Reshuffle dalam Bayang Cemas
Melakukan reshuffle kabinet di masa pemerintahan yang hanya bersisa dua setengah bulan mengundang munculnya ragam pertanyaan. Memang, semua pihak mahfum bahwa reshuffle adalah hak pereogratif presiden. Tidak ada yang bisa melarang. Tetapi, tentu tidak bisa dilarang pula, jika ada pihak yang diam-diam mempertanyakannya.
Pertanyaan itu muncul lantaran kesadaran normatif yang dimiliki oleh publik, bahwa reshuffle lazimnya dilakukan dengan beberapa tujuan tertentu. Publik memiliki pandangan, reshuffle kabinet adalah langkah strategis yang diambil oleh pemerintahan untuk merombak atau mengganti susunan menteri dan pejabat tinggi dalam kabinet. Langkah ini biasanya dilakukan dengan beberapa alasan yang mendesak atau strategis. Antara lain adalah:
Pertama, alasan paling sering dikemukakan adalah demi peningkatan kinerja pemerintah. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap menteri atau pejabat tinggi mampu menjalankan tugasnya secara efektif. Jika ada anggota kabinet yang menunjukkan kinerja yang buruk atau tidak mampu mencapai target, reshuffle diperlukan untuk mengganti dia dengan individu yang lebih kompeten dan berdedikasi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap sektor pemerintahan berjalan dengan efisien dan efektif serta memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat.
Kedua, menyikapi suatu krisis atau adanya skandal tertentu. Jika ada anggota kabinet yang terlibat dalam skandal atau dianggap tidak mampu menangani krisis dengan baik, reshuffle bisa menjadi solusi untuk memulihkan kepercayaan publik. Mengganti pejabat yang bermasalah menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam menjaga integritas dan akuntabilitas.
Ketiga, untuk penyegaran. Seiring waktu, stagnasi bisa terjadi jika pejabat yang sama menduduki jabatan tertentu terlalu lama. Reshuffle memberikan kesempatan untuk menyegarkan kabinet dengan ide-ide dan perspektif baru, yang dapat memacu inovasi dalam kebijakan dan implementasi program pemerintah. Ini juga dapat meningkatkan motivasi dan semangat kerja di kalangan anggota kabinet.
Keempat, reshuffle sebagai respon atas dinamika politik dan ekonomi. Perubahan kondisi politik dan ekonomi baik di tingkat nasional maupun internasional juga sering kali memaksa pemerintah untuk melakukan reshuffle. Misalnya, dalam menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah mungkin memerlukan menteri yang lebih berpengalaman atau memiliki visi yang berbeda dalam mengelola perekonomian negara. Selain itu, perubahan dalam konfigurasi politik, semisal koalisi yang berubah atau masuknya partai baru ke dalam pemerintahan, juga bisa menjadi alasan dilakukannya reshuffle kabinet.
Kelima, lebih pada tujuan politik, akomodasi, dan keseimbangan politik. Reshuffle kabinet sering kali berkaitan erat dengan upaya akomodasi politik. Di dalam sistem pemerintahan yang melibatkan banyak partai, keseimbangan kekuatan politik menjadi sangat penting. Reshuffle bisa menjadi cara bagi kepala pemerintahan untuk memberikan tempat kepada partai-partai yang mendukung dia, baik sebagai bentuk penghargaan atas dukungan politik maupun sebagai cara untuk memperkuat koalisi yang ada. Di dalam beberapa kasus, reshuffle juga digunakan untuk mengakomodasi kepentingan kelompok atau faksi tertentu dalam pemerintahan, sehingga stabilitas politik tetap terjaga.
Di atas kesadaran seperti inilah berbagai pertanyaan itu muncul. Mengapa perlu ada reshuffle di sisa waktu yang dianggap amat sempit untuk melakukan perbaikan kinerja? Bukankah menteri baru justru butuh lebih banyak waktu untuk menyesuaikan diri dan memahami program yang ditinggalkan oleh pejabat sebelumnya?
Reshuffle Atas Nama Kecemasan
Para pengamat dan politisi terlihat kompak menilai, bahwa reshuffle yang dilakukan oleh Presiden Jokowi kemarin lebih bernuansa politik dibandingkan dalam rangka profesionalitas dan perbaikan kinerja kabinet. Tak ada parameter yang secara rasional dapat menjelaskan, bahwa reshuffle tersebut dalam rangka perbaikan kinerja.
Nuansa politik yang dimaksud cukup luas spektrumnya. Ada sejumlah besar kekhawatiran yang nampaknya menindih Presiden Jokowi. Pertama, setelah kerenggangannya dengan PDIP, Jokowi merasa tidak memiliki back up politik dari pihak mana pun. Hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang bisa ia kendalikan. Sayangnya, PSI tak memiliki suara yang berarti di Senayan. Sehingga, PSI tak mungkin menjadi sandaran.
Kedua, Jokowi juga sadar bahwa beberapa kebijakan politiknya tergolong kontroversial. Rentan untuk dipermasalahkan secara politik dan hukum, pada saat ia tak lagi menjabat sebagai presiden. Jika itu terjadi, partai politik mana yang akan pasang badan untuk dirinya?
Ketiga, pertanyaan tentang akankah anak dan menantunya tetap aman pasca kelengseran dirinya nanti? Kedudukan Gibran memang berhasil ia dorong ke tempat yang tinggi, Wakil Presiden Republik Indonesia. Tetapi Jokowi tahu persis, Gibran belum cukup matang dari banyak sisi. Posisi politik yang tinggi sudah pasti menghadirkan pula tekanan politik yang tinggi, sementara Gibran belum cukup matang untuk semua tekanan itu. Apalagi jika menilik proses pencalonan Gibran yang penuh kontroversi.
Nama putri dan menantunya yang muncul dalam kasus tambang yang tengah menjadi perhatian publik, menyelinapkan pula rasa cemas. Apa yang akan terjadi di masa depan tak pernah bisa ia ramalkan. Akankah anak dan menantunya tetap aman, atau malah terseret ke pusaran kasus hukum yang mungkin dalam?
Keempat, sejumlah program yang ia gadang-gadang menjadi masterpiece justru berpotensi menjadi masalah. Lihatlah program Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Selain rutenya yang terlalu pendek, KCIC juga terancam tekor. Penumpang KCIC belum konsisten. Ramai pada musim tertentu dan sepi pada musim yang lain, sehingga harus terus disubsidi.
Ibu Kota Negara (IKN), bagaimana kelanjutannya nanti saat ia tak lagi menjadi presiden? Masyarakat telah tahu, IKN masih sepi investor. Tadinya digembar-gemborkan tanpa dana APBN, praktiknya justru banyak menyedot APBN. Banyak masyarakat yang mulai pesimis dengan masa depan IKN.
Jaminan kelangsungan program-program besarnya belum terlihat bulat. Wajar jika Jokowi semakin cemas.
Di dalam kecemasan itu, Presiden masih memiliki sedikit kartu yang bisa ia mainkan. Reshuffle adalah salah satunya. Reshuffle bisa ia pakai sebagai pengikat loyalitas dalam lingkaran politik balas budi. Agar siapa pun yang ia anugerahi jabatan akan membalasnya suatu hari nanti.
Reshuffle juga bisa dipakai oleh presiden untuk menanam saham politik. Lihatlah, jumlah menteri dari Gerindra yang naik pesat. Sebelumnya hanya ada nama Prabowo Subianto sebagai wakil Gerindra di Kabinet Jokowi. Kini melonjak, dari menteri dan wakil menteri, total jumlahnya 5 kursi. Ya, Gerindra adalah partai yang ketuanya menjadi presiden terpilih. Jokowi sedang menanam saham untuk pemerintahan Prabowo Subianto.
Ada nama yang menarik dalam reshuffle kemarin. Bahlil Lahadiala, kader Golkar yang menjadi kepercayaan presiden Joko Widodo. Banyak pihak bahkan menilai Bahlil adalah proxy Jokowi di Golkar. Reshuffle, juga dirancang untuk memuluskan rencana Jokowi terhadap Golkar di masa yang akan datang. Gosip tentang ini sudah beredar luas, tak perlu lagi diulas.
Ya, reshuffle ini bukan untuk memperbaiki layanan kepada rakyat sebagai tuan sejati dalam sistem demokrasi! Rakyat tak perlu ngarep hasil reshuffle. Rakyat cukup dapat sambel.
Reshuffle ini adalah gula-gula untuk memikat kesetiaan. Reshuffle ini adalah lembar-lembar saham untuk tetap menjadi bagian kekuasaan di pemerintahan selanjutnya. Reshuffle kali ini adalah tablet Ansiolitik untuk menekan cemas, jelang purna tugas!
Terima kasih, Pak Presiden.