Pertanyaan “Who Am I” yang Tak Bisa Dimanipulasi

Manusia itu makhluk yang Allah ciptakan dengan kesempurnaan yang dibawanya. Salah satunya adalah akal. Akal juga yang membawa manusia pada pencarian kepada tuhannya. Di dalam surat Ali Imran ayat 190, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”.

Maka, kekuatan akal ini benar-benar diyakini sebagai salah satu washilah yang membawa manusia kepada kebenaran ilahiyah. Dengan akal inilah, Allah memberikan kepada kita perangkat lunak untuk memecahkan banyak masalah dan menemukan solusi.

Dari ayat di atas, penulis menyimpulkan bahwa akal bisa membawa manusia mengenali tuhannya. Sebagaimana Nabi Ibrahim as yang mencari tuhannya. Orang yang mengenal tuhannya adalah orang yang paling mengenal dirinya. Maka, sebaiknya pertanyaan kepada diri sendiri adalah “who am I?”. Siapakah diriku?

Saat ini banyak sekali dokter atau psikolog yang memberikan solusi untuk mengatasi masalah mental health di masyarakat. Salah satu caranya adalah tentang bagaimana seseorang bisa selesai dengan dirinya sendiri. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bagaimana seseorang bisa mengenali dirinya secara utuh, baik kekuatannya maupun keterbatasannya.

Kita sering hanya berfokus pada kelemahan-kelemahan kita tetapi mengabaikan potensi kekuatan. Akhirnya yang terjadi adalah pesimis, takut, overthinking, tidak percaya diri, menutup diri dari kehidupan sosial, dan lain-lain. Kita jarang mau menemukan potensi kekuatan kita sendiri. Menggalinya, mengasahnya, sampai pada akhirnya menjadikan potensi kekuatan itu sebagai peran yang bermanfaat untuk umat manusia.

Kemusyrikan TSM: Kezaliman Terbesar dan Pangkal Kerusakan (Fasaad) Semua Aspek Kehidupan
Namun, ada kemusyrikan terstruktur, sistematis, dan massiv (TSM) yang dilakukan oleh masyarakat sosio-politik (an-naas) yang adalah biang kerusakan (fasaad) yang lebih luas dampaknya.

Lalu, bagaimana dengan mengakui kelemahan atau keterbatasan? Apakah mengakui kelemahan itu buruk atau dilarang untuk kita? Tergantung dari persepsi yang kita bangun sejak awal. Di dalam Islam, mengakui keterbatasan disebut juga muhasabah. Di dalam muhasabah, kita mengakui kelemahan kita, mengevaluasi, memohon ampun, dan berharap bahwa Allah akan memberikan petunjuk dan memudahkan urusan kita.

Tertera di dinding kuil orakel Delphi Yunani, tulisan bertinta emas yaitu Gnothi Seauton Kai Meden Agan yang berasal dari pernyataan Socrates, seorang filsuf asal Yunani. Ungkapan tersebut artinya kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebihan. Hal ini terkait pengakuan diri. Inilah kunci dari penyembuhan mental yang sering disebut-sebut mental health. Jika kita sudah bisa mengakui kelemahan diri, maka itulah pengenalan diri yang paling tidak manipulatif.

Jika kita menyadari sepenuhnya bahwa diri kita dibekali kekuatan dan keterbatasan, maka kekuatan akan kita asah dan keterbatasan akan kita siasati agar bisa ditambal orang lain. Oleh karenanya, dalam kehidupan sosial kita mengenal kerja tim atau amal jama'i. Kerja tim akan memudahkan kita untuk saling memanfaatkan kekuatan dan menyiasati keterbatasan, untuk satu tujuan. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, 'Sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.', Rasulullah selanjutnya bersabda, maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril menyeru penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia’, maka para penghuni langit pun mencintainya, selanjutnya Rasulullah bersabda, ‘Dan kemudian di bumi dia pun menjadi orang yang diterima’. Dan ketika Allah membenci seorang hamba, maka Dia memanggil Jibril dan kemudian berfirman, ‘Sesungguhnya Aku membenci si fulan, maka bencilah dia’, maka Jibril pun membenci si Fulan, kemudian Jibril menyeru penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia’, Rasulullah melanjutkan, ‘Maka penduduk langit pun membenci fulan, kemudian dia pun dibenci di bumi’.

Maka, kuncinya adalah jangan sampai kita hanya disibukkan dengan bagaimana orang lain menilai kita. Tetapi mulailah sibukkan bagaimana kita mengenal diri kita. Sebab, bagaimana Allah menilai kita itu lebih penting daripada bagaimana orang lain menilai kita.