Pola Asuh Orangtua terhadap Anak Telah Bergeser?
Persoalan terkait anak dan remaja kembali menjadi sorotan. Tudingan pun lantas tertuju kepada pola asuh orangtua. Konon, telah terjadi pergeseran pola asuh yang diterapkan orangtua masa kini jika dibandingkan dengan orangtua mereka di masa lalu.
Generasi yang lahir tahun 1960-an hingga 1990-an tentu masih ingat bagaimana mereka melewati masa kanak-kanak. Apalagi mereka yang tinggal di pedesaan. Di tahun 1960-an hingga 1980-an, banyak desa di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa, belum teraliri listrik. Hanya keluarga tertentu saja yang pesawat televisi (TV) yang dinyalakan dengan tenaga listrik dari accu.
Penerangan di setiap rumah menggunakan lampu cempor. Lampu cempor adalah istilah dalam bahasa Sunda untuk menyebut lampu berbahan bakar minyak tanah yang memiliki sumbu serta kaca panjang serupa semprong. Sumber cahayanya berasal dari sumbu yang disulut dengan api. Sumbu yang menyerap minyak tanah dari tampungan di bagian bawah lampu itu akan terus memancarkan cahaya dari nyala api, sampai minyak tanah di tampungannya habis atau apinya ditiup oleh si pemilik. Di sejumlah tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lampu cempor disebut lampu sentir. Ada juga yang menyebutnya lampu teplok.
Di pagi hari, anak-anak ketika itu berangkat ke sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki. Belum banyak angkot. Tetapi di tengah kebersahajaan itu, mereka umumnya ingat betapa dekat dengan orangtua. Mereka merasa nyaman saat dekat dengan orangtua, sehingga dapat bercerita tentang semua hal kepada orang tua. Padahal, ketika itu biasanya orangtua menerapkan pola asuh dengan aturan-aturan ketat. Orangtua di masa lalu biasanya juga memberikan tugas tertentu kepada anaknya di sela aktivitas bersekolah dan bermain.
Sebelum magrib, anak-anak harus sudah berada di rumah, bersiap berangkat ke mushalla atau langgar atau surau, shalat magrib berjamaah, dilanjutkan mengaji hingga tiba waktu isya dan mereka pun melaksanakan shalat isya berjamaah. Singkatnya, soal akidah dan akhlak menjadi hal yang diperhatikan.
Pergeseran Pola Asuh
Soal pola asuh kini kembali menjadi sorotan. Sebab, sejumlah data menunjukkan angka kasus kenakalan anak dan remaja yang jumlahnya cukup signifikan. Misalnya, awal Maret 2023, Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran, seperti dikutip antaranews.com mengatakan, di Jakarta Selatan terjadi 323 kasus kenakalan remaja selama tahun 2022. Kenakalan remaja yang dimaksud adalah tawuran, balapan liar, nongkrongsambil mabuk, dan hal lain yang mengganggu ketertiban umum.
Pergaulan bebas juga menjadi bagian lain persoalan anak dan remaja. Pentingnya persoalan itu antara lain membuat Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, di awal tahun 2023 ini menekankan pentingnya pendidikan seksual. Hal itu menyusul temuan bahwa 50.000 anak menikah dini yang mayoritas karena hamil di luar nikah. Data Komnas Perempuan seperti dikutip cnnindonesia.com menyebut, total permohonan dispensasi perkawinan anak pada 2021 mencapai 59.709, atau meningkat 7 kali lipat sejak 2016.
Menanggapi maraknya kasus terkait anak dan remaja, Ustadz La Ode Abu Hanafi menyatakan prihatin. “Yang jelas, ini sangat miris. Saya kasihan terhadap kenyataan yang terjadi, apalagi itu terjadi kepada sebagian saudara-saudara kita, kaum muslimin. Ini harus menjadi perhatian besar kita sebagai orangtua, karena benteng terbesar adalah orang tuanya,” ujar ayah dari Musa Laode Abu Hanafi, hafiz cilik Juara 1 di ajang 'Hafiz Indonesia' tahun 2014 itu, seraya menyoroti pentingnya pola asuh orangtua terhadap anak.
Korelasi antara kasus kenakalan anak yang meningkat dengan penerapan pola asuh orangtua pun diamini psikolog, Farida Aini. Sebab, secara sekilas dapat dilihat adanya pergeseran pola asuh orangtua di masa lalu dengan masa kini. Menurut Farida, karena tuntutan kesibukan sehari-hari, orangtua masa kini kerap abai terhadap penerapan pola asuh yang baik. Anak-anak pun cenderung dimanjakan dengan beragam fasilitas dan gadget.
“Anak-anak harus tahu apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Orangtua harus bisa memilah. Kalau ada hal yang memberikan efek negatif buat anak, ia harus tegas. Bukan marah, tetapi tegas. Tidak semua harus dituruti, karena kalau semua hal dituruti, anak tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, karena dia berpikiran bahwa semuanya boleh. Jadi, orangtua perlu memberikan kasih sayang bukan dengan memanjakan, tetapi bagaimana menerapkan kasih sayang itu agar bisa mengajarkan anak dengan tegas sehingga anak paham tentang baik-buruk,” urainya.
Pola Asuh yang Baik
Persoalan terkait kasus yang melibatkan anak memunculkan kembali istilah “parenting”. Parenting secara umum bermakna keterampilan orangtua dalam mengasuh anak. Parenting atau pola asuh orangtua terhadap anak sebenarnya meliputi setiap upaya untuk memenuhi kebutuhan fisik, yaitu makanan dan minuman dan juga memenuhi kebutuhan psikologis, yakni kasih sayang, rasa aman, serta mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, sehingga anak bisa hidup selaras dengan lingkungannya. Setiap orangtua wajib mengasuh dan mengasihi anaknya. Setiap anak perlu bimbingan dan arahan dari setiap orangtua, sejak masih dalam kandungan hingga ia dapat mandiri.
Bagi setiap orangtua, anak adalah anugerah. Anak juga merupakan amanah bagi orangtua. Orangtua berkewajiban untuk mendidik anak menjadi manusia yang baik, mandiri, percaya diri, dan berkarakter. Memang, setiap orangtua memiliki cara masing-masing dalam mendidik anak. Namun, setiap orangtua membutuhkan kesabaran, ketelatenan, serta pola asuh yang tepat, sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Sebab, di dalam islam, mendidik anak saleh tidak hanya ditujukan untuk kebaikan anak saja, namun juga untuk kebaikan orang tua dan lingkungan.
Baca juga :