Putusan MK: Akankah KIM-Plus Menjadi KIM-Min?
Dinamika politik di Indonesia kerap menyajikan plot twist yang tak jarang ngeselin dan bikin frustrasi. Tetapi kerap pula menjanjikan sebuah kemukjizatan, blessing in disguise, yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang khatam mengamalkan sila pertama Pancasila. Sebagai rakyat yang memiliki daulat, kadang kita bingung harus memosisikan diri sebagai apa di dalam panggung yang kerap berubah haluan meski tanpa gerimis dan angin.
Setelah selama beberapa hari sebelumnya panggung politik mengumbar sejumlah fakta tak senonoh, berupa persekongkolan rakus, saling sandera, bahkan pembajakan aspirasi warga melalui perselingkuhan para elite politik, siang kemarin tiba-tiba putusan MK keluar, bak angin kencang yang meniup gumpalan awan hitam di langit demokrasi kita. Sontak wajah langit terang. Sinar matahari leluasa menebarkan kembali harapan-harapan politik rakyat, yang sempat layu oleh kepongahan para pemilik kendaraan politik. Elite Parpol seakan mengolok-olok nalar publik, “Anda boleh mendukung calon, tetapi partai politiklah yang berhak mencalonkan!”
Nama-nama populer di tengah masyarakat nyaris putus asa. Memiliki elektabilitas tinggi tetapi tak punya partai. Partai pun emoh mencalonkan mereka. Pilkada berbeda dengan Pilpres. Lebih baik mengikuti kemauan oligarki, ada keuntungan yang pasti dapat dikalkulasi. Demikian argumennya.
Koalisi Indonesia Maju (KIM), himpunan 10 partai politik yang sukses memenangkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, tampaknya ingin memperluas dan melanggengkan kesuksesan tersebut hingga ke Pemilihan Kepala Daerah. Pilkada Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Banten, dan Jawa Tengah, adalah agenda penting KIM. Mereka bermaksud melakukan sapu bersih semua kursi kepala daerah di provinsi-provinsi tersebut dalam pangkuan KIM.
Untuk mencapai syahwat politik itu, KIM yang diorkestrasi oleh presiden dan presiden terpilih, bahkan rela berbagi kue kekuasaan dengan partai-partai politik yang dalam Pilpres 2024 kemarin menjadi rival mereka. KIM Plus, itulah project baru yang akan menjadi piranti untuk mewujudkan imperium politik mereka. Pilkada Jakarta, Jabar, dan Jateng, adalah project paling penting yang harus mereka menangkan!
Deklarasi pasangan Ridwan Kamil dan Suswono tanggal 19 Agustus 2024 kemarin adalah langkah nyata sekaligus realisasi KIM Plus. Sejumlah 12 Partai berserikat untuk memenangkan pasangan RK dan Suswono. Menyisakan PDIP dan Anies Baswedan yang tak diajak bergabung dan tidak bisa mencalonkan gubernur sendiri.
Pendukung Anies kecewa. Pendukung Ahok merana. Kelompok pro-demokrasi berang. Tetapi tanpa bisa berbuat apa-apa. Tampaknya pil pahit terpaksa harus ditelan. Nyaris tak ada ruang untuk lepas dari perangkap politik KIM Plus.
Namun, keajaiban itu tiba juga. Politik di Indonesia terbukti bukan komidi putar, seakan bergerak cepat tetapi memutar di tempat. Kali ini, rakyat yang berdaulat dipaksa naik roller coaster melalui putusan MK. Jumpalitan dalam rel turun-naik yang ekstrem, tikungan tajam dalam kecepatan tinggi, penuh kejutan yang memacu andrenalin. Rakyat pun bersorak, pesta demokrasi di Jakarta belum akan segera usai.
KIM-Plus Akankah Jadi KIM-Min?
Ya, secara mengejutkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terhadap UU Pilkada yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Di dalam putusan itu, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi di DPRD. Hal lain yang tak kalah penting, turunnya ambang batas (threshold) persentase untuk pencalonan dari Parpol menjadi 7,5%. Putusan tersebut juga menetapkan bahwa ambang batas usia pencalonan diri adalah 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon oleh KPU.
Putusan tersebut berkonsekuensi terbukanya kembali kran kompetisi Pilkada, sehingga aspirasi masyarakat dapat terakomodir secara luas. Untuk kasus Pilkada Jakarta, pintu kompetisi yang nyaris tertutup bagi PDIP dan Anies Baswedan terbuka kembali secara lebar, akibat dari putusan MK tersebut. Demikian juga bagi pencalonan Airin di Banten.
Sudah barang tentu, putusan MK ini berdampak luas. Tak hanya di Jakarta. Perubahan peta politik dan koalisi juga diprediksi bakal mengalami perubahan formasi secara drastis. Banyak partai politik bisa mencalonkan sendiri calon Gubernur dan Bupatinya, mengakibatkan pemaknaan dan sudut pandang Parpol terhadap koalisi juga bakal bergeser.
Di dalam konteks ini, menarik untuk disimak kemungkinan yang akan terjadi pada KIM Plus yang baru saja mendeklarasikan RK-Suswono. Seberapa jauh putusan MK tersebut berdampak pada KIM Plus, khususnya di Pilkada Jakarta?
Satu fakta yang harus dicermati, KIM Plus memang telah melakukan deklarasi, tetapi belum secara resmi mendaftarkan calon yang mereka usung ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). RK-Suswono baru didelarasikan. Belum didaftarkan.
Artinya, masih ada kemungkinan untuk berubah. Efek dari putusan MK sudah pasti akan menjadi kajian serius partai politik. Bisa mengusulkan calon sendiri adalah situasi yang secara psikologis berbeda dan menciptakan ruang-ruang koalisi yang tidak tunggal.
Kalkulasi untung rugi saat KIM Plus digagas, mungkin akan sangat berbeda dengan situasi pasca putusan MK. Tidak ada partai yang dominan dalam proses pengusungan calon kepala daerah, adalah variabel yang berpengaruh secara mendasar dan berdampak jangka panjang bagi partai-partai politik.
PDIP yang memiliki calon potensial semacam Ahok dan mungkin mengusung Anies yang sejauh ini memiliki elektabilitas tertinggi dalam berbagai survei, tampaknya akan menjadi pertimbangan pula bagi KIM Plus. Jika sebelumnya KIM Plus percaya diri RK bakal menang mudah melawan calon boneka yang mereka rancang, maka setelah putusan MK keluar, peta kemangangan berubah. Setidaknya tidak dalam optimisme yang tinggi.
PKS sebagai pemilik kursi terbanyak di Jakarta bisa jadi berubah pikiran. Toh belum mendaftar, ini. Partai pemenang masak sekadar puas jadi wagub? Itu situasi yang juga bisa menggoda anggota Kim Plus lainnya.
Mampu mencalonkan kader sendiri tanpa koalisi, mungkin akan semakin sulit dikelola oleh Kim Plus dari pusat. Kehendak politik daerah, ambisi politik kader, bahkan minat investor politik lokal, tak akan gampang lagi diorkestrasi pasca keluarnya putusan MK.
Lantas, mungkinkah KIM-Plus menjadi KIM-Min? Di dalam arti, koalisi KIM-Plus menjadi cair kembali, sehingga ada partai anggota koalisi yang memilih jalannya sendiri? KIM-Plus rontok?
Tentu saja hal itu belum bisa dipastikan hari ini. KIM-Plus tak hanya terbentuk oleh keinginan untuk menang Pilkada. Ada jatah kursi menteri yang dikompensasikan. Ada biaya politik yang juga dijanjikan untuk dikembalikan. Yang tak kalah penting, KIM-Plus juga diikat oleh ancaman jeratan kasus hukum. Secara teknis, KIM-Plus tak mudah retak.
Tetapi percayalah, politik di Indonesia masih selalu menjanjikan kejutan yang lain. Panggung politik kita bahkan kerap mengalami jungkir balik oleh melankolisme murahan. Kadang menggelar kekonyolan yang mengundang tawa, sehingga publik lupa mana yang penting dan mana yang tidak penting. Dan jangan lupa, klenik dalam politik kita juga masih kental. Ruang irasional masih begitu luas berpengaruh dalam tradisi politik kita.
Kim-Plus menjadi Kim-Min, masih mungkin terjadi. Meski tanpa gerimis dan angin.