Robohnya Toko Buku Kami
Tentu saja aku tak memiliki toko buku. Tetapi hinggap juga rasa memiliki di dalam diriku atas keberadaan toko-toko buku itu. Sebab, aku selalu punya kesan khusus jika melihat toko buku. Ada semacam tarikan untuk selalu mampir dan melihat kembali aneka buku yang tersaji di setiap raknya.
Maka, ketika membaca berita di sebuah media online, yang menampilkan info grafis tentang jadwal penutupan beberapa gerai dari sebuah toko buku nasional yang legendaris, entah mengapa ada semacam perasaan tak rela. Salah satu dari toko buku yang dijadwalkan segera tutup itu adalah toko buku yang berada di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
Itu adalah toko buku yang menorehkan banyak hal dalam hidupku secara pribadi. Aku akrab dengan toko buku di Jalan Kwitang itu dalam rentang waktu yang tak begitu panjang. Antara tahun 1998 hingga tahun 2002. Ketika itu, cukup intens aku berkunjung. Tidak selalu untuk belanja buku. Sebenarnya di sana aku lebih kerap menumpang baca dari buku sample yang disediakan oleh pihak toko.
Pada saat itu, aku menjadi bagian dari Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) yang bermarkas di Jalan Menteng Raya 58. Tak jauh dari Jalan Kwitang. Tahun-tahun itu terasa penuh gairah perubahan. Momen reformasi membuat kajian politik dan kebudayaan begitu dinamis. Hal mana menyulut budaya diskusi yang kuat serta menuntut asupan yang lebih untuk isi kepala. Waktu itu belanja buku dengan posisi sebagai aktivis organisasi tak setiap waktu bisa dilakukan, sementara tuntutan untuk memenuhi isi kepala dengan pengetahuan begitu kuat.
Toko buku bekas di kawasan Taman Ismail Marzuki dan toko buku di Kwitang itulah yangmemberikan kemurahan tak terkira dengan memperkenankan para pengunjung membaca buku yang tidak disegel. Jadi, secara terbuka aku ingin mengucapkan terima kasih kepada keduanya. Aku dengan yakin merasa, dua tempat itu turut berjasa dalam menuangkan pundi-pundi pengetahuan bagiku dan tentu banyak pihak yang lain.
Secara khusus, toko buku di Jalan Kwitang itu bahkan menorehkan jasa lain bagi diriku. Di toko buku legendaris itulah aku melamar istriku. Ketika itu, sekitar awal tahun 2004, kami bertemu secara khusus dan langsungtatap muka, difasilitasi seorang teman dari Bandung. Aku pun mengajukan pinangan di toko buku tersebut. Lamaran yang tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun 2004, di awal bulan Mei, kami menikah.
Setelah menikah, kami tinggal di Gang Tembok, Kali Pasir, Jakarta Pusat. Tak jauh dari toko buku tersebut. Saban libur, kami berdua masih kerap main ke toko buku itu. Jalan kaki menyusuri pinggiran kali yang menghubungkan daerah Kali Pasir dengan kawasan Kwitang. Hingga bulan ketiga pernikahan, toko buku di Jalan Kwitang itu masih begitu akrab dalam kehidupan kami berdua.
Setelah itu, kami pindah rumah dan posisinya jauh dari toko buku tersebut. Semenjak itu, aku dan istriku tak pernah lagi menyambangi tempat yang bersejarah dalam hidup kami itu. Hingga berita itu sampai; dalam beberapa waktu ke depan outlet Toko Buku Gunung Agung, Kwitang, akan segera tutup.
Entahlah, meski tak memiliki saham apa pun di sana, berita itu terasa mengusik. Sebab, ada banyak kenangan di sana. Tetapi yang lebih besar adalah terpercik kekhawatiran, apa jadinya sebuah kota tanpa toko buku? Rontoknya outlet Toko Buku Gunung Agung adalah sinyal kuat, betapa telah terjadi arus perubahan yang sangat besar dalam tradisi buku dan membaca.
Berita penutupan toko buku seperti mengirimkan sebuah ancaman kepadaku sebagai seorang ayah, sehingga terbit kekhawatiran. Ada keasyikan tersendiri saat mengajak anak-anak berkunjung ke toko buku. Serasa mampu memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengintip masa depan dari balik rak buku.
Di sisi lain, membelokkan anak-anak untuk selalu mampir ke toko buku saat jalan-jalan ke Mal secara subyektif memberikan kesan seakan mampu mengarahkan mereka ke “jalan yang benar”. Ada banyak hal menarik di Mal, tetapi toko buku tetap harus selalu punya daya panggil tersendiri.
Di toko buku, aku kerap mencoba memberi arah tentang bagaimana masa depan harus diretas dan dirintis melalui diskusi memilih buku yang harus mereka beli. Sebagai ayah, aku merasa menjadi “tokoh penting” jika berhasil memudahkan jalan pada pilihan buku mereka. Seperti berhasil menorehkan jejak awal dalam perjalanan panjang anak-anakku menapaki masa depan.
Lantas apa jadinya jika semua kota harus kehilangan toko buku? Tentu saja aku tak pernah bisa lagi mengajak anak-anak untuk menikmati rak-rak buku, serta menduga misteri, kisah, pengetahuan yang terangkum dalam buku yang rapi tersegel. Peranku sebagai konsultan buku bagi anak-anak akan berkurang. Kebersamaan kami untuk berkunjung ke toko buku akan hilang. Padahal di rak-rak toko buku itulah cinta ayah dan ibu mereka dimulai.
Anak-anakku akan beralih dari buku ke e-book, melalui gawainya yang amat personal itu. Mereka akan memilih buku tanpa referensi dari ayahnya! Tak ada lagi aroma khas buku baru. Tak ada lagi perdebatan memilih buku. Tak ada lagi pertengkaran yang unik antara kakak dan adik; karena buku tak sengaja tercabik dan terkotori. Saya dan ayah yang lain mungkin akan segera kehilangan perkerjaan; menyeru anak-anak agar mengembalikan buku ke tempatnya dan jangan meninggalkannya di lantai.
Kini, buku yang mereka baca tak perlu lagi dirapihkan dan dikembalikan ke tempatnya. Cukup gulir kanan-kiri atau atas-bawah di permukaan gawai, maka buku pun tertutup.
Akankah anak-anak kami menikmati Islamic Book Fair seperti kami pernah menikmatinya? Akan seperti apa wajah syiar Islam melalui buku itu di masa yang akan datang? Jika toko buku pada tutup, apakah masih diperlukan event semacam Islamic Book Fair?
Buku menjadi e-book mungkin adalah sebuah keniscayaan. Toko buku konvensional lenyap menjadi toko buku online juga hal tak terelakkan. Pasar buku online semakin riuh dengan transaksi digital, namun terlalu sepi dari kebersamaan dan kehadiran. Tak bisa lagi janji ketemu di toko buku, apalagi melamar istri di toko buku!
Padahal, toko buku tak sekadar tempat jual beli buku. Toko buku adalah peradaban. Kini peradaban baru telah menyingsing, dan peradaban lama akan surut. Sungguh aku merasa sedih menjadi saksi meredupnya peradaban toko buku.
Semoga masih selalu ada toko buku yang tersisa di kotaku.