Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH, LLM: “Negara yang Mau Terima Pengungsi Rohingya Harus Verifikasi”
Sesungguhnya, di dunia sudah ada aturan yang mengatur status pengungsi, yaitu Konvensi 1951. Konvensi Terkait Status Pengungsi yang juga dikenal sebagai Konvensi 1951 itu adalah sebuah perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan mereka lantas menjadi tanggung jawab negara yang memberikan suaka. Konvensi tersebut didasarkan atas Artikel 14 Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal 1948, yang mengakui hak-hak orang yang mencari suaka untuk menghindari penindasan di negara-negara lainnya.
Konvensi tersebut juga menetapkan orang-orang yang tidak memenuhi kriteria pengungsi, semisal penjahat perang. Selain itu, konvensi tersebut juga menyediakan hak perjalanan bebas visa untuk pemenang dokumen perjalanan yang dikeluarkan berdasarkan konvensi tersebut. Seorang pengungsi dapat menikmati hak-hak dan keuntungan di sebuah negara selain negara-negara yang bersedia dalam Konvensi tersebut.
Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951. Jadi, Indonesia tidak terikat dengan pelaksanaan konvensi itu. Artinya, untuk menerima dan menampung pengungsi Rohingya sebenarnya bukan tanggung jawab Indonesia. Pandangan itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M.
Kepada Hanif Nurrohman dari Sabili.id, pria yang sejak tahun 2020 menjabat Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, itu mengatakan, persoalan pengungsi Rohingya itu seharusnya menjadi urusan UNHCR (United Nations High Commisioner For Refugees) sebagai badan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi masalah pengungsi. Sehingga, ia pun menyayangkan pemerintah Indonesia yang terlambat berkoordinasi dengan UNHCR agar lembaga PBB itu menangani masalah pengungsi Rohingya di Indonesia.
Sebab, seharusnya para pengungsi dari Rohingya itu diserap oleh negara-negara yang menjadi Anggota Konvensi 1951. Tetapi, negara-negara itu tidak mau menerima. Bahkan UNHCR pun abai dan seolah menyerahkan persoalan Rohingya ke Indonesia. Hal inilah yang ia sayangkan.
Baca juga: Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA: “Tidak Perlu Memandang Kurang Baik Pengungsi Rohingya”
“Harusnya mereka (pengungsi Rohingya) datang ke sini, kemudian diserap oleh negara-negara yang menjadi anggota dari Konvensi Pengungsi 1951 seperti Australia. Sekarang Australia tidak mau. Jadi, akhirnya mereka sekarang ada di Indonesia. Bahkan UNHCR bilang, ‘Kalau misalkan bisa dijadikan kewarga negaraan maka jadikan kewarga negaraan saja’. Saya bilang, ‘(UNHCR) kurang ajar. Memang mereka yang datang ke sini misalnya tidak ada yang jahat?’” katanya.
Menurut pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965, itu pun mengingatkan agar kita berhati-hati. Bukan berarti kita tidak manusiawi, tetapi bantuan yang diberikan atas dasar kemanusiaan juga harus didasari pertimbangan legal. Apalagi, kita tidak tahu apakah mereka pernah melakukan tindak pidana atau kejahatan di asal negaranya.
“Walaupun kita sama-sama muslim, tetapi masalahnya di negara Indonesia sendiri sudah banyak orang yang miskin, (banyak) yang butuh uang, butuh pekerjaan. Sekarang, Malaysia (pun) sudah tidak mau terima,” ujarnya.
Hikmahanto lalu menanggapi ujaran di media sosial tentang kemungkinan pengungsi Rohingya nanti berlaku seperti warga Israel di masa lalu yang masuk ke Palestina secara ilegal, lalu akhirnya justru menjajah dan merebut tanah Palestina. Menurut dia, hal itu bukan tidak mungkin. Karena itu, ia menegaskan perlunya negara-negara yang mau menerima mereka untuk melakukan verifikasi.
“Itu bukannya tidak mungkin, kalau (para pengungsi yang datang) tambah lama tambah banyak. Sekarang yang masuk ke Indonesia ada 1000 orang. (Bayangkan) Kalau 1000 orang itu berkirim surat ke Bangladesh (dan bilang) ‘datang aja ke Indonesia, enak kok di sini, kita diterima’. (Lalu) Mereka minta pulau dan minta diakui sebagai warga negara,” katanya mengingatkan.
Ia kembali menegaskan perlunya Indonesia dan negara-negara yang mau menerima para pengungsi Rohingya untuk melakukan verifikasi. “Makanya, negara-negara yang mau terima mereka harus verifikasi. Benarkah ini orang baik? Benarkah orang ini dikejar-kejar? Jangan-jangan cuma mencari penghidupan yang lebih baik. Ya, walaupun kita sama-sama muslim, jangan cuma kasihan-kasihan saja,” tutupnya.