Pulau Pari, Surga yang Digerus Keserakahan
Berjarak hanya dua jam perjalanan dari jantung Jakarta, tersebutlah Pulau Pari. Sepetak keindahan yang kini perlahan berubah menjadi kisah muram. Dulu, ia adalah oase di tengah hiruk-pikuk ibu kota — tempat orang datang untuk menenangkan diri dari bisingnya ambisi manusia. Percaya atau tidak, lautnya sebening kaca, pasirnya seputih doa, dan mangrove-nya berdiri kokoh menahan abrasi. Warga di sana hidup sederhana, menjaring ikan, menanam pohon, dan menjaga laut seperti menjaga hidupnya sendiri.
Namun, seperti biasa, yang indah selalu mengundang tangan-tangan congkak. Pulau Pari kini menjadi ajang pembuktian bahwa kerakusan manusia tak kenal batas. Atas nama “investasi” dan “pengembangan wisata”, surga kecil itu digerus sedikit demi sedikit. Mangrove ditebang, padang lamun dikeruk, laut dijadikan halaman belakang proyek. Mereka menancapkan tiang-tiang besi di tanah yang belum kering dari peluh nelayan dan menyebutnya “penataan kawasan”. Sungguh kejam.
Dan di balik semua itu, ada nama yang kini menjadi simbol kerakusan di mata warga: PT Central Pondok Sejahtera (PT CPS). Perusahaan itu datang dengan wajah sopan dan jargon hijau — mengaku tengah membangun “ekowisata berkelanjutan” — namun apa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.
PT CPS mengantongi izin pemanfaatan ruang laut (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut/KKPRL) untuk membangun cottage apung dan dermaga wisata di area seluas 180 hektare. Tetapi, aktivitas mereka jauh melampaui izin itu. Alat berat dikerahkan, reklamasi dilakukan, laut dikeruk, dan perairan yang dulu jernih kini berubah keruh.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan telah menyegel proyek mereka setelah menemukan pelanggaran izin dan aktivitas reklamasi ilegal. Namun, hingga kini, publik tak pernah tahu siapa sebenarnya yang berdiri di balik nama PT CPS — siapa pemilik sahamnya, siapa investornya, dan siapa dalang sesungguhnya yang menggerakkan proyek besar ini. Yang tampak hanya cangkang korporasi, rapi dan berizin, tetapi di baliknya menyimpan wajah lama kerakusan yang menamakan diri pembangunan.
Proyek yang disebut sebagai “ekowisata”, sebetulnya kata eko cukup untuk menutupi dosa ekologis mereka. Begitulah congkaknya manusia, merasa menjadi penyelamat alam padahal tengah memerdagangkannya demi keuntungan.
Pulau Pari adalah sistem kehidupan. Maka, akar mangrove yang mereka cabut adalah rumah bagi kepiting dan ikan kecil; padang lamun yang mereka kikis adalah tempat bertumbuhnya terumbu karang, dan laut yang mereka reklamasi adalah sumber napas bagi seluruh ekosistem.
Data riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama The SMERU Research Institute (2025) menggambarkan luka yang nyata di balik keindahan Pulau Pari. Lebih dari 40.000 pohon mangrove hancur akibat pembangunan resort oleh perusahaan swasta. Padang lamun rusak, karang memutih, dan abrasi menggerus pantai hingga daratan menyusut lebih dari sepuluh persen. Suhu laut meningkat, banjir rob kini datang hampir setiap bulan, dan nelayan tinggal seperlima dari total penduduk. Pendapatan mereka pun anjlok — dari dulu bisa menjual ikan setiap hari, kini hanya satu-dua kali seminggu.
Masalahnya tak berhenti di alam. Risetnya juga mengungkap bahwa Pulau Pari terbelah oleh konflik agraria yang telah berakar sejak 1960-an. Perusahaan mengeklaim kepemilikan tanah yang telah ditempati warga selama puluhan tahun, menimbulkan perpecahan sosial di antara kelompok pro-perusahaan, netral, dan yang memerjuangkan hak warga. Pemerintah daerah berdalih tidak bisa membangun fasilitas publik karena status tanah adalah “milik swasta”. Akibatnya, warga kehilangan kepercayaan dan bahkan berhenti mengikuti musrenbang — forum resmi perencanaan pembangunan.
Di tengah keterdesakan itu, muncul sebuah solusi dari warga. Warga menanam kembali mangrove, membuat rumpon ikan, mengolah sampah organik dengan maggot, hingga menanam sayur di lahan sempit untuk menjaga ketahanan pangan. Kelompok perempuan bahkan membangun perkebunan kecil dan wisata edukatif di Pantai Rengge sebagai simbol kemandirian. Semua itu dilakukan tanpa sokongan berarti dari pemerintah — murni karena kesadaran bahwa menjaga alam berarti menjaga hidup.
Di dalam konteks ini, Allah Swt telah memeringatkan dalam Al Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar-Rum: 41).
Ayat itu kini bergema di Pulau Pari. Laut yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi saksi bisu pengkhianatan manusia terhadap amanahnya sebagai khalifah fil ardh — pemelihara bumi. Di dalam pandangan Islam, menjaga lingkungan bukan sekadar etika ekologis, tetapi adalah bagian dari misi spiritual, di antaranya menjaga kehidupan dan menjaga bumi. Merusaknya berarti menentang kehendak Sang Pencipta.
Manusia diberi akal bukan untuk menaklukkan alam, melainkan menyeimbangkannya. Namun, kini yang terjadi justru sebaliknya: Akal dipakai untuk membenarkan kerakusan, teknologi dijadikan alat memercepat kehancuran, dan bumi diperas tanpa malu. Mereka lupa, bumi adalah amanah.
Di tengah ambisi Jakarta mengejar status “kota global”, Pulau Pari menjadi cermin yang jujur, bahwa kemajuan tanpa nurani hanyalah ilusi. Sebab, yang membuat sebuah bangsa besar bukan gedung pencakar langit atau investasi triliunan rupiah, melainkan kemampuannya menjaga tanah, laut, dan langit — sumber kehidupan yang sesungguhnya.
Bumi tidak menuntut banyak. Ia hanya meminta agar manusia berhenti bersikap congkak. Sebab, ketika manusia berhenti menghormati alam, alam pun tak lagi punya alasan untuk menyelamatkan manusia.