Putra Jepara dan Mimbar Shalahuddin: Indonesia di Panggung Sejarah Al-Aqsa

Masjid Al-Aqsa tak hanya penuh kemuliaan, tetapi juga menyimpan jejak artistik yang agung. Salah satunya mimbar Shalahuddin. Mimbar itu dibawa langsung oleh Shalahuddin Al-Ayyubi usai membebaskan Baitul Maqdis pada 1187 M. Namun, 56 tahun lalu, mimbar yang menjadi simbol kemenangan umat Islam itu hangus terbakar akibat ulah ekstremis Yahudi pada 21 Agustus 1969, meninggalkan luka mendalam bagi umat Islam.

Restorasi kemudian diinisiasi Kerajaan Yordania. Melibatkan 25 pengrajin terbaik dunia, termasuk dari Indonesia. Kini, Sabili.id mewawancarai Abdul Muthalib, perajin asal Jepara yang turut menghidupkan kembali mimbar tersebut dengan sentuhan ukir khas Nusantara. Sebuah bukti bahwa Indonesia hadir nyata dalam menjaga kebudayaan Al-Aqsa.

Panggilan Hati

Pria yang akrab disapa Thalib itu mendapat undangan untuk misi restorasi Mimbar Shalahuddin melalui sahabatnya ketika merantau di Bandung pada 1997. Ia menerima tanpa ragu. Bahkan, ia merasa ada dorongan batin untuk terlibat.

"Saat itu saya ditawarkan dan merasa ada panggilan tersendiri. Kok tiba-tiba merasa siap. Akhirnya dengan niat hati — panggilan jiwa istilahnya — saya menerimanya," kisah Thalib.

Pembakaran Al-Aqsa Alarm Panjang Umat yang Terlelap
Like & Follow Us! Instagram : https://s.id/IgSabili Lyinkid : https://lynk.id/mediasabili YouTube : https://s.id/youtubesabili Group Whatsapp : https://s.id/wagsabili Telegram : https://s.id/telegramsabili Tiktok : https://www.tiktok.com/@media.sabili

Namun, misi itu memerlukan riset mendalam. Berbagai arsip bersejarah pun dikumpulkan. Hingga pada 2002, proses restorasi mulai dilakukan. Butuh 5 tahun hingga mimbar selesai dirampungkan pada 2007.

Ukiran Jepara untuk Al-Aqsa

Thalib menuturkan bagaimana seni ukir Jepara dan keterampilan dia membantunya dalam pemulihan mimbar, meski menghadapi tantangan karena perbedaan corak ukiran dengan dunia Timur Tengah.

"Secara pribadi, saya merasa bangga ikut mengenalkan budaya Indonesia, khususnya Jepara. Namun, saat pengerjaannya sangat lain dengan yang ada di Indonesia. Karena sifatnya itu kan mengembalikan barang yang dulu sudah ada. Jadi, saya tetap belajar, dengan orang Turki misalnya, yang memiliki kedekatan budaya dengan Timur Tengah," jelasnya.

Namun, tantangan itu justru menjadi pengalaman paling berharga dalam hidupnya. Pengerjaan 16.500 potongan kayu yang kecil dan rumit, serta interaksi dengan para perajin dari berbagai negara, membuatnya banyak belajar.

"Dengan ukirannya yang rumit sekali, utamanya terlalu kecil, dengan banyaknya adat dari berbagai negara, ada ruang tersendiri untuk menambah ilmu. Jadi, sangat banyak manfaat dengan orang banyak… dan semua itu saling melengkapi. Itu yang paling membekas sampai sekarang," tuturnya.

Restorasi Mimbar Shalahuddin: Jejak Bersejarah Indonesia di Masjid Al-Aqsa
Proses restorasi Mimbar Shalahuddin dilaksanakan selama lima tahun di Universitas Al-Balqa, kota As-Salt, Yordania, dengan biaya mencapai jutaan dolar, melibatkan para ahli restorasi kelas dunia, termasuk sekelompok perajin dan seniman ukir asal Indonesia.

Indonesia di Mata Dunia

Awalnya, perbedaan corak membuat para perajin Turki dengan lembut sering mengoreksi pekerjaan perajin Indonesia. Namun, ketelatenan dan pengalamannya segera membuktikan kualitas ukiran Indonesia.

"Nah, saya dengan legowo mengikuti dan belajar. Setelah belajar, justru malah dinilai dari tim Yordania, ternyata orang Indonesia ini ukirannya bagus dan cepat. Makanya, tadinya saya datang berdua dengan kakak saya, sampai akhirnya ketika mimbar ini harus cepat selesai, diputuskan membawa orang lagi dari Indonesia. Saya akhirnya ambil tiga orang," kenangnya.

Indonesia akhirnya diwakili 5 putra terbaiknya dalam misi bersejarah ini. Yaitu Abdul Muthalib bin Parni, Sarmidi bin Parni, Muhammad Ali, Zainal Arifin bin Parni, dan Mustafiduddin Al-Aziz.

Lebih dari Sekadar Ukiran

Thalib menekankan, ukiran hanyalah bagian kecil dari perjuangan Masjidil Aqsa. Yang lebih penting adalah sisi keumatan dan kemanusiaan.

"Kita sebagai umat Islam dari awalnya begitu. Makna utamanya adalah cerita dari mimbar itu dahulu yang jadi simbol kemenangan Palestina hingga terbakar, saya berharap bisa kembali seperti zaman Shalahuddin Al-Ayyubi dulu," katanya.

"Kalau tentang harapan, istilahnya tak hanya di ukiran saja, tetapi kita harus memikirkan kemanusiaannya yang penting, harus dari hati kita sendiri. Kita pun harus paham bahwa Palestina punya orang Islam,” pungkasnya.