Prof. Dr. Ma’mun Murod: “Jokowi Tidak Mau 3 Periode Adalah Mafhum Mukholafah”
Hal itu dikatakan Ma'mun Murod Al-Barbasy ketika tampil sebagai narasumber dalam diskusi publik yang bertemakan “Pemilu 2024 dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Kamis, 21 Desember 2023. Diskusi publik tersebut dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian acara Launching Forum Rektor PTMA (Perguruan Tinggi Muhammadiyah 'Aisyiyah) di ruangan Aula Kasman Singodimedjo, FISIP UMJ. Tiga narasumber tampil pada diskusi kali ini. Selain Prof. Dr. Ma'mun Murod Al-Barbasy, tampil pula Prof. Effendi Gazali, Ph.D (Pakar Komunikasi Politik) dan Dr. Ujang Komarudin, M.Si (Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia).
Prof. Dr. Ma’mun Murod mengawali diskusi dengan pernyataan bahwa dalam diskusi ini ia tidak ada kepentingan apa pun dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden mana pun. Apa yang dibahas dalam diskusi ini murni demi kemajuan demokrasi dan pemilu yang luber dan jurdil di Indonesia. Ia juga memberikan definisi demokrasi dalam perspektif dia.
“Saya tidak ada urusan dengan paslon mana pun. Urusan saya adalah dengan demokrasi dan pemilu yang luber - jurdil. Demokrasi yang dimaksud ini bukan demokrasi primitif. Ketika demokrasi seperti ini (primitif), maka hanya menjadikan demokrasi prosedural yang bersifat hitam dan putih. Tetapi demokrasi yang dimaksud ini adalah bukan hanya prosedur tetapi nilai dan etika demokrasi juga ditambahkan. Cawapres yang memperalat Mahkamah Konstitusi adalah contoh demokrasi yang primitif. Nilai sifatnya di atas hukum formal, ketika ada calon pemimpin – yang akan menjadi pemimpin ke depannya – sudah mengabaikan etika, maka dipastikan juga akan melanggar aturan-aturan hukum lainnya,” kata Ma’mun Murod.
Ia melanjutkan, konsep luber - jurdil sudah ada sejak zaman Orde Baru, tetapi kecurangan pasti ada di tiap Pemilu. Selanjutnya, ia menyampaikan pandangannya terkait kondisi demokrasi di masa yang akan datang.
“Menurut data yang dikumpulkan Forum Rektor PTMA, terdapat 54 juta data DPT siluman yang tercatat KPU. Dan juga demokrasi hanya menarik bagi orang kampus (akademisi). Tidak menarik bagi penguasa. Kalau kita melihat masa depan demokrasi di Indonesia, maka untuk optimis rasanya susah, terutama dalam hal jurdil,” ujarnya.
Baca juga: Deklarasi Kampanye Damai: Antara Lamis dan Harapan
Ma’mun Murod juga mengatakan bahwa sebenarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terlalu cerdas. Tetapi Jokowi mampu memanfaatkan ketua-ketua partai. Ma’mun juga menjelaskan mengapa pemerintahan sekarang terlihat “kuat”, yaitu karena banyak unsur yang diam atas hal ini.
“Presiden Jokowi tidak pintar-pintar amat. Yang saya lihat pintar itu hanya pintar memanfaatkan kekuatan ketua-ketua partai saja. Jokowi sekarang terlihat seolah-olah kuat, karena mahasiswa diam, rektor diam, rakyat diam, dan bahkan pakar pun diam,” lanjut Ma’mun Murod.
Sebagai penutup, Prof. Ma’mun Murod mengatakan, agar demokrasi ke depan terlihat optimis, maka pastikan agar calon pemimpin yang naik dengan cara amoral tidak terpilih. Dan juga agar Jokowi tidak menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan kekuasaannya.
“Agar demokrasi ke depan ini terlihat optimis, pastikan Gibran tidak terpilih. Ia naik dari proses yang amoral. ‘Saya ini tidak mau 3 periode,’ ujar Jokowi, ini adalah mafhum mukholafah. Ketika Bu Mega gagal pada Pemilu 2004, beliau tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat senjatanya. Tetapi Jokowi tidak. Ia menggunakan semua kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya saat ini,” tutup Prof. Dr. Ma’mun Murod.