Runtuhnya Mental Seorang Connor McGregor
Sekiranya diteliti secara mendalam pasti akan ketemu pelajaran berharga dibalik peringatan Allah kepada para sahabat Rasulullah SAW sesaat setelah mengalami kekalahan di Perang Uhud,
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." – Ali Imran:139
Pesan peringatan pertama adalah tak boleh bersikap lemah, sedang pesan kedua tak boleh bersedih. Pertanyaannya adalah mengapa orang beriman bahkan di saat kalah dari musuh pun tak boleh menampakkan sikap lemah dan sedih? Ingat sekali lagi, di saat kalah, bukan sekadar terdesak atau terjepit tetapi belum kalah. Bukankah sebuah kewajaran dan sebagai hal yang manusiawi jika seseorang saat kalah sikapnya menjadi lemah dan hatinya bersedih? Dan kekalahan juga memang sangat identik dengan kelemahan.
Sikap lemah dan sedih itu laksana virus, dan keduanya menyerang area yang sangat vital, yaitu jiwa. Sedang jiwa adalah benteng pertahanan terakhir dan terkuat bagi setiap orang saat ditimpa musibah. Dan tak ada di dunia ini musibah paling buruk dan paling menyengsarakan selain ditaklukkan dan dikangkangi oleh musuh. Musibah yang jauh lebih berat dari pada musibah sakit, hilang harta ataupun jiwa.
Setiap orang akan segera terbayang saat ditaklukkan oleh musuh, yaitu hilangnya kehormatan dan harga diri. Kalau sekadar musibah sakit dan kematian maka hampir tak ada orang merasa hilang kehormatan dan harga diri, tapi kalau sudah musibah takluk di tangan musuh maka akan lain cerita. Bayang-bayang gelapnya kehidupan akibat hilang kehormatan dan harga diri akan segera menyergap dan menghantam.
Itulah beratnya. Namun kalau sekadar membayangkan hilangnya kehormatan dan harga diri saja maka belumlah kita menemukan pelajaran mendalam dari dua pesan peringatan Allah di atas. Kita baru akan mengetahuinya bila kita sudah merasakan dampak buruk jika sikap lemah dan bersedih itu menjadi tak terkendali.
Kira-kira apakah yang akan dilahirkan oleh sikap lemah dan rasa bersedih saat kalah?
Baca Juga : Obat Luka Hati Akibat Terzalimi dan Putusnya Harapan
Coba kita ingat-ingat, adakah kita melihat banyak kaum muslimin di hari-hari ini yang begitu mengagungkan kehidupan orang Barat yang notabene kafir? Ya, orang-orang Barat kafir yang kini berkuasa di dunia setelah sukses mengalahkan umat Islam di kancah perang dan peradaban. Bukankah benar apa kata Baginda Nabi SAW,
"Sungguh kamu akan ikuti cara-cara hidup orang-orang yang sebelum kamu selangkah demi selangkah, hingga mereka masuk ke liang biawak pun kamu turut masuk."
Itu artinya, orang yang lemah jiwa dan mentalnya akibat menelan pahitnya kekalahan akan menancapkan keyakinan dalam jiwanya bahwa untuk bisa menang dan berjaya maka wajib mengikuti cara-cara musuh yang telah mengalahkannya. Mereka akan mudah menjadi followers dan pengagum lawan hingga level paling fatal, mengikuti ideologi lawan dan menanggalkan ideologinya sendiri.
Lihat saja pengaruh penyakit mental ini pada hari-hari ini saat pengidapnya menyikapi perjuangan rakyat Palestina melawan penjajah. Yang langsung muncul adalah rasa rendah diri dan lemah kekuatan saat melihat kekuatan musuh, apalagi saat melihat Gaza hancur lebur dihantam rudal dan bom. Seketika nyali menjadi ciut. Karena itulah Allah gambarkan lagi lebih jelas tentang dampak buruk dari sikap lemah mental ini di ayat 146 di surah yang sama,
"Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar."
Bahwa lemah jiwa akan berdampak pada kelesuan fisik, dan fisik yang lesu akan mempermudah seseorang menyerah. Kalau sudah menyerah maka hingga berpindah ideologi pun akan mereka jalani.
Lalu bagaimana dengan pesan peringatan yang kedua agar tidak bersedih di saat kalah? Rasa sedih ini pun bila sampai tak terkendali maka akan berakibat fatal. Bukankah orang bisa mencela takdir dan menyalahkan Allah sebagai pembuat takdir di saat tertimpa kesedihan akibat dihantam musibah? Apalagi musibah dikalahkan oleh musuh.
Seluruh harapan menjadi buyar. Harapan hidup aman, damai, dan sentosa. Harapan hidup sebagai manusia terhormat dan punya harga diri. Harapan hidup yang bahagia, dan banyak lagi harapan yang musnah akibat hidup di bawah penjajahan. Akhirnya tertancap dalam jiwa berbagai pertanyaan fatal semisal, buat apa beriman dan bertauhid bila nyatanya Allah tak menolong? Buat apa beribadah salat dan puasa, terlebih berjihad bila faktanya musuh ditakdirkan jauh lebih kuat hingga bisa mengalahkan orang-orang yang salat? Buat apa berjuang menolong agama Allah, menolong Rasul-Nya, dan syariat-Nya bila nyatanya kalah juga?
Baca Juga : Belajar Tawakal dari Burung
Pada akhirnya rasa sedih akan melengkapi sikap lemah mental, bahwa berjuang harus menanti kekuatan dahulu, dan kekuatan yang mumpuni adalah kekuatan sebagaimana kekuatan musuh.
Kita semua tahu siapa petarung MMA di ajang UFC bernama Connor McGregor. Kekuatan dan kesombongannya saling melengkapi hingga mampu meruntuhkan mental lawan bahkan jauh sebelum bertanding. Tapi semua orang juga akhirnya tahu, setelah ia dikalahkan oleh Khabib Nurmagomedov seketika runtuhlah mentalnya. Lihat saja saat ia terduduk lemah, lesu, dan menyerah di ruang ganti. Aura keruntuhan yang sangat nyata terpampang jelas dari semua sudut wajahnya. Dan tahukah kita, setelahnya karirnya sebagai petarung MMA pun habis hingga Dustin Poirier pun dengan sangat mudah mengalahkannya padahal di pertemuan pertama Poirier seperti kelinci saat ditaklukkan oleh Connor. Sekali lagi, pangkal pokoknya ada di kekuatan mental.