Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 1): Hanady Al Halawani
“Selama bertahun-tahun, hidupku adalah Al Aqsa, namun penjajah merampasnya dariku”
Hanady Al Halawani adalah seorang aktivis Muslimah Palestina yang tinggal di Yerusalem. Hanady tinggal dan besar di lingkungan Masjidil Aqsa. Namun sudah hampir 5 tahun, penjajah memblokir serta melarang dia untuk berkunjung dan berdoa di Masjidil Aqsa. Sejak tahun 2015, ia terus ditekan oleh penjajah dan mengalami kekerasan fisik serta pengusiran. Penjajah terus menarget para pembela Masjidil Aqsa, tempat suci di Palestina.
Sejak kecil, Hanady sering diajak neneknya ke Masjidil Aqsa. Neneknya sering kali menceritakan bagaimana kejinya penjajah membunuh kerabat dia saat peristiwa Nakba 1948. Yerusalem selalu menjadi inti proyek dari Zionis. Hanady biasa bertanya kepada neneknya, “Bagaimana saya bisa mengabdi kepada Al Quds dan Al Aqsha?”
Neneknya menjawab, “Bersihkan”.
Setelah dewasa, Hanady lantas memahami bahwa yang dimaksud neneknya dengan kata “Bersihkan” itu adalah membersihkan Al Quds dari perampasan dan penjajahan Zionis.
Hanady menganggap Masjid Al Aqsa sebagai tempat untuk berdoa, bermeditasi, dan membaca Al Qur’an. Tempat itu tenang dan damai. Tempat di mana tidak ada jamaah bersuara keras. Selain untuk berdoa, Al Aqsa juga merupakan tempat untuk bersantai. Para jamaah kerap pergi ke Al Aqsa untuk sekadar melepas beban sambil menikmati betapa megahnya masjid ini.
Upaya penjajah untuk mengambil Al Aqsa sudah dimulai sejak 23 tahun lalu, selama Intifadha kedua, dan secara keji terus melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina. Mereka juga membatasi siapa pun yang datang ke Al Aqsa.
Di bulan September 2000, pemimpin oposisi saat itu, Ariel Sharon, menyerbu kompleks Al Aqsa. Para jamaah marah, pemberontakan dan penindasan yang dilakukan selama lima tahun itu menewaskan ribuan orang. Yang lebih keji, penjajah terus melakukan penyerbuan terhadap Al Aqsa bahkan ketika di bulan suci Ramadan. Mereka memperlakukan jamaah dengan brutal. Hal ini merupakan pemandangan yang tidak bisa dilupakan oleh Hanady.
Lantas bagaimana sikap internasional terhadap kejadian ini? Hambar. Apakah reaksi internasional sama hambarnya jika pelanggaran seperti ini terjadi di tempat ibadah lain di dunia? Apakah negara-negara masih terus diam dan bungkam? Kejadian yang sungguh mengerikan yang dialami Hanady kecil membuat tekadnya semakin kuat untuk membebaskan Al Quds. Dan semakin kuat setiap harinya.
Pada tahun 2011, Hanady mulai rutin mengunjungi kompleks Al Aqsa setiap hari sebagai seorang guru. Ia bekerja di bawah lembaga di dalam kompleks tersebut yang dikenal sebagai Amaret Al Aqsa. Lembaga yang beroperasi di bawah naungan Gerakan Islam di wilayah yang dijajah Israel pada tahun 1948.
Kegiatan pembelaran ini bertujuan untuk menghidupkan kembali praktik-praktik di halaman kompleks Masjidil Aqsa. Para siswa akan duduk melingkar di sekitar guru mereka untuk mempelajari Islam. Dan Hanady ditujuk sebagai koordinator kegiatan pembelajaran ini. Tahun 2011 dengan jumlah 50 siswi, lalu bertambah sejak 2015 mencapai 650, ditambah lagi 650 laki-laki. Usia mereka berkisar antara 18 hingga 70 tahun. Di dalamnya termasuk remaja, ibu-ibu, dan nenek-nenek.
Selama 10 tahun, kompleks Masjidil Aqsa menjadi bagian utama dari kehidupan Halawany. Bahkan, di akhir pekan, setiap hari Jumat, ia selalu mengajak anak-anaknya untuk menghabiskan waktu di Masjidil Aqsa. Melakukan kegiatan apa pun. Mulai membaca Al Qur’an, belajar, shalat berjamaah, hingga bermain. Dari dzuhur, magrib, sampai isya.
Namun, di tahun 2015, hidupnya berubah drastis. Penjajah melarang semua gerakan Islam dan menutup semua program-programnya dalam kompleks Masjidil Aqsa, mengusir paksa serta menganiaya orang-orang yang aktif. Sejak saat itu, selama 6 bulan berturut-turut, Hanady terus menerus dikenai perintah pengusiran. Penjajah menangkap dan menginterogasi dia lebih dari 30 kali, menginterogasi keluarganya, termasuk suami dan anaknya. Penjajah juga menggerebek rumah Halady lebih dari 8 kali selama 4 tahun, dan bahkan penjajah melarang dia pergi ke berbagai negara selama beberapa waktu, hingga anak-anaknya mengalami trauma mendalam akibat serbuan penjajah ke rumahnya.
“Penjajah hanya ingin membuat saya jengkel, aktivis Al Quds tidak akan gentar sedikit pun setelah serangan Israel”.
Kebijakan penjajah Israel untuk mengusir jamaah dari Al Aqsa telah menyebabkan banyak aktivis, tokoh berpengaruh, dan bahkan penjaga masjid menjadi sasaran kebrutalan mereka. Setiap kali Hanady mengalami pengusiran, ia dan muslimah lainnya selalu memikirkan bagaimana mereka harus melawan kebijakan yang tidak adil tersebut. Akhirnya, mereka memutuskan untuk shalat di tempat yang terdekat dengan akses menuju pintu Al Aqsa, yaitu di Jalan Mujahideen. Ia telah melakukan hal itu selama bertahun-tahun lamanya.
“Tujuan saya lebih besar daripada sekadar berdoa di Masjidil Aqsa. Saya bermaksud untuk mempertahankan serta melindunginya dari para penjajah yang terus menerus menyerbu kompleks Masjidil Aqsa dan merusak kesuciannya. Agar saya dapat menghabiskan waktu lebih lama di masjid, maka saya memutuskan untuk bekerja di dalam masjid (Al Aqsa)”.