Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Selamatkan Rakyat dari Jerat Kemiskinan

Delapan puluh tahun telah berlalu sejak gema kemerdekaan Indonesia mengguncang langit penjajahan. Waktu terus berjalan, generasi pun berganti, namun semangat perjuangan yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa dan para pahlawan masih menyala di dalam dada anak negeri yang mencintai tanah tumpah darahnya.

Di balik setiap langkah Republik ini, tersimpan jejak pengorbanan, keringat, air mata, dan darah yang tak bisa dihitung dengan angka, tak dapat dibayar dengan materi. Mereka adalah cahaya yang menerangi jalan ketika bangsa ini terjerat dalam gelapnya kolonialisme, menjadi arah penunjuk saat semua samar, dan menjadi lentera harapan di tengah malam panjang penjajahan.

Kini, ketika usia Indonesia menginjak delapan dekade, mari kita berhenti sejenak, menunduk, dan merenung: Sudahkah kita benar-benar menjaga makna dari kata merdeka? Indonesia lahir dari keberanian, kecerdasan, dan keikhlasan orang-orang yang berani menantang kekuasaan kolonial, rela mengorbankan nyawa demi satu kalimat yang agung: “Indonesia merdeka”. Maka, jasa mereka tak akan pernah terbalas dengan kata-kata. Satu-satunya cara menghormati mereka adalah dengan terus melanjutkan perjuangan itu dengan cara kita hari ini: Menjaga keadilan, memerjuangkan kebenaran, dan merawat Indonesia agar tetap menjadi rumah bagi semua, di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.

Indonesia Butuh Tokoh Teladan, DDII Resmi Mulai Produksi Film Mohammad Natsir
Mohammad Natsir dikenal sebagai pahlawan nasional, negarawan, ulama, pendidik, dan jurnalis. Ketokohan Natsir diakui tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di panggung dunia. Maka, kehadiran film biopik tentang Natsir menjadi karya yang layak ditunggu.

Indonesia hari ini adalah cerminan dari sebuah peradaban yang masih terus berproses menemukan bentuk idealnya. Di satu sisi, kemajuan teknologi, infrastruktur, dan partisipasi masyarakat memberikan harapan. Namun di sisi lain, kita masih harus bergelut dengan ketimpangan ekonomi, praktik korupsi, melambungnya angka kekerasan seksual kepada anak, kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, kemiskinan struktural, hingga krisis lingkungan yang belum tertangani.

Maka, menyambut delapan puluh tahun kemerdekaan tidak cukup hanya dirayakan lewat seremoni dan simbol-simbol peringatan. Ini harus menjadi ajakan untuk merenung lebih dalam bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang menanti untuk diselesaikan bersama.

Di tengah arus ekonomi yang semakin merosot, realitas pahit makin sulit disangkal. Harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan pekerjaan tak lagi menampung harapan, dan ketimpangan terus menganga lebar. Di dalam keadaan seperti ini, tak sedikit masyarakat yang akhirnya terjebak dalam jerat pinjaman online. Mereka bukan serakah, bukan pula tak tahu risiko. Mereka hanya terpaksa. Sistem yang menindas secara struktural membuat mereka miskin, lalu menyodorkan pinjol seolah sebagai satu-satunya pelampung untuk bertahan hidup.

Menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, masih banyak rakyat kecil yang hidupnya jauh dari kata tenang. Salah satunya Pak Abdul. Di pinggir jalan, di bawah payung lusuh, Pak Abdul tetap setia menjajakan gorengan. Sudah belasan tahun ia berdagang, tetapi belakangan ini ia merasa ada yang berubah.

"Dulu mah bisa habis 7 kilo tepung sehari. Sekarang mah 5 kilo aja udah alhamdulillah kalau habis," katanya sambil tersenyum kecil.

Pertumbuhan Ekonomi, Antara Statistik dan Realita
Jadi, klaim pertumbuhan ekonomi ini bisa dikatakan tidak inklusif karena banyak didorong oleh pariwisata atau aktivitas liburan saat long weekend dan awal libur sekolah yang tidak dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Hanya untuk kalangan menengah atas saja.

Pasar sepi. Pembeli semakin irit. Daya beli kian menurun. Harga bahan baku naik pelan-pelan, tetapi terus terasa. Sementara itu, janji bantuan dari pemerintah yang digadang-gadang bisa membantu pedagang kecil seperti dirinya, hasilnya belum juga kelihatan.

"Katanya ada bantuan, tetapi sampai sekarang belum ada yang nerima. Kalau bisa, jangan janji aja. Kami rakyat kecil mah cuma pingin dagang tenang, nggak dibikin susah," ucapnya.

Bagi sebagian anak muda, ada cerita lebih tragis lagi. Mereka punya mimpi, punya semangat, dan bahkan punya potensi besar, tetapi semua itu seakan tak berarti ketika biaya pendidikan menjadi tembok kokoh yang tak mampu mereka runtuhkan. Kampus yang seharusnya menjadi tempat tumbuh, berubah menjadi simbol dari cita-cita yang dikubur sebelum sempat tumbuh.

Dan dari realitas yang pedih ini, lahirlah satu kalimat yang menyayat: “Pembunuh mimpi paling kejam adalah kemiskinan”. 

Maka, memerjuangkan keadilan hari ini bukan sekadar soal angka ekonomi, tetapi soal menyelamatkan mimpi yang masih menyala di dada jutaan rakyat kecil. Wajar saja jika rakyat masih sangat berisik dengan kebijakan-kebijakan gila yang menyudutkan mereka hingga seolah memaksa mereka untuk mati secara perlahan. Sungguh mengerikan.

Di dalam Islam, kemiskinan bahkan digambarkan sebagai ancaman besar terhadap iman dan keselamatan moral seseorang. Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كاد الفقر أن يكون كفرا

"Kefakiran (kemiskinan) itu hampir-hampir menyeret seseorang kepada kekufuran."

Para ulama menjelaskan, maksud dari hadits ini adalah bahwa kefakiran dapat membawa seseorang kepada keputusasaan, memudarkan harapan, hingga mendorongnya melakukan hal-hal yang diharamkan demi bertahan hidup. Saat perut lapar, iman bisa diguncang; ketika kebutuhan mendesak tak terpenuhi, manusia bisa tergoda untuk menghalalkan segala cara.

Karena itu, memerjuangkan keadilan ekonomi bukan hanya perkara sosial, tetapi juga ibadah dan penjagaan akidah. Menyelamatkan rakyat dari jerat kemiskinan sama artinya dengan menjaga kehormatan serta martabat mereka. Sebab, hal yang wajar saja jika rakyat masih sangat berisik dengan kebijakan-kebijakan gila yang menyudutkan mereka untuk mati secara perlahan.