PKS Tetap Woles
PKS sepertinya tetap woles dalam menyikapi “kekalahan” di gelaran Pilkada Jakarta, Jawa Barat, dan Kota Depok. Woles adalah Bahasa anak gaul yang berarti slow. Artinya, PKS seolah santai saja dalam menyikapi fakta politik di Pilkada tersebut.
Saya pikir, hal itu adalah bentuk kedewasaan politik partai tersebut setelah sejak sekian lama eksis di kancah politik kontemporer Indonesia. Telah banyak badai yang dihadapi partai ini. Mulai presidennya yang ditangkap KPK, para petinggi partai berikut gerbong mereka yang keluar dari partai untuk membuat partai baru bernama Partai Gelora, sampai dengan bergabungnya dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Partai ini tetap solid. PKS tetap bisa menjaga stabilitas suara. Perkara presiden partai yang ditangkap KPK dan kader-kader terbaik mereka yang meninggalkan partai dengan mendirikan Partai Gelora – banyak yang menyebut dengan istilah “Bedol Desa” karena sejumlah tokoh sentral semisal Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, dan lain-lain out alias cabut – toh PKS tetap solid. Suara yang bakal tergerus habis menurut prediksi pengamat, ternyata tidak terjadi. PKS tetap mampu berdiri kokoh dengan suara yang signifikan. Lagi-lagi, saya menyebut ini sebagai kedewasaan (politik).
Kini, yang paling banyak disalahkan, terutama oleh para simpatisan PKS, adalah karena mereka batal mengusung Anies Baswedan sebagai Calon Gubernur Jakarta, begitu juga karena memilih bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai menjadi bagian dari pemerintahan “oligarki”. Di media sosial, misalnya, begitu riuh kritik dan cacian kepada PKS yang dinilai telah meninggalkan umat. Namun, benarkah demikian?
Bagi mereka yang memahami sejarah pergerakan Islam, pasti paham bahwa PKS tentu saja tak bisa dinilai sebagai partai biasa. Anak-anak muda PKS itu memainkan peran dengan apa yang disebut sebagai varian baru bernama “Politik Dakwah” (Missionary politics). Sebuah dakwah yang kini tak lagi sebatas level kemasyarakatan, tetapi sudah masuk ke dalam level negara. Tentu, goncangan-goncangan politik di level ini lebih kencang. Apalagi ketika berhadapan dengan penguasa “tangan besi” yang tak segan-segan “menghabisi”. HTI dan FPI adalah korban nyatanya.
Bergabungnya PKS ke pemerintahan Prabowo-Gibran, boleh dinilai sebagai strategi kemaslahatan. Menjaga ruang aman. Setuju atau tidak, memang adalah persoalan lain.
Maka, membaca fenomena terbaru di atas, bisa kita baca melalui 3 hal: kontestasi, evaluasi, dan konsolidasi. Di dalam soal kontestasi, telah berakhir, PKS dengan calon-calonnya pada Pilkada banyak yang menang, banyak juga yang kalah. Tetapi, khusus di Jakarta, Jawa Barat, atau khususnya Depok, memang menjadi “pukulan telak”, tetapi tentu tak bisa mundur ke belakang. Ketika banyak warganet (Netizen, red) yang “nyuruh-nyuruh” muhasabah, evaluasi, saya rasa tanpa diminta pun PKS pasti sudah melakukannya. Terakhir, menjadi hal yang penting adalah konsolidasi. Lewat konsolidasi (kader) ini, saya kira “Pimpinan” dan “Pasukan” akan semakin “menguatkan”.
Sampai detik ini, menurut saya, bergabungnya PKS ke pemerintahan Prabowo-Gibran, mengajukan RK-Suswono di Pilkada Jakarta, memang masih sulit diterima oleh para simpatisan PKS. Tetapi, saya menilai, untuk lantas memilih PDIP alias Pramono-Bang Doel di Pilkada Jakarta tempo hari tentu teramat berat. Ini yang mungkin bisa menjelaskan kenapa banyak yang golput pada gelaran Pilkada Jakarta kemarin. Bahkan mencapai tingkat partisipasi terendah sepanjang sejarah. Hanya 50%-60%. Menurut data KPU, yang menggunakan hak pilih hanya 4,3 juta suara, sementara jumlah nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih ada di angka 53,05% saja.
Kini, saya rasa, strategi yang pas untuk dilakukan adalah “Merangkul”, bukan “Memukul”. Artinya, merangkul kembali para pendukung atau simpatisan PKS yang kecewa, bukan menyerang balik para pengritik. Mengapa? Sebab, PKS saya rasa masih menjadi harapan di antara “partai-partai Islam” yang ada. Mungkin ada yang lain, misalnya Partai Ummat, tetapi performa mereka belum meyakinkan. Lewat strategi “merangkul” ini, saya prediksi, Partai Keadilan Sejahtera akan kembali berjaya pada pemilu berikutnya.