Peringatan Keras UAS dan UAH kepada Pemerintah: “Orang Lapar Jangan Disuruh Sabar!”

Gelombang protes yang menjalar dari Jakarta ke berbagai kota telah mengguncang fondasi kepercayaan rakyat terhadap penguasa. Isu kenaikan gaji pejabat, ketidakadilan hukum, hingga krisis ekonomi yang mengimpit masyarakat kecil, membuat suhu politik di tanah air meningkat. Menyikapi situasi tersebut, dua ulama berpengaruh, Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Ustadz Adi Hidayat (UAH), lantang menyuarakan pandangannya. Cara keduanya berbeda, namun mereka berdua sama-sama mewakili kegelisahan rakyat. Dan pandangan mereka sekaligus memberi peringatan bagi elite penguasa.

UAS menuangkan keresahannya lewat sebuah puisi berjudul “Amuk”. Dengan gaya satir yang tajam, ia menggambarkan betapa rakyat telah lama dipermainkan dengan janji-janji politik yang tak pernah ditepati. Janji tentang lapangan kerja, pendidikan murah, dan kesehatan terjangkau, seolah hanya menjadi gincu kampanye yang pudar usai pemilu.

Di dalam puisinya, UAS mengurai bahwa masyarakat sesungguhnya tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin jalan yang layak, sekolah yang terjangkau, kesehatan yang tidak memberatkan, serta kehidupan tanpa pajak yang mencekik. Namun, yang mereka dapatkan justru jauh dari harapan. Di ujung puisinya, UAS memeringatkan dengan kalimat, “Orang lapar jangan disuruh sabar, bisa makin sangar”.

Jadi, UAS ingin menegaskan bahwa rakyat tidak bisa terus-menerus dijadikan obyek politik tanpa solusi nyata. Amarah yang terus dipendam bisa berubah menjadi ledakan sosial yang menghancurkan, dan itu adalah risiko yang harus ditanggung jika penguasa tetap abai.

Indonesia Kini: Seakan Memotong Ranting Kecil Sambil Membiarkan Batang Busuk Tetap Berdiri
Dari ruang kekuasaan, yang terdengar hanyalah permintaan maaf setengah hati dan evaluasi yang menggantung. Tetapi tak ada keberanian untuk mengosongkan kursi jabatan. Kekuasaan seakan lebih berharga daripada nyawa dan kepercayaan yang sudah terkoyak.

Berbeda dengan UAS yang menyalurkan keresahan lewat puisi, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memilih jalur refleksi panjang melalui kanal YouTube Adi Hidayat Official. Ia menegaskan bahwa menyampaikan pendapat tentang bangsa di saat kondisi panas seperti ini tidaklah mudah. Butuh waktu untuk mengamati, menganalisis, dan menyerap kompleksitas persoalan: sosial, politik, ekonomi, hingga hukum.

UAH menekankan bahwa di titik ini bangsa kita membutuhkan sosok negarawan sejati — pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Ia mengingatkan, jangan sampai aspirasi politik dibayar dengan kerusakan fasilitas umum atau bahkan korban jiwa. 

“Kita tidak menginginkan kehidupan berbangsa dibangun di atas fondasi penderitaan rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, UAH menyoroti pentingnya konsolidasi di seluruh lini elite. Ia memberi perhatian khusus kepada kepolisian agar tidak semata-mata bertindak represif, tetapi juga mampu mendengar aspirasi, membuka ruang komunikasi, dan membedakan mana suara murni rakyat dan mana tindakan kriminal. Menurut dia, ketegangan di jalanan bisa diredam jika aparat bersikap persuasif dan dialogis, bukan hanya mengandalkan gas air mata atau tindakan represif.

Selain itu, ia menyinggung jarak yang terlalu jauh antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Suara rakyat, katanya, seolah hanya berhenti di gerbang gedung dewan, tak pernah masuk ke ruang-ruang rapat yang menentukan arah bangsa. Karena itu, ia mengusulkan agar dibuat forum tetap, misalnya sebulan sekali, di mana masyarakat bisa menyampaikan aspirasi secara langsung dan transparan.

Fragmentasi Politik Umat Islam dan Gagasan Lokomotif Persatuan
MPUII bukan sekadar forum musyawarah, melainkan ide lokomotif: Kendaraan persatuan yang mengikat semua elemen umat, baik ormas, partai, maupun kelompok strategis.Jika gagasan ini berhasil, umat Islam tak lagi terpecah dalam sekat elektoral, tetapi bisa bersatu dalam visi kebangsaan.

Meski berbeda gaya, pesan keduanya beririsan. UAS menyalurkan kemarahan rakyat yang sudah muak dengan janji-janji kosong. Puisinya adalah teriakan yang mewakili keresahan masyarakat kecil yang merasa dipinggirkan. Sementara UAH menawarkan solusi jangka panjang: membangun komunikasi, memerkuat konsolidasi, dan menumbuhkan kepemimpinan berjiwa besar yang mampu menenangkan rakyat.

Dua suara ini adalah cermin kegelisahan umat. Keduanya menegaskan bahwa Indonesia tidak butuh janji, tetapi butuh pemimpin yang hadir nyata sebagai pengayom, pelindung, sekaligus penjamin masa depan rakyatnya.

Di akhir pesannya, UAH mengajak semua lapisan masyarakat untuk meneladani semangat Rasulullah saw yang membawa risalah kasih tanpa batas. Berbeda agama atau keyakinan, namun tetap satu keluarga besar dalam bingkai Indonesia. Ia mengingatkan bahwa saat ini, di bulan maulid Nabi, adalah momentum terbaik bagi semua pihak untuk memerbaiki diri dan merajut kembali persaudaraan.