Pinjaman Online: Hilangnya Kontrol Sosial dan Payung Hukum

Menjamurnya pinjaman online menjadi satu dari sekian banyak fenomena digitalisasi dalam hidup sehari-hari yang kini meresahkan masyarakat. Pasalnya, kemudahan mengakses pinjaman dalam kurun waktu yang cukup singkat serta persyaratan dokumen yang terbilang mudah, senyatanya menjadi pertimbangan utama para debitur mengajukan pinjaman pada lembaga tertentu. Namun, terbatasnya pengetahuan akan regulasi tentang peminjaman serta minimnya tingkat kecerdasan finansial masyarakat Indonesia pada akhirnya membawa mereka kepada kondisi yang kurang menguntungkan.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Yosef Hilarius Timu Pera, kemudahan yang ditawarkan sejumlah lembaga pinjaman online nantinya akan berdampak buruk pada kehidupan sosial hingga psikologis individu.

“Dengan adanya digitalisasi, membuat akses-akses pinjaman online menjadi akses pribadi, jadi tanpa kontrol sosial. Nah, akses pribadi ini di satu lini ujungnya adalah pada saat menagih. Yang akan ditagihkan ke lingkar sosial kita. Secara sosiologis rusaklah hubungan sosial kita,” kata Yosef saat ditemui reporter.
Baca Juga : Umat Terjebak Pinjol dan Rentenir, Apa Kabar Dakwah Ekonomi?

Yosef melanjutkan, kemudahan akses pinjaman online turut berpengaruh pada tingkat konsumtifitas hingga kriminalitas masyarakat Indonesia. Menurut dia, jika masyarakat mudah untuk mendapatkan uang, mereka akan merasa memiliki lebih banyak resources untuk berbelanja dan pada akhirnya mengubah prioritas kebutuhan menjadi keinginan.

“Ketika ditagihkannya lewat orang sekitar kita, panik kita. Panik, lalu kita mencari cara macam-macam yang akhirnya berujung pada tindakan-tindakan yang mengacu pada parameter kriminalitas,” sambung Yosef.

Selain berdampak pada aspek sosiologis masyarakat, menjamurnya lembaga pinjaman online senyatanya turut menjadi perhatian khusus para ahli hukum. Pasalnya, tak sedikit lembaga pinjaman online yang tidak memiliki payung hukum jelas dan cenderung mencederai debitur dengan melayangkan suku bunga yang tidak rasional.

Menurut ahli hukum, Elfrida Ratnawati Gultom, penyelenggara pinjaman online haruslah terdaftar dan memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini tentunya sejalan dan telah diatur dalam Pasal 7 POJK Nomor 77/2016. Legalitas inilah yang nantinya juga menjadi payung hukum bagi debitur terkait dengan suku bunga pinjaman.

“OJK sudah menerapkan berapa suku bunga yang harus diterapkan dan tidak ada hal-hal yang tersembunyi,” ujar ahli hukum dengan spesialisasi mediator bisnis dan keluarga ini.

Elfrida Gultom berpendapat, perlindungan hukum konsumen atau debitur di Indonesia masih belum memadai. Menurut dia, hal ini ditandai dengan bocornya data penerima pinjaman yang sering terjadi akibat gagal bayar.

“Yang harus diluruskan seharusnya pemerintah itu memberi perlindungan kepada masyarakatnya dalam hal pinjam-meminjam uang ini, walaupun dia gagal bayar atau dia wanprestasi. Harus ada payung hukum yang kuat, yang harus ditambah, untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap konsumen pinjaman online atau finance technology,” sambungnya.

Elfrida berharap, pemerintah semakin berbenah diri dengan menetapkan lebih banyak aturan perlindungan konsumen. Terutama terkait pinjaman dana. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih mawas diri dalam menghadapi berbagai isu financial technology, termasuk lembaga pinjaman online.

Penulis: Raihan Gultom (Alumni Pelatihan Jurnalistik sabili.id Batch 1)