Perempuan Gaza: Korban ataukah Memang Target Pembantaian?
Menjelang akhir tahun 2023, dikutip dari laman Al Jazeera, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan 21.822 korban tewas selama perang meletus dari 7 Oktober 2023 lalu. Sebanyak 56.451 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka dengan perawatan seadanya.
Data 2 minggu sebelumnya saat total korban meninggal mencapai 18.000 orang, sejumlah 70% dari korban tersebut adalah kaum perempuan dan anak-anak. Mereka tentu saja bukan tentara dan tidak ikut berperang. Tetapi justru menjadi korban terbanyak.
Wajar jika banyak pihak menuding penjajah Zionis Israel tengah melakukan genosida. Meski pihak Israel dengan keras menampiknya, fakta-fakta di lapangan menunjukkan apa yang tengah terjadi sesungguhnya lebih mendekati upaya pembantaian massal dan bertujuan memunahkan rakyat Gaza.
Mengutip data dari UN OCHA atau Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusian tertanggal 8 Desember 2023, korban meninggal dunia 70% adalah perempuan (5.153 jiwa) dan anak-anak (7729 jiwa). Lebih lanjut, sebuah NGO asing berskala internasional, Action Aid, pertengahan Desember lalu memiliki estimasi yang lebih memiriskan. Menurut mereka, lebih dari 3 perempuan tewas pada setiap jam di Gaza.
Lembaga-lembaga kemanusiaan internasional dari berbagai kawasan di dunia telah mengutuk keras sikap penjajah Israel yang membabi buta dalam melakukan serangan terhadap warga sipil. Tetapi Isreal yang keras kepala tampak tak peduli dengan kutukan tersebut. Tindakan tak manusiawi terus saja mereka lakukan. Dunia hanya bisa mengecam. Korban anak-anak dan perempuan terus saja meningkat jumlah kematiannya, tanpa bisa dibendung.
Lucunya, pemerintah Amerika Serikat yang menyebut diri sebagai negara paling demokratis, juaranya dalam menyerukan HAM, justru berkomentar miring atas jumlah korban warga Palestina. Presiden Amerika, Joe Biden, meragukan data dari otoritas Palestina terkait tingginya korban akibat serangan Israel ke Gaza. Ia malah percaya data sebaliknya, di mana anak-anak Israel banyak yang jadi korban serangan HAMAS. Nampaknya, aktor-aktor penting di PBB tak sepenuhnya memandang krisis kemanusiaan yang menimpa anak-anak dan perempuan Gaza sebagai hal serius. Ada standar ganda di sana!
Baca juga: Biadab! Israel Mencuri Organ Tubuh Jenazah Penduduk Palestina!
Korban atau Target?
Adalah layak untuk mempertanyakan fakta ini. Apakah anak-anak dan perempuan di Gaza sekadar korban perang atau sesungguhnya mereka memang target penting dari peperangan ini? Artinya, apakah Israel memang tengah melancarkan perang yang radikal dan memutus sumber perlawanan HAMAS dari akar-akarnya dengan membantai kaum perempuan dan anak-anak?
Kita tahu, dari rahim para wanita inilah lahir para mujahid yang tak akan berhenti melakukan perlawanan dan mengusik kenyamanan penjajah Israel. Dari para wanita muslimah inilah, madrasah pertama jihad Islam diajarkan dan dijalankan. Maka, patut diduga, Israel memandang rahim para muslimah di Palestina dan khususnya di Gaza adalah “pabrik-pabrik” mujahidin yang rela mati untuk membela Al-Aqsa dan tegaknya izzul Islam wal muslimin. Rahim mereka yang subur dan penuh keberkahan tak henti melahirkan para mujahid untuk memasok serdadu bagi sayap militer Al-Qasam.
Perempuan-perempuan itu pula yang mendidik anak-anak mereka untuk rindu surga, mendendangkan syair kepahlawanan dari kakek, ayah, paman, dan semua kerabat mereka yang telah syahid! Para perempuan Gaza ini meninabobokan putra-putra mereka dengan kidung kepahlawanan dan kesyahidan.
Penjajah Israel yang memiliki kekuatan pabrik senjata tak memiliki pabrik pahlawan, yang tak takut mati, bahkan rindu kematian di jalan Allah. Apalah artinya kecanggihan teknologi perang Israel di tangan serdadu yang takut mati bahkan takut perang!
Kiranya alur pikir ini dapat menjadi argumen untuk menuduh penjajah Israel sengaja menjadikan para wanita dan anak-anak sebagai target peperangan. Ya, mereka ingin menyudahi perlawanan HAMAS dari pabrik serdadunya langsung: para muslimah Gaza dan anak-anak Gaza yang sebentar lagi akan mampu memikul senjata melawan mereka.
Fakta di lapangan juga menunjukkan betapa dugaan pembunuhan atas anak dan perempuan adalah strategi perang penjajah Israel. Tragedi Tal Zaatar adalah salah satu fakta paling aktual sekaligus brutal. Betapa pembunuhan atas perempuan dan anak-anak adalah bagian dari strategi perang yang direncanakan secara sistematis oleh penjajah Israel laknatullah. Sebagaimana diwartakan Al-Jazeera, 30 Desember 2023, seorang saksi mata bernama Anas Al-Syarif menyaksikan 4 wanita Gaza yang tengah hamil ditembak mati oleh serdadu Israel, jenazahnya mereka hinakan dengan melindasnya menggunakan buldoser, tanpa memakamkannya.
Apa perlunya tindakan yang amat tak manusiawi itu harus mereka lakukan? Jelas, itu semua adalah bagian dari teror dan genosida terrencana. Jadi, anak-anak dan perempuan memang target perang yang dilancarkan Israel, bukan sekadar korban. Jika mereka tak berkenan atas tuduhan itu, maka berhentilah membunuh anak-anak dan perempuan!
Baca juga: Mantan Jenderal Zionis Israel: Tentara Memberikan Angka “Palsu” tentang Kematian Hamas di Gaza
Keajaiban Perempuan Gaza
Allah Maha Agung dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Di tengah konflik yang telah berlangsung puluhan tahun dan mungkin akan terus berlanjut hingga kiamat datang nanti, dimana banyak kaum laki-laki yang syahid, Allah berkenan menganugerahkan rahim yang subur kepada muslimah di Gaza. Perempuan yang selalu melahirkan mujahid.
Perempuan-perempuan yang terbiasa kehilangan pribadi-pribadi yang mereka cintai. Perempuan yang akrab dengan kematian, mereka melihat ayah mereka syahid sejak perempuan itu masih anak-anak. Mereka kehilangan kakak laki-lakinya tewas di tangan serdadu Isreal. Tak lama kemudian, mereka kehilangan pula adik laki-lakinya.
Perempuan yang penuh keajabain. Perempuan yang lapang hatinya untuk kehilangan belahan hati dan buah hati, perempuan yang memiliki daya survival melebihi perempuan mana pun di dunia ini. Lihatlah, senyum bahagia mereka tetap merekah di tengah puing kehancuran.
Keajaiban itu seperti terbukti, saat ibu muslimah muda berusia 28 tahun bernama Iman al-Masry, di tengah pengungsian, melahirkan 4 bayi kembar. Dua laki-laki dan dua perempuan. Lahir tanggal 28 Desember 2023 kemarin, sebagaimana diwartakan media massa di seluruh dunia.
Sebelumnya, New York Times sebagaimana dikutip oleh metrotvnews, mewartakan seorang ibu berusia 26 tahun bernama Nahla Abu Elouf yang juga melahirkan anak kembar dua di tengah kecamuk perang. Kedua-duanya perempuan.
NBC news juga mewartakan kisah yang lain. Kali ini terjadi atas pasangan Hanan dan Fathi Beyouq. Mereka melahirkan 3 anak kembar pada Agustus lalu. Karena kehamilannya yang berisiko, Fathi dan Hanan diperkenankan oleh Israel untuk keluar dari Gaza dan menjalani persalinan di Yerussalem untuk beberapa waktu. Karena izin yang terbatas inilah, suami–istri tersebut harus pulang ke Gaza untuk mengurus kembali perizinan, sementara anak-anak tetap dirawat di Rumah Sakit karena lahir prematur. Sayang, perpisahan yang direncanakan hanya sebentar itu ternyata menjadi berlarut. Perang keburu meletus dan Gaza diblokade Israel. Pasangan itu harus terpisah dengan 3 buah hatinya.
Saat perempuan-perempuan di negara-negara lain berbinar matanya oleh petasan dan kembang api di tahun baru, perempuan Gaza telah bertahun-tahun menikmati pijaran mortir, rudal dan roket. Apalah artinya kembang api bagi perempuan Gaza, dibanding pijar harapan untuk melahirkan sebanyak mungkin para mujahid yang akan membela kehormatan mereka di dunia dan memuliakan mereka di akhirat.