Prof. Rasjidi Melepas Jabatan demi Memegang Prinsip
Penulis: Mahmud Budi Setiawan (Pegiat Sejarah)
Selain kesederhanaan dan keteladanan tokoh-tokoh Islam di era kolonial Belanda, ada hal lain yang patut diteladani yaitu tidak gila jabatan. Mereka adalah orang-orang yang memilih hidup sederhana. Ketika dipercaya menjabat, maka dijalankan dengan amanah.
Demikian halnya dengan figur Prof. Dr. H.M. Rasjidi (1915-2001). Tokoh Muhammadiyah jebolan Universitas Kairo ini tidak diragukan kontribusinya pada Republik Indonesia. Berikut jabatan yang pernah diemban oleh murid dari Syekh Syurkati ini.
Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama pertama dalam Kabinet Sjahrir (1946); Sekretaris dan Ketua Delegasi Diplomatik RI ke negara-negara Arab (1947-1949); Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951); Dubes RI di Pakistan (1956-1958) dan jabatan lainnya. Semua itu tidak menyilaukan matanya dan memperkaya diri.
Contoh saat beliau menjabat Menteri Agama pertama pada Kabinet Syahrir II (1946). Kementerian Agama kala itu sudah memiliki kantor sendiri di Yogyakarta, sementara Prof. Rosjidi tinggal di Kotagede, rumah hadiah mertua. Setiap hari doktor lulusan Universitas Sorbon Prancis itu berangkat ke kantor dengan mengayuh sepeda sejauh 12 kilometer. Betapa sekelas menteri rela tidak memakai mobil dinas, hanya sepeda kayuh.
Baru mengendarai mobil ketika dipinjami oleh seorang Kalang (sekelompok penduduk yang kaya raya). Baru setelah itu beliau bisa berkendara dengan mobil saat ke kantor.
Masalahnya mobil pinjaman sudah tak bagus, ditengah perjalanan ke Kantor, ban kempes. Untunglah Pak Hardjo, sopir Prof. Rasjidi, menyiasati dengan diisi penuh rumput kering. Begitulah Rasjidi pergi ke kantor dengan ban mobil berisi rumput kering. Itulah cermin kesederhanaan meski jabatan mentereng.
Ada hal yang masih segar dalam ingatan Rasjidi. Suatu hari Bung Karno bilang "Bagaimana Bung Haji Rasjidi? Agaknya Kyai-kyai dari NU kurang menyukai Anda duduk di situ?"
Dengan ringan Rasjidi menjawab, "Apabila saya memang diminta untuk berhenti, saya pun akan berhenti juga. Tetapi, selama saya masih berfungsi, insya Allah semua tugas yang dibebankan kepada saya akan saya usahakan lakukan sebaik-baiknya." (70 Tahun Prof. Dr. Rasjidi, 1985: 34-35)
Jawaban yang sangat luar biasa. Beliau tidak gila jabatan. Semua diterima dengan legawa, dengan tetap profesional menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Sebenarnya, bisa saja Rasjidi menolak berhenti, sebab alasan Bung Karno tidak masuk akal dan tak ada sangkut pautnya dengan skill. Hanya unsur ketidaksukaan oknum kiyai-kiyai NU kepada dirinya yang menjabat sebagai Menteri agama.
Pada Kabinet Sjahrir III, memang Prof. Rasjidi tidak menjabat lagi sebagai Menteri Agama dan digantikan oleh Kyai Haji Faturrachman dari kalangan NU, menantu H. Hisyam, tokoh Muhammadiyah.
Setelah tak menjabat menteri, Rasjidi pun kembali pulang ke Kotagede menjalani aktivitas sehari-hari. Demikianlah keteladanan Prof. Rasjidi. Beliau tidak gila jabatan. Bila dilihat dari jabatan-jabatan selanjutnya, bukan hasil meminta-minta, tapi diminta.
Ada lagi kisah yang menggambarkan bahwa jabatan bukanlah perkara yang menyilaukan. Lukman Hakiem dalam buku “Dari Panggung Sejarah” (71) mencatat bahwa sepekan setelah Rasjidi tak menjabat Menteri Agama, ada surat keputusan dari Presiden Soekarno, menjabat Sekretaris Jendral Kementerian Agama. Keesokan harinya pun, beliau masuk kantor kembali.
Bayangkan! Meski jabatan ini secara posisi dan level di bawah jabatan sebelumnya, dia tidak gengsi dan tetap menerima amanah itu. Bukti bahwa jabatan tidak pernah membuat dirinya ambisius. Rasjidi tahu betul bahwa jabatan adalah amanah dan menurut agama tidak diberikan kepada yang meminta-minta.
Ada satu kisah lagi, mungkin belum ditulis dalam buku-buku mainstream sejarah Indonesia bahkan dalam buku biografi Rasjidi sekalipun. Dalam koleksi majalah Islam lawas Harmonis No.148 (VIII/15 Januari 1978: 6). Memuat hasil wawancara wartawan majalah Harmonis dengan Prof. Rasjidi di rumahnya, berjudul “Prof. Dr. H.M. Rajisdi yang Hafal 30 Juz Al-Qur’an”.
Pada wawancara itu, Prof. Rasjidi bercerita, bahwa pada tahun 1958, saat Rasjidi masih menjabat Duta Besar di Pakistan, Soekarno berkunjung ke sana. Pada momen itu, ada Brigjen yang disuruh Presiden Soekarno menemui Rasjidi untuk dicarikan wanita yang akan melayani Bung Karno. Dengan mata berkaca-kaca, seraya berkata, “Ya Allah, saya malu dan sedih sekali! Waktu itulah saya meninggalkan jabatan Dubes!”
Disisi ini menggambarkan betapa Rasjidi adalah figur tokoh Islam yang tidak rela menjual prinsip agamanya demi jabatan. Beliau lebih baik kehilangan jabatan daripada harus kompromi dengan pelanggaran-pelanggaran syariat yang menurut prinsipnya harus ditegakkan. Maka tidak heran sepanjang hayatnya, jabatan setinggi apapun tidak pernah menguasai dirinya.
Penulis jadi teringat doa masyhur dari orang-orang arif:
“Ya Allah jadikanlah dunia di dalam (genggaman) tangan kami, dan jangan menjadikannya dalam hati kami!”
Sepanjang hidupnya, Prof. Rasjidi tidak pernah dikuasai jabatan, tapi jabatan itu dia genggam di tangannya dengan penuh amanah bagi agama, bangsa dan negara. Rahimahullah rahmatan waasi’ah.