Petinggi Hizbullah Terbunuh, Dilema Besar Bagi Iran

Iran berada dalam dilema besar pasca tragedi terbunuhnya Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Hassan Nasrallah, akibat serangan Israel di pinggiran selatan Beirut, pada Jumat (27/9/2024). Negara itu menghadapi dua pilihan: membantu Hizbullah atau membiarkannya.

Terbunuhnya Nasrallah mengindikasikan peningkatan tajam baku hantam serangan udara yang terjadi antara Hizbullah dan Israel sejak peristiwa Badai Al-Aqsa di Gaza, hampir setahun yang lalu. Eskalasi itu mengancam akan mendorong seluruh wilayah sekitar ke dalam perang.

Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, berjanji bahwa darah Nasrallah tidak akan berakhir sia-sia. Iran berjanji akan membalas pembunuhan pemimpin Garda Revolusi, Abbas Nilforoushan, yang meninggal bersama Nasrallah akibat serangan udara pada Jumat (27/9/2024).

Pembunuhan ini akan menyebabkan ‘kehancuran’ bagi Israel itu sendiri, ancam Wakil Presiden Pertama Iran, Mohammad Reza Arif.

Pembunuhan Hassan Nasrallah terjadi sekitar dua bulan setelah pembunuhan kepala biro politik gerakan Hamas Palestina, Ismail Haniyya, pada 31 Juli 2024 di Teheran. Tragedi memilukan itu terjadi saat ia sedang berkunjung dalam upacara pelantikan presiden baru Iran, Massoud Pezeshkian. Iran terus mendesak Penjajah Israel untuk bertanggung jawab dan mengancam akan membalas tindakannya itu.

Hari Ketiga Serangan Israel di Lebanon, 72 Orang Tewas
Pada Rabu (25/9/2024) pagi, Kementerian Kesehatan Lebanon melaporkan, 72 orang tewas dan 354 lainnya luka-luka akibat serangan Israel.

Tembok Keterlibatan Iran

Seorang analis kebijakan Iran-Amerika, Karim Sadjadpour, mencatat, kelompok Hizbullah akan tetap menjadi “permata mahkota” dan menganggap mereka sebagai sekutu regional bagi Iran.

“Nasrallah telah memainkan peran penting dalam memperluas pengaruh Iran,” ujar Karim Sadjadpour.

Seorang senior di International Crisis Group (ICG), Ali Vaez, mengatakan, tragedi pembunuhan ini tidak mengubah fakta bahwa Iran masih tidak ingin terlibat secara langsung dalam konflik tersebut. Namun, hal ini menempatkan Iran di depan “dilema berbahaya”, terutama kondisi partai tersebut (Hizbullah) sedang dalam keadaan “kacau total”.

Seorang profesor hubungan internasional di Teheran, Mehdi Zakarian, mengatakan, pejuang perlawanan yang setia kepada Iran saat ini bukan hanya sedang membendung Israel saja, tetapi mereka sedang mengalami masalah yang serius. Mehdi menambahkan, rekontruksi Hizbullah bukanlah tugas yang mudah bagi Iran, mengingat meningkatnya tantangan ekonomi yang sedang dihadapi. Jika pemerintah ingin ikut campur dalam rekonstruksi Lebanon, atau melengkapi kembali Hizbullah, hal ini akan memperburuk krisis ekonomi di Teheran.

Iran sedang menderita dampak ekonomi akibat sanksi internasional. Terjadi peningkatan inflasi dan tingkat pengangguran serta penurunan harga rial Iran terhadap dolar hingga ke tingkat fantastis, ujar Mehdi.

Tiga Tahun Berkuasa, Taliban Berhasil Pulihkan Ekonomi Afghanistan
Tiga tahun setelah Taliban mengambil alih kekuasaan, ada perbaikan dalam perekonomian Afghanistan, meski pun tantangan dan kesulitan besar masih terus berlanjut di berbagai aspek lainnya.

Kontribusi Iran terhadap Hizbullah

Para analis percaya, Iran telah bergerak dengan hati-hati sejak pecahnya kembali pembantaian di Gaza. Mereka berusaha menunjukkan kekuatannya tanpa menimbulkan reaksi dari Amerika Serikat.  Hal ini dapat dilihat ketika serangan langsung pertamanya terhadap Israel tanggal 14 April 2024. Balasan Iran atas serangan udara Israel yang mengenai sebuah gedung yang terhubung dengan kedutaan Iran di Damaskus.

Iran pada saat itu mengatakan, pihaknya telah memberi tahu Amerika Serikat dan negara-negara tetangganya peringatan sejak 72 jam lalu. Mereka menyebutnya sebagai serangan “terbatas” terhadap Israel.

Ali Vaez percaya, Iran memiliki kepentingan untuk mencoba memberdayakan apa yang tersisa dari Hizbullah. Kelompok itu adalah tameng bagi Iran. Namun, akan menjadi “sangat sulit” bagi Iran saat ini untuk berkomunikasi dengan sekutu mereka. Berbeda dengan apa yang terjadi pada perang tahun 2006.

Mehdi Zakarian percaya “Iran tidak dapat meninggalkan Hizbullah, karena dalam hal ini Iran juga akan kehilangan sekutu lainnya” di Suriah, Irak dan Yaman, yang ikut campur dalam perang antara Israel dan Hamas.

Analis politik lainnya, Mossadegh Pour, mengatakan, dilema besar lainnya bagi Iran adalah melakukan komunikasi dengan Hizbullah dan memasok senjata kepada mereka. Walaupun “sudah terlambat bagi Iran untuk mendukung Hizbullah dengan senjata”, namun Pour yakin kelompok itu “akan melakukan rekontruksi barisannya seperti yang terjadi di masa lalu.”

(Sumber: Al Jazeera Mubasyir)