2024 itu. Khususnya terkait aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi.
Menurut Kurniasih, sebagai regulasi UU Kesehatan yang merupakan regulasi omnibus, PP tersebut justru tidak menyederhanakan peraturan dan menimbulkan tafsir regulasi yang berbahaya. Kementerian Kesehatan beralasan, aturan tentang alat kontrasepsi tersebut dikhususkan bagi remaja yang sudah menikah dan teknisnya akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan.
“Jika masih harus menunggu Permenkes, sama sekali tidak menyederhanakan regulasi. UU Kesehatan dibuat dengan sistem Omnibus dengan dalih menyederhanakan regulasi, namun aturan turunanya malah harus berbelit-belit dan birokratis. Kita dorong untuk revisi di tingkat PP agar tidak menimbulkan tafsir liar,” kata Kurniasih.
Kurniasih yang juga Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga itu melanjutkan, salah satu tafsir liar yang ia maksud adalah pembolehan remaja melakukan hubungan seksual di luar pernikahan asalkan menggunakan alat kontrasepsi dengan dalih pelayanan kesehatan reproduksi. “Dari data yang ada, seks bebas di tingkat remaja semakin mengkhawatirkan dengan konsekuensi negatif yang semakin meningkat,” tuturnya.
Kurniasih menyebut, menurut catatan BKKBN bahwa pada remaja usia 16-17 tahun sebanyak 60 % telah melakukan hubungan seksual, usia 14-15 tahun sebanyak 20 persen, dan usia 19-20 tahun sebanyak 20 persen. Salah satu ekses negatif dari perilaku seks bebas itu adalah semakin tingginya angka aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
“Angka seks bebas yang naik pasti diikuti oleh ekses negatif seperti kasus aborsi dan penularan penyakit seksual yang naik. Ini kita bicara dari sisi kesehatan. Maka, dibanding menunggu munculnya aturan turunan dari Kementerian, Pemerintah harus secara lugas dan jelas merevisi pasal penggunaan alat kontrasepsi bagi remaja sesegera mungkin,” tegas Kurniasih.
Tanggapan atas keluarnya PP baru tersebut juga datang dari Aktivis PERCIK (Perempuan Cinta Keluarga), Anila Gusfani. Ia menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar sebagai sebuah kebijakan yang tidak masuk akal. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka akan menjadi suatu hal yang sangat berbahaya. Hal itu berarti pula pemerintah memberikan fasilitas terhadap pelajar untuk terus menerus secara kontinu melakukan hal-hal asusila di luar norma agama dan sosial yang berlaku.
“Saya terus bertanya-tanya, sebenarnya grand design pemerintah terhadap anak-anak Indonesia tuh seperti apa, ya? Apa goal utama pendidikan untuk anak-anak Indonesia? Menjadikan mereka anak yang siap bekerja dan mencari uang saja tanpa memiliki budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama? Beginikah?” tutur Anila Gusfani kepada Sabili.id.
Alumnus Sekolah Pemikiran Islam, Jakarta, ini melanjutkan, sebetulnya kebijakan ini tidak berdiri sendiri dan tak muncul secara tiba-tiba. Sebelumnya, masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dengan upaya-upaya perusakan moral dan nilai-nilai bangsa yang secara kasat mata pengemasannya terlihat “baik”. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ternyata merusak.
“Contohnya, kita pernah hampir terkecoh oleh salah satu pasal dalam RUU-PKS, dengan bahasa pasal yang multitafsir, sulit dipahami, dan yang pasti ada misi terselubung di dalamnya. Sungguh menyedihkan. Padahal, salah satu poin yang merusak tersebut memiliki unsur melegalkan LGBT, melakukan perbuatan seksual tanpa adanya ikatan pernikahan, serta hal yang tak bermoral lainnya,” katanya.
Menurut Anila Gusfani, kebijakan baru tersebut hanya akan menambah panjang daftar kasus hubungan seks di luar pernikahan. Apalagi untuk remaja dan pelajar.
“Tanpa difasilitasi oleh alat kontrasepsi pun kasus seks di luar pernikahan (PMS) atau seks bebas yang dilakukan pelajar dan remaja masa kini sudah sangat banyak dan terbukti, merusak pola pikir generasi dan mengancam ketahanan keluarga. Jadi, pengesahan kebijakan tersebut hanya akan menambah panjang daftar kasus hubungan seks di luar pernikahan atau seks bebas yang dilakukan oleh remaja. Pada akhirnya, Indonesia Darurat Kerusakan Moral,” urainya.
Hal senada dikatakan Aktivis Muslimah yang juga Mantan Ketua Bidang Perempuan Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonsia (PP KAMMI), Emas Rahayu. “Penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar ini sangat absurd dan disorientasi. Pasalnya ini alih-alih menjadikan para pelajar dan remaja sebagai generasi penerus bangsa menjadi insan yang mulia, berbudi pekerti luhur, bertaqwa, sebagaimana tujuan pendidikan nasional, (peraturan itu) malah memberi peluang untuk ‘main api’ atau melakukan perilaku seks yang berisiko,” jelasnya dalam wawancara dengan Sabili.id.
Emas menilai, muatan PP yang ditanda tangani Presiden Joko Widodo itu tidak memiliki penjelasan yang jelas, sehingga akan menimbulkan persepsi yang multitafsir. Bisa saja orang memahaminya bahwa alat kontrasepsi tersebut disediakan sebagai fasilitas agar hubungan seks terasa “aman”.
“Pemerintah tidak memberi peluang kepada generasi muda untuk menganut prinsip sexual consent, di mana ini merupakan implikasi dari CSE yang harus kita kritisi sebagai generasi muslim. Karena akibatnya, generasi muda merasa bahwa perilaku consent dalam hubungan seks itu merupakan suatu hal yang wajar dan dilindungi UU. Ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut,” urainya.
Maka, edukasi terhadap anak-anak bangsa tentang bahaya dan risiko perilaku seks bebas harus terus berjalan. Termasuk tentang dosa zina yang tak sanggup kita tanggung di akhirat kelak, rusaknya hubungan keluarga, risiko penyakit menular, merusak garis keturunan, dan lain sebagainya. Ia menguraikan, saat ini urutan penanggulangan seks bebas adalah:
- Deteksi dini penyakit atau skrining: ok
- Pengobatan: ok
- Rehabilitasi: ok
- Konseling: ok
- Penyediaan alat kontrasepsi: TIDAK OK
Di poin keempat, seharusnya: Konseling hingga bertaubat dan kembali hidup dengan bekal nilai-nilai agama dan moral yang kuat.