Rijal Adda’wah
Dalam bahasa Arab, kata rijāl sering digunakan dalam berbagai istilah, seperti rijālul-‘aqīdah (orang yang berpegang teguh pada aqidah atau memperjuangkannya), rijālul-ḥadīts (istilah untuk perawi hadits), rijālud-dīn (orang yang ahli dalam urusan agama), rijālud-daulah (pemegang kekuasaan negara), rijālud-da’wah (para da’i), rijālul-qudwah (tokoh teladan), dan masih banyak istilah lainnya.
Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang berbahasa Arab juga banyak menyebut kata rijāl. Secara bahasa, rijāl adalah bentuk jamak dari rajul yang berarti “laki-laki”, lawan dari imra’ah (perempuan). Akan tetapi, rijāl juga dapat bermakna orang-orang yang memiliki sifat kelaki-lakian sejati: kejantanan, keteguhan, dan kepahlawanan. Dengan demikian, seorang perempuan pun bisa termasuk rijāl jika memiliki sifat-sifat itu, sedangkan seorang laki-laki tidak layak disebut rijāl bila tidak memiliki karakter tersebut.
Sejarah telah membuktikan bahwa di setiap zaman selalu ada rijālud-da‘wah atau para da’i yang menegakkan ajaran Allah, ajaran haq, ajaran Islam, meskipun perjuangan mereka dipenuhi dengan pengorbanan dan gangguan. Mereka dihina, diejek, ditangkap, dipenjarakan, diboikot, disiksa, bahkan dibunuh. Namun semua itu tidak membuat mereka mundur.
Kisah Ashḥābul-Ukhdūd, kaum mukminin yang dilemparkan ke dalam parit berapi, tidak membuat rijālud-da‘wah gentar. Bahkan kisah tersebut dijadikan ukuran pengorbanan dan jalan petunjuk dalam dakwah. Itulah jalan dakwah, itulah jalan menuju surga. Rasulullah SAW bersabda: “Surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci, sedangkan neraka dikelilingi oleh hal-hal yang menyenangkan.”
Karakteristik Rijal dalam Al-Qur’an:
1. Senantiasa membersihkan diri
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya (masjid itu) selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama lebih berhak engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang gemar membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri. (QS. At-Taubah [9]:108)
Bersih yang dimaksud adalah bersih secara lahir dan batin. Bersih aqidahnya dari syirik. Bersih akalnya dari filsafat dan pemikiran sesat yang disebarkan musuh-musuh Islam melalui ghazwul fikri. Bersih hatinya dari riya, takabur, hasad, dan nifaq. Bersih jasadnya dari najis dan hadas. Bersih pakaiannya dari kotoran. Bersih makanannya dari yang haram, syubhat, dan makruh. Bersih rumahnya dari gambar-gambar dan peralatan jahiliyah. Kebersihan semacam inilah yang dicintai para rijāl, dan Allah mencintai orang-orang yang bersih.
Tempat yang paling tepat untuk membersihkan diri adalah masjid, karena masjid merupakan rumah Allah yang selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Masjid yang dibangun atas dasar takwa menjadi pusat semua kegiatan yang mengarahkan pada ketakwaan. Di sanalah umat dibersihkan dari noda-noda jahiliyah, di sanalah tempat i‘tikaf, tempat dakwah, dan tempat tarbiyah.
Pada periode awal di Makkah, Rasulullah SAW memusatkan dakwah di rumah karena jumlah pengikut masih sedikit dan demi menjaga keamanan. Namun setelah hijrah ke Madinah, bangunan pertama yang didirikan adalah masjid, yang menjadi pusat dakwah dan tarbiyah dalam membina para sahabat yang merupakan rijāl terbaik.
2. Tidak melupakan Allah dalam aktivitas
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat). (QS. An-Nūr [24]:37)
Karakteristik berikutnya dari rijāl adalah bahwa mereka tidak pernah lalai dari Allah meski sibuk dalam aktivitas hidup: berdagang, bekerja, atau usaha lainnya. Dalam keadaan apapun, mereka tetap menjaga zikir, shalat, dan zakat karena takut pada Allah dan hari akhir.
Mereka memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat. Waktu adalah kehidupan, sementara kehidupan manusia terbatas oleh waktu. Mereka menghindari sikap berlebihan (ifrāṭ) maupun menyepelekan (tafrīṭ). Mereka mampu menyeimbangkan antara usaha, ibadah, dakwah, belajar, dan istirahat.
Salah satu contoh nyata adalah Abdurrahman bin Auf. Ia seorang pengusaha sukses yang justru menggunakan kekayaannya untuk dakwah dan jihad di jalan Allah. Ketika ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan hasil perniagaan, Aisyah RA menyindirnya dengan hadits Nabi: “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak (lambat).” Mendengar itu, ia segera menginfakkan seluruh hasil perniagaannya karena takut lambat masuk surga.
3. Mampu memimpin wanita dengan menguasai dirinya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan). (QS. An-Nisā' [4]:34)
Memimpin wanita berarti terlebih dahulu mampu memimpin diri dan menguasai syahwat. Tanpa kemampuan mengendalikan diri, mustahil bisa memimpin orang lain. Banyak lelaki justru dikuasai wanita, hidupnya habis hanya untuk memuaskan keinginan istri: bekerja keras siang malam demi pakaian, makanan, dan perhiasan mewah. Rasulullah SAW bersabda: “Celakalah lelaki yang menjadi hamba istrinya.”
Rijāl sejati adalah mereka yang mampu menahan diri sebagaimana Nabi Yusuf AS yang lebih memilih penjara daripada tunduk pada rayuan wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(Yusuf) berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka...” (QS. Yūsuf [12]:33)
4. Menepati janji berjihad di jalan Allah
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (QS. Al-Aḥzāb [33]:23)
Tidak semua mukmin otomatis menjadi rijāl. Rijāl adalah mukmin yang memiliki jiwa tinggi, tujuan mulia, dan kesetiaan pada janji hingga akhir hayat. Hidup mulia dengan meninggikan kalimat Allah, mati syahid sebagai cita-cita tertinggi.
Mencetak Rijal (Ta’līfur-Rijāl):
Membentuk rijāl jauh lebih sulit dibanding menulis buku (ta’līful-kutub). Dibutuhkan kecerdasan, kesungguhan, serta pribadi yang memenuhi standar rijāl itu sendiri.
Fathi Yakan dalam bukunya Konsep dan Penguasaan Juru Dakwah menyebut ada dua penguasaan penting:
1. Penguasaan eksternal: kemampuan da’i menarik manusia agar menerima dakwah.
2. Penguasaan internal: kemampuan membina mereka yang telah menerima dakwah agar menjadi rijāl.
Penguasaan eksternal diibaratkan mengambil tambang dari bumi, sedangkan penguasaan internal diibaratkan mengolah tambang menjadi barang berharga.
Rasulullah SAW sebagai Qā’idud-Du‘āt (pemimpin para da’i) berhasil menghimpun rijāl dengan keistimewaan masing-masing. Khalid Muhammad Khalid menggambarkan karakteristik sahabat dalam bukunya Ar-Rijāl Ḥaul ar-Rasūl. Pada abad 20, Imam Hasan al-Banna juga berhasil mencetak ribuan rijāl dalam waktu singkat. Kita mengenal tokoh seperti Sayyid Quthb, Abdul Qadir Audah, Abdul Fattah Ismail, Said Hawwa, Izzuddin Qassam, Ahmad Yasin, dan banyak lainnya.
Syarat-syarat Membentuk Rijal:
1. Stabilitas moral (al-ma‘nawiyyah al-mutawāzinah)
Lahir dari kedalaman iman (al-īmān al-‘amīq) dan sikap furqan: loyal kepada Allah dan berlepas diri dari thagut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]:256)
Inilah sibghah Allah sebagai modal dasar membentuk rijāl. Tanpanya, manusia akan terseret dalam sibghah buatan manusia: materialisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan lainnya.
2. Gerakan yang terus-menerus (al-istimrāriyyah al-ḥarakiyyah)
Lahir dari loyalitas kepada Rasul yang tugas utamanya adalah dakwah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan bukti yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yūsuf [12]:108)
Kata ad‘ū dalam ayat ini berbentuk fi‘il mudhāri‘ yang menunjukkan perbuatan berkesinambungan. Dakwah adalah kerja terus-menerus, bukan sampingan.
3. Soliditas organisasi (matānatut-tanzīm)
Lahir dari loyalitas kepada sesama mukmin. Rasa cinta, kasih sayang, dan ketaatan kepada pemimpin menjadikan jamaah kokoh.
Teladan: Khalid bin Walid dalam Perang Yarmuk. Saat kemenangan besar diraih, datang surat dari Umar bin Khattab yang memecatnya dan mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai panglima. Khalid menyembunyikan surat itu sampai perang usai demi menghindari fitnah. Setelah itu, ia tunduk pada keputusan khalifah dan tetap berjuang sebagai prajurit. Khalid berkata, “Aku berjuang karena Allah, bukan karena Umar. Di mana pun aku ditempatkan, itu sama saja bagiku.”
Penutup
Rijal adalah mereka yang memiliki ruh perjuangan, bersih lahir batin, seimbang dalam hidup, memimpin dirinya dan umatnya, setia pada janji, dan siap berkorban hingga syahid.
Sesungguhnya, Islam tidak membutuhkan rijāl. Justru rijāl lah yang membutuhkan Islam, agar hidupnya bernilai dan perjuangannya abadi.
Maraji‘:
1. 60 Karakteristik Sahabat Rasul – Khalid Muhammad Khalid
2. Konsep Penguasaan Juru Dakwah – Fathi Yakan
3. Madzā Ya‘ni Intimā’ lil-Islām – Fathi Yakan
4. Kamus Bahasa Arab
5. Ma‘ālim fī ath-Tharīq – Sayyid Quthb
Penulis: Iman
(Tulisan di atas disadur dari rubrik takwiniyah majalah Sabili No. 25/II, 17 Dzulqa'dah 1410 H/10 Juni 1990 M).