Pribadi yang Hanif dan Halalan Thayyiban
Manusia diciptakan menurut fitrah yang telah ditetapkan Allah. Ia membawa sifat cenderung untuk taat kepada perintah Allah. Namun setelah ia lahir ke dunia, seringkali fitrahnya tertutup oleh karat-karat jahiliyah. Suara fitrahnya tidak lagi memancar ke permukaan. Yang lebih dominan adalah bisikan hawa nafsunya.
Oleh karena itu agar fitrah tetap terpelihara hendaknya manusia memiliki sifat hanif, cenderung pada kebenaran. Seperti Nabi Ibrahim As, ketika beliau dihadapkan pada dua pilihan, antara menyembelih putranya atau tidak, beliau memilih untuk menyembelih putranya, Ismail. Karena itu merupakan perintah Allah.
Pada dasarnya manusia mampu bersikap hanif, apabila berperilaku tawazun dalam segala aspek. Telah mafhum bahwa manusia terdiri atas jasad, ruh dan akal. Untuk kebutuhan jasad manusia, Allah mencurahkan rezeki yang bertebaran di muka bumi. Baik berupa hewan, tanaman, air, udara dan lain-lain. Manusia dipersilahkan memanfaatkan berbagai fasilitas itu, dengan syarat halal dan baik.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang – QS. Al-Baqarah:172-173
Dalam ayat diatas, Allah mengajak orang-orang beriman menyambut syariatNya dan memegang teguh apa yang telah dihalalkan dan diharamkan. Makanan yang halal dan baik mempunyai beberapa kriteria. Pertama, halal zatnya. Manusia boleh memakan apa saja yang telah dikaruniakan oleh Allah di atas bumi ini, asalkan bukan zat yang diharamkan Allah. Seperti firman-Nya:
“Hai sekalian manusia makanlah yang halal dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” – QS. Al Baqarah:268
Kedua, halal cara memperolehnya. Dalam hal ini manusia dituntut untuk mencari harta dengan jalan yang halal. Manusia wajib menjauhkan diri dari berbagai sarana yang tidak sah menurut syari’at. Uang yang diperoleh dengan cara yang haram bisa menjadikan makanan halal menjadi haram. Dan menggugurkan nilai keruhanian makanan tersebut. Yang tersisa hanyalah materi. Hadits dari ibnu Abbas: “Seorang hamba yang tubuhnya tumbuh dari harta haram dan riba, maka api neraka lebih layak baginya.”
Ketiga, halal cara mengelolanya. Makanan yang halal zat dan cara memperolehnya, jangan dikotori zat lain yang diharamkan dalam proses pengolahannya. Kita dilarang mencampuradukkan antara haq dan batil. Hal itu akan menggugurkan status halal makanan tersebut.
Keempat, makanan berdampak baik bagi kesehatan. Makanan yang baik tapi berdampak buruk bagi kesehatan, tidak boleh dimakan. Misalnya penderita hipertensi, tentu tidak boleh makan daging kambing, meskipun daging kambing itu halal.
Dalam ayat itu juga, Allah mengingatkan kaum muslimin dengan rizki yang diberikan kepada mereka. Allah menghalalkan kepada mereka yang baik-baik dan mengharamkan sesuatu berdasarkan pengetahuan-Nya. Lalu, Dia mengajarkan kepada kaum muslimin agar pandai-pandai mensyukuri nikmat-Nya.
Kemudian, Allah menjelaskan tentang makanan yang diharamkan. Yaitu bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Mungkin ada sebagian dari manusia bertanya, “Mengapa sebagian makanan diharamkan dan sebagian dihalalkan?” Mereka menganggap itu hanya mempersulit manusia saja.
Sebenarnya tidak demikian. Allah telah menghilangkan beban dan mempermudah urusan agama ini. Segala sesuatu yang membahayakan manusia menurut pandangan Allah Yang Maha Mengetahui, akan diharamkan-Nya, meskipun manusia memandangnya baik, karena hawa nafsunya. Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fii Dzilalil Qur’an berkata: “Baik ilmu pengetahuan manusia sudah mengetahui hikmah pengharaman ini atau belum, namun ilmi ilahi telah memutuskan bahwa makanan itu tidak baik. Itu saja sudah cukup jelas, bahwa Allah tidak mengharamkan suatu makanan kecuali yang kotor-kotor atau yang bisa merusak kehidupan umat manusia, baik disadari maupun tidak. Apakah manusia mengetahui semua yang bisa mendatangkan kerusakan dan kegunaan bagi dirinya?”.
Sebagai seorang muslim yang tunduk kepada aturan Allah, sebaiknya kita bersikap “Sami’na wa atho’na”, meski kita belum tahu hikmah dibalik pengharaman itu. Pengharaman ini sebenarnya didasarkan pada upaya untuk menjaga fitrah manusia. Makanan yang kita konsumsi tidak hanya masuk ke dalam alat pencernaan lalu menjadi kotoran semata-mata. Akan tetapi ia masuk kedalam darah dan organ tubuh lainnya, dan memberi pengaruh pada watak dan tabiat manusia. Oleh karena itu manusia berkewajiban makan yang sesuai dengan kriteria halalan thayyibah.
Tingkat peradaban manusia dicerminkan oleh kepandaiannya memilih makanannya. Masyarakat yang tidak beradab pada masa lalu, di afrika misalnya, menghalalkan daging manusia. Begitu juga suku-suku pedalaman yang terbelakang, sampai sekarang tidak pandai memilih makanan yang baik. Mereka memakan ular, cacing, tikus dan apa saja yang bisa mereka makan.
Tidak diragukan lagi makanan yang masuk kedalam tubuh berpengaruh kepada ruh manusia. Makbul atau tidaknya doa, salah satunya ditentukan oleh makanan. Diriwayatkan oleh Atha dari Ibnu Abbas, katanya: “Ketika dibaca ayat, “Wahai manusia! Makanlah yang ada di bumi yang halal dan yang baik-baik”, di majelis Rasulullah SAW, lalu Sa’ad bin Abi Waqqas berkata, “Wahai Rasulullah! Doakanlah aku supaya Allah menjadikan doaku makbul. Maka jawab Rasulullah SAW: “Ya Sa’ad! Perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab”. Dan terbukti, Sa’ad bin Abi Waqqas terkenal sebagai sahabat yang mustajab doanya. Beliau juga dikenal sangat hati-hati dalam memilih makanan, terpelihara lisanya dan kesucian hatinya.
Kemudian hadits dari Abu Hurairah ra. Rasulullah berkisah tentang seorang lelaki yang berjalan jauh. Keadaannya kusut masai. Selalu menadahkan tangannya ke langit dan berseru:
“Ya Rabbi, Ya Rabbi, namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” – HR. Muslim
Kini semuanya kembali kepada diri kita masing-masing. Sudahkah kita menyeleksi makanan yang masuk ke dalam tubuh kita? Sudahkah kita meninggalkan makanan yang syubhat apalagi yang haram? Barangsiapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat, berarti dia telah membersihkan diennya.
Kita mungkin merasa sulit untuk menghafal Al Quran, sulit untuk melakukan kebaikan. Sulit untuk menerima petunjuk. Mungkin salah satu penyebabnya adalah masuknya makanan yang haram atau didapatkan dengan cara tidak diridhoi Allah, tanpa kita menyadarinya.
Apalagi di zaman kiwari, batasan antara yang halal dan haram semakin samar-samar. Produk makanan tertentu yang mengandung zat makanan yang haram pun, diberi label seratus persen halal. Ini semuanya terjadi karena produsen hanya memikirkan bagaimana menjaring pangsa pasar seluas-luasnya tanpa memperdulikan norma agama. Ditambah lagi kita belum memiliki lembaga yang benar-benar bisa menjamin bahwa produk yang beredar di masyarakat dijamin halal.
Dalam kondisi seperti sekarang, kitalah yang dituntut untuk lebih berhati-hati mengkonsumsi segala kebutuhan kita. Cukuplah Al Quran dan sunnah Rasulullah sebagai petunjuknya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Yeti Ningsing, Jakarta
Judul Asli “Halalan Thayyiban”
Disadur dari majalah Sabili Edisi No. 04/Th. V 6-19 Oktober 1992