Puasa dan Lebaran di Negeri yang Berbeda Awal Puasanya
Tanya:
Assalamu alaikum ustadz,
Insya Allah hari ini (8 Maret 2024) saya berangkat menuju Uganda ustadz. Di sana mulai ramadhannya tanggal 10 Maret. Sedangkan di Indonesia tanggal 12, yang ingin saya tanyakan, mana yang harus saya ikuti, awal puasa di Indonesia atau Uganda?
Sebelum lebaran saya sudah akan di Indonesia lagi. berarti lebarannya ikut Indonesia ya ustadz?
-- Ricky Hamdani, tim GF.
Jawab:
Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Puasa dan berhari raya mengikuti negeri tempat kita berada di saat itu. Maka jika seseorang berada di Uganda maka dia ikut puasa bersama orang di negeri itu. Saat pulang ke Indonesia maka ikut hari raya di Indonesia. Hal ini merujuk pada hadits Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda,
“Puasa di hari puasa bersama orang banyak, berhari raya juga bersama mereka dan Idul Adh-ha juga bersama mereka.” – HR. At-Tirmidzi, No.697
At-Tirmidzi menjelaskan bahwa sebagian ulama menafsirkan hadits ini berpuasa, berhari raya dan berkurban mengikuti jamaah dan orang banyak.
Juga berdasarkan hadits Kuraib dalam Shahih Muslim yang mana dia diutus Ibnu Abbas ke Damaskus, lalu dia puasa di hari Jum’at bersama orang-orang di Damaskus, begitu pulang ke Madinah dia mendapati orang mulai puasa hari Sabtu. Zahirnya Kuraib mengikuti penduduk Madinah dalam berhari raya, sebab kalau dia sudah berbuka terlebih dahulu tentu akan dia sebutkan dalam riwayatnya.
Jadi, kalau antum pulang ke Indonesia, dan ternyata Indonesia puasanya 30 hari berarti antum tetap ikut puasa meski 31 hari. Sebaliknya bila mengawali puasa di tempat yang lebih belakangan berpuasa lalu hari raya berada di tempat yang lebih dahulu dan mereka puasa hanya 29 hari maka tetap ikut hari raya bersama mereka, artinya puasa 28 hari, tapi nanti harus diqadha puasa satu hari lagi, karena puasa itu minimal 29 hari.
Beberapa fatwa ulama tentang hal ini misalnya fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa beliau:
- Contoh pertama.
Seseorang pindah dari negara yang penduduknya berpuasa pada hari Ahad ke negara yang penduduknya berpuasa pada hari Sabtu. Lalu mereka berhari raya setelah dua puluh sembilan hari puasa, maka hendaknya dia behari raya bersama mereka dan harus mengqada satu hari (karena berarti dirinya hanya berpuasa dua puluh delapan hari).
- Contoh kedua.
Seseorang pindah dari negara yang penduduknya berpuasa pada hari Ahad ke negara yang penduduknya berpuasa hari Senen. Lalu mereka berhari raya pada hari Rabu setelah berpuasa tiga puluh hari. Maka hendaknya dia tetap berpuasa bersama mereka meskipun melebihi tiga puluh hari. Karena dia berada di tempat yang belum melihat hilal, maka tidak dihalalkan baginya berbuka. Hal ini menyerupai orang yang safar dalam kondisi puasa dari negara yang di sana matahari terbenam jam enam ke negara yang disana matahari tidak terbenam kecuali pada jam tujuh. Maka tidak dibolehkan baginya berbuka hingga matahari terbenam pada jam tujuh. Berdasarkan firman Allah:
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” – QS. Al-Baqarah:187
- Contoh ketiga.
Seseorang pindah dari negara yang penduduk berpuasa hari Ahad ke negara yang penduduknya berpuasa hari Senin. Mereka berbuka hari Selasa dengan dua puluh sembilan hari. Maka dia berbuka bersama mereka. Sehingga mereka berpuasa dua puluh sembilan, sementara dia berpuasa tiga puluh hari.
- Contoh keempat.
Seseorang pindah dari negara yang penduduknya berpuasa pada hari Ahad dan mereka berhari raya pada hari Selasa setelah berpuasa selama tiga puluh hari menuju negara yang penduduknya berpuasa pada hari Ahad dan berhari raya pada hari Senin setelah berpuasa selama dua puluh sembilan hari, dan dia berhari raya bersama mereka. Maka dia tidak diharuskan mengqada sehari, karena dia telah menyempurnakan dua puluh sembilan hari.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Syekh Al-Utsaimin jilid 19 hal. 69-70).
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: redaktursabili@gmail.com