PKS, Anies Rasyid Baswedan, dan Oligarki

Sebenarnya baik Anies Rasyid Baswedan (ARB) maupun PKS sama-sama tidak dikehendaki oleh sistem politik Indonesia, yang dikendalikan oleh oligarki. Keduanya (Anies Baswedan dan PKS) punya karakter, sikap dan pendirian tentang cara mengelola Indonesia yang tidak mudah bagi oligarki untuk mengendalikan atau mengontrolnya. Ada yang menyebutnya kayak dua sisi mata uang (two sides of a coin).

Sikap tersebut telah teruji di Jakarta. Banyak kebijakan Anies Baswedan di Jakarta yang tidak sejalan dengan kepentingan oligarki. Sedangkan PKS dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh oligarki untuk menghadangnya, tetap saja tampil sebagai parpol pemenang (pemilu 2024) (sekalipun belum maksimal), yang di kemudian hari melahirkan dinamika tersendiri.

Konstelasi politik subtantif hari ini di Indonesia bukan persoalan Jokowi vs PDI vs PKS, tetapi antara oligarki vs non oligarki. Rakyat yang mulai merasakan penderitaan akibat hegemoni oligarki berharap ada kekuatan yang mau menyuarakan. Mereka berpikir, Anies Baswedan dan PKS-lah yang sebenarnya diharapkan mengawal aspirasi mereka yang tidak menghendaki oligarki terus berkuasa.

PKS, The Lonely Party
Di dalam sistem multi partai saat ini, jika ada partai Islam – misalnya PKS dan PKB – bisa menggapai sekitar 20% suara pemilih, mereka berpeluang menjadi pemenang atau runner up.

Secara elektoral, PKS dan Anies Baswedan saling melengkapi dan saling membutuhkan. Sebaliknya, jika keduanya berpisah akan merugikan kedua belah pihak. Baik Anies Baswedan maupun PKS. Justru itulah yang dikehendaki oligarki. Atau dengan kata lain, cara untuk melemahkan keduanya adalah dengan cara dipisah dengan berbagai skenario dan narasi yang mereka buat, sehingga konsep berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan oleh keduanya (ARB dan PKS) ikut tenggelam.

Masyarakat yang merasakan penderitaan karena hegemoni oligarki sekitar 90%, tetapi yang menyadari hal itu baru 10%-30% (terutama kalangan akademisi dan aktivis pro demokrasi, termasuk kader PKS). Maka, di sinilah terjadinya anomali dalam politik. Bahwa suara oposisi tidak berbanding lurus dengan ketidakpuasan pada rezim. Apresiasi masyarakat sendiri pada oposisi segitu-gitu saja. Itu yang menjadikan kegalauan sebagian elite PKS (terutama kalangan praktisi / aleg dan sejenisnya, untuk membedakan kader PKS yang akademisi dan aktivis).