Perjuangan Mengenakan Jilbab, Hingga Diberhentikan dari SMA Negeri

Kenangan akan perjuangan dan dinamika yang dilalui untuk berhijab dalam seragam sekolah sehari-hari itu masih melekat di ingatan Ratu Siti Nashiratun Nisa. Wanita yang akrab disapa Bu Iya itu merupakan salah satu pejuang hijab saat masih bersekolah di sebuah SMA Negeri di Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Tak terlupa, karena di tahun 1983 itu bahkan ia harus mengalami dikeluarkan dari sekolah demi tetap mempertahankan hijabnya.

Ketika itu, ia aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Sejak masih duduk di bangku SMP. Pengurus PII waktu itu sebenarnya sudah mengarahkan ia mengenakan hijab karena telah memasuki usia akil baligh. Tetapi, waktu masih menjadi pelajar SMP, sebagai ABG yang sedang mencari jati diri, ia belum tergerak memakai jilbab. Memasuki jenjang kelas 1 SMA, di semester 1 pun ia belum berjilbab. Hidayah untuk mantap mengenakan jilbab itu datang ketika mengikuti training leadership PII selama seminggu di masa liburan semester.

“Setelah pulang dari training, alhamdulillah hidayah datang. Dari situ saya mulai berjilbab. Waktu itu masih libur sekolah. Waktu mulai masuk, bismillah saya bertekad pakai jilbab. Waktu datang di hari pertama sekolah, saya bersekolah sudah dengan berjilbab. Saya berangkat ke sekolah (waktu itu) sudah rada siang karena kegiatan sebelumnya di hari terakhirnya pulang sudah larut malam. Yang biasanya jam 6 sudah ada di sekolah, waktu itu lebih dari jam 6 saya baru tiba di sekolah. Sudah agak ramai siswa-siswi di sekolah. Mereka kaget, begitu datang, di hari pertama masuk sekolah setelah liburan, ada siswi pakai jilbab,” kenangnya.

Di dalam perbincangan dengan sabili.id, ia berkisah, waktu itu sebenarnya sudah ada pelajar putri di sekolah lain yang telah mengenakan jilbab. Bahkan, kakaknya yang saat itu bersekolah di SMAN 36 Jaktim, pun sudah memakai jilbab dan tak ada masalah. Tetapi di SMA Negeri tempat dia menimba ilmu itu, siswi memakai hijab merupakan hal baru ketika itu. Dan lebih menjadi perhatian karena sekolahnya adalah sekolah baru - saat itu ia adalah rombongan belajar angkatan ke-2 - yang menjadi sekolah percontohan di kawasan Asia Tenggara.

“Jadi waktu itu ada program pertukaran pelajar Indonesia dengan Canada dan dengan negara-negara luar lain. Dan mungkin saat itu sekolahnya termewah karena gedungnya 4 lantai. Yang lainnya kan cuma 1 atau 2 lantai saja. Dan sekolah saya itu menjadi sekolah terfavorit juga waktu itu,” ujarnya.
Baca Juga : Inilah Para Srikandi Pejuang Jilbab

Hal itu menjadikan kehadiran Bu Iya di hari pertama pasca liburan dengan memakai hijab, menimbulkan kehebohan. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah pun bingung. Sejak hari itu, nyaris setiap hari ia dipanggil ke kantor, baik ruang guru, ruang wakil kepala sekolah, hingga ke ruang kepala sekolah.

“Sebenarnya saya tidak diizinkan masuk sekolah, kecuali mau lepas jilbab. Kalau dari rumah pakai jilbab, sampai di sekolah jilbab dilepas, dan pulang sekolah dipakai lagi, nggak masalah. Tetapi saya nggak mau. Saya mau tetap pakai. Akhirnya saya diberi sanksi. Tetapi tiap hari saya terus ke sekolah. Selama tidak ada pemberhentian secara tertulis bahwa saya dipecat, saya terus masuk. Padahal saya sudah diskorsing sampai waktu yang tidak ditentukan," katanya.

Kendati telah di-skorsing, setiap hari ia tetap bersekolah. Di sekolah, ia tidak pernah diizinkan untuk ikut belajar di kelas. Ketika guru pertama mengajar, ia dipanggil ke ruang guru, hingga berganti guru yang lain, begitu seterusnya sampai waktu pulang sekolah di siang hari. Hal itu berlangsung sampai lebih dari satu bulan.

"Sebenarnya saya tidak diizinkan ke sekolah, tetapi saya tetap datang. Jadi, memang saya datang selalu pagi. Sebelum yang lain datang, saya sudah datang. Jadi belum ada guru-guru yang menjaga dan saya berhasil masuk ke sekolah. Tetapi memang di sekolah tidak pernah dikasih kesempatan untuk belajar. Selama di sekolah hanya dipanggil dari satu guru ke guru yang lainnya, hanya untuk dinasihatin," ujarnya.

Beritanya lantas menyebar. Sebab, saat itu ada momen menjelang berlangsungnya Sidang Umum MPR tahun 1983. Sehingga, ada kecurigaan seolah-olah ia ditunggangi secara politik oleh pihak-pihak tertentu.

“Jadi waktu itu kakak saya nulis di majalah Tempo. Di situ kakak saya bercerita. Banyak respon dari masyarakat Indonesia bahkan dunia. Nah setelah itu, banyak wartawan yang datang ke rumah. Terus banyak yang mencari saya. Bahkan ke sekolah pun ada, dari yang namanya HMI dan segala macam yang mengaku ‘Saya kakaknya Ratu’ - saya di sekolah di kenalnya dengan nama Ratu - sehingga dari situ saya dibatasi, tidak boleh ketemu dengan siapa pun, kecuali keluarga kandung,” kisahnya.
Baca Juga : Ketika Memakai Jilbab pun Sulit

Ia tetap menjalani hari-hari dengan selalu berangkat ke sekolah. Walaupun di sekolah tak sempat ikut belajar di kelas. Hanya menghabiskan waktu berbicara dengan para guru.

"Subhanallah, masya Allah, Allah memberikan lidah saya kelancaran berbicara. Memang saya selalu berdoa, ‘Rabbish-rahli sadri, wayassirli amri, wahlul 'uqdatam millisani, yafqahu qauli’ itu tidak lepas, ya. Jadi apa yang guru nasihatin, saya bisa jawab. Tentang Undang-undang, saya bicara tentang Undang-undang. Tentang Hukum Negara, saya juga bicara tentang Hukum Negara. Tentang agama, saya balikkan dengan dalil agama. Tentang sejarah, saya jawab tentang sejarah. Itulah yang masya Allah sekali. Saya nggak tahu, tiba-tiba lidah saya lancer,” katanya.

Keberanian Ratu berdebat justru membuat guru-gurunya geleng-geleng kepala. Suatu kali ia mendengar wali kelasnya bilang, “Aduh, ampun itu Ratu. Kecil tetapi bener-bener, deh. Nggak bisa dikalahin.”

“Waktu itu tidak ada guru yang membantu saya sama sekali. Saya benar-benar seorang diri. Karena semua guru takut. Cuma ada satu guru (yang membela) waktu itu, yaitu guru Bahasa Indonesia. Tetapi dia nggak berani terang - terangan. Dia hanya di balik layar saja. Tetapi, masya Allah, Allah benar benar kasih saya kekuatan. Saya bisa bicara, saya berani, saya tegar menghadapi kepala sekolah. Saya masuk ke ruangan Kepala Sekolah dan melayani debat. Sampai semuanya menyerah dan bilang saya ini kecil tetapi nggak bisa dikalahkan argumentasinya," tuturnya.

Isu perjuangan hijab seorang pelajar SMA itu lantas memang mengemuka. Momentum menjelang Sidang Umum MPR lantas membuat banyak yang datang ke sekolahnya terkait masalah itu. Ada yang mengatasnamakan ormas-ormas Islam dan lain-lain. Akhirnya, kelas tempat Ratu belajar sempat dijaga aparat TNI. Tentara itu bahkan dilengkapi persenjataan.

“Ke mana-mana saya dikawal. Bahkan masuk ke toilet pun saya dikawal. Saya merasa jadi orang penting waktu itu," ujarnya.

Akhirnya orang tua Ratu dipanggil. Mereka diminta mengarahkan Ratu agar melepas jilbab ketika ada di sekolah. Dan dipersilakan untuk memakainya lagi nanti jika sudah ada di luar sekolah. Jika tidak, ada kemungkinan untuk dikeluarkan dari sekolah.

“Bapak saya bilang kepada saya, ‘Bapak nggak bisa melarang kamu (memakai jilbab) dan meminta kamu untuk melepas jilbab, karena itu adalah perintah Allah. Tetapi kalau kamu nggak lepas, ya bapak juga nggak bisa mencarikan kamu sekolah lain. Jadi, sekarang terserah kamu. Kalau kamu mau tetap pakai jilbab dan harus keluar dari sekolah, ya kamu harus siap nggak sekolah. Atau mau tetap sekolah di sini. Ya keputusan ada sama kamu. Bapak nggak mau campur tangan.’ Saya paham, karena bapak saya seorang PNS dengan 10 anak dan tidak memiliki bisnis apa-apa. Maka, ia mengharuskan anaknya dapat sekolah negeri (karena biayanya bisa terjangkau,” kata Ratu.

Ayahnya Ratu mengatakan kepada dia, harus mencari biaya sendiri kalau bersekolah di sekolah swasta. Ayahnya masih sanggup untuk membiayai jika anaknya bersekolah di sekolah negeri. Di luar sekolah negeri, ia tak sanggup karena biayanya tak terjangkau.

“Tetapi saya sudah bertekad, bismillah, tetap berhijab. Sampai akhirnya, kurang lebih 40 hari kemudian, datanglah surat pemecatan. Tetapi waktu itu diancam, tidak boleh ada wartawan, tidak boleh ada keluar (informasi tentang adanya) surat pemecatan ini. Jadi, caranya kita nggak dikasih surat pemecatan itu. Cuma diminta membaca. Di situ ditulisnya, ‘karena tidak mengikuti peraturan sekolah, maka tidak bisa diterima di sekolah ini’. Saya jawab, ‘Nggak apa-apa saya nggak sekolah. Nggak apa-apa saya putus sekolah. Bismillah, saya tetap memilih Allah.’ Ya, sudah. saya tanda tangani surat itu, saya keluar dari sekolah itu," kisahnya.
Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional

Ketika ia keluar halaman sekolah karena pemecatan itu, ia melihat suasana ramai di depan sekolah. Banyak aparat berjaga. Ada Polwan, tantara, dan lain-lain. Suasananya sempat panas. Tetapi tidak terjadi apa-apa.

"Masya Allah waktu itu malah Muhammadiyah membuka peluang kepada saya. Mau sekolah di Sekolah Muhammadiyah yang mana pun dipersilakan. Tanpa uang masuk. Alhamdulillah, nggak ada perjuangan yang sia-sia," ujarnya.
Itulah kisah Ratu Siti Nashiratun Nisa atau Bu Iya. Kepada generasi muda masa kini, ia pun menitipkan pesan. “Kita harus tahu inti jilbab itu apa. Makna dari jilbab itu apa. Bukan cuma sekadar menutup aurat, tetapi ada makna di balik itu. Akhlak kita, tutur kata kita, harus bagaimana. Jilbab itu ibaratnya mencerminkan siapa diri kita. Bukan sekadar fashion. Bukan sekadar tren. Tetapi benar-benar pakaian surga. Pakaian yang Allah suruh kita pakai, untuk memuliakan diri kita sendiri sebagai wanita. Jadi, kita harus mengerti kandungan jilbab itu apa. Bukan sekadar menutup tubuh, tetapi syarat-syaratnya pun harus kita tahu,” pungkasnya, seraya menekankan bahwa yang utama adalah akhlak dan keimanan itu harus satu jalan.