Saatnya Membaca Kartini Secara Utuh, Bukan Sekadar Suratnya

Kartini adalah sosok perempuan langka. Tak hanya pada zamannya. Di saat era telah berubah begitu dahsyat, ketika perempuan dan laki-laki telah sama-sama setara dalam akses informasi dan membentuk opini melalui media sosial, tetap tak banyak dari perempuan yang telah bebas merdeka tersebut dapat berpikir layaknya Raden Ajeng Kartini.

Kelangkaan Kartini adalah pada pemikirannya, pada kepeduliannya, dan pada keberpihakannya. Adalah aneh dan ironis, jika selama puluhan tahun Indonesia merdeka, peringatan Hari Kartini justru hanya diisi dengan lomba kecantikan dan lomba berkebaya. Sesuatu yang sungguh nggak Kartini banget!

Kartini tak pernah berjuang untuk kecantikannya. Tak pernah pula berjuang untuk pakaian kebaya yang dikenakannya. Entah bagaimana ceritanya, peringatan tentang perjuangan RA Kartini setiap tahun justru terjebak pada aspek-aspek artifisial dari sosok agungnya.

Kartini berjuang untuk kesetaraan kaum perempuan dalam hak-hak pendidikan. Ia berjuang agar perempuan tidak dikerdilkan dan tak dibatasi potensinya oleh belenggu-belenggu tradisi. Ia bersedih ketika kaum perempuan hanya ditugasi dalam ranah dapur, sumur, dan kasur! Ia memberontak dari itu semua.

Di sisi lain, tengah berkembang juga tafsir atas perjuangan Kartini sebagai gerakan feminis liberal. Kartini dinarasikan sebagai simbol gerakan feminis di Indonesia. Emansipasi wanita dalam semua aspek kehidupan di Indonesia kerap dinisbatkan pada pemikiran Kartini.

Baca juga: Lebaran dalam Perspektif Kebudayaan

Sudah barang tentu, aneka tafsir tersebut menimbulkan pro dan kontra. Masalah ini menjadi penting untuk sama-sama ditelaah. Bukan saja karena terkait sosok pahlawan nasional, tetapi juga tentang konsep jati diri wanita Indonesia. Tak kalah penting dari itu semua, tafsir dan penisbatan terkait berbagai hal pada sosok Kartini bisa menjadi suatu bentuk tidak-adilan terhadap Kartini, jika tafsir dan beragam penisbatan itu tak sesuai dengan peri hidup RA Kartini secara keseluruhan.

Hidup RA Kartini memang cukup singkat. Hanya 25 tahun ia hidup di dunia ini. Kartini meninggal dunia tak berselang lama dari saat kelahiran putra pertama dan terakhirnya. Namun, di balik singkatnya umur fisik RA Kartini, Allah Swt menganugerahinya dengan umur panjang dari sisi spirit dan gagasan. Hingga hari ini, namanya harum disebut sebagai tokoh pejuang nasional, khususnya dalam memajukan hak-hak kaum perempuan.

Kartini Tak Sekadar Suratnya

Membaca dan memahami Kartini jangan hanya terbatas pada membaca suratnya. Beberapa fakta otentik kerap dikesampingkan dari sosok Kartini. Dengan dukungan data yang semakin lengkap dan terungkapnya berbagai peri hidup tentang Kartini yang selama ini kurang terekspose, maka sudah saatnya kita membaca pahlawan puteri ini secara utuh.

Dua puluh lima tahun. Meski itu masa yang pendek dalam rentang umur rata-rata manusia Indonesia, tetap saja itu waktu yang cukup panjang dan lama. Tak mungkin semua hal tentang kehidupannya yang 25 tahun itu akan tuntas dituliskan dalam lembar-lembar surat. Intinya, harus dipahami bahwa apa yang RA Kartini tulis itu hanyalah sepenggal episode di dalam rentang kehidupannya, harapannya, dan cita-cita hidupnya. Maka, tidak adil jika memahami sosok RA Kartini secara utuh hanya dari isi surat yang ia tulis.

Perlu juga dipahami bahwa tulisan itu tidak sama-sekali diniatkan oleh RA Kartini sebagai sebuah artikel. Murni sebuah curahan gagasan, harapan, ide, dan curhatan antara seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain. Sehingga, agak berlebihan jika dari surat-surat itu, orang lantas melabeli RA Kartini sebagai seorang feminis sejati.

Baca juga: Pebisnis Muslim, Hindari Enam Hal Ini

Beberapa fakta penting yang perlu dipahami oleh banyak pihak, utamanya kaum perempuan di Indonesia tentang RA Kartini dapat kami rangkum sebagai berikut.

Pertama, berbeda dengan kaum perempuan lain pada zamannya, Kartini yang memang berasal dari keluarga bangsawan itu berkesempatan mengenyam pendidikan. Setidaknya, hingga usia remaja atau umur 12 tahun, Kartini ikut belajar di Europese Lagere School (ELS). Salah satu hal yang paling penting dari proses belajar di ELS adalah, Kartini mampu berbahasa Belanda dengan baik.

Kedua, Kartini doyan membaca. Pemahaman yang baik tentang bahasa Belanda membuat Kartini mampu membaca aneka surat kabar berbahasa Belanda yang terbit pada zaman itu. Dengan kemampuan berbahasa Belanda ini pula, Kartini banyak melahap berbagai buku terbitan penulis Belanda dan Eropa. Hobi membaca inilah yang mengantarkan pemikiran Kartini mampu melompati zamannya. Ia menjelma menjadi wanita cerdas dengan wawasan yang luas pula.

Ketiga, Kartini seorang penulis. Kemampuan menulis memang kerap diawali dengan kebiasaan membaca. Tradisi membaca yang ditekuni Kartini mengantarkan dia untuk secara alamiah mampu bertutur dengan bahasa tulisan. Selain menulis surat, Kartini juga menulis artikel. Beberapa artikel karya RA Kartini dimuat di majalah perempuan De Hollandsche Lelie.

Keempat, Kartini sangat peduli pada nasib kaum perempuan. Salah satu gagasan dominan Kartini sesungguhnya adalah kesetaraan pendidikan bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Realitas perempuan yang tidak terdidik di zaman dan lingkungannya inilah yang memantik jiwa protes RA Kartini untuk berjuang membangun kesetaraan. Di dalam pandangan Kartini, posisi perempuan yang lemah hanya dapat diperbaiki dengan jalan pendidikan. Karenanya, jika kita simak surat-surat Kartini dengan seksama, masalah keterbelakangan kaum perempuan dan keinginan untuk memajukan mereka melalui pendidikan merupakan isu sentral dari kegelisahan RA Kartini.

Kelima, Kartini adalah perempuan Jawa dan muslimah sejati. Membaca surat-surat Kartini harus diiringi dengan pemahaman waktu. Beberapa surat-surat awal RA Kartini ia tulis saat ia masih amat muda. Banyak bernada protes dan mengeluhkan kungkungan tradisi Jawa. Demikian pula soal pandangan-pandangan keagamaan. Di fase-fase awal, surat RA Kartini juga mengeluhkan tentang mengajaran agama yang ia nilai percuma jika hanya disuruh menghapal ayat-ayat dari kitab suci tanpa memahami maknanya.

Baca juga: Membaca Gerak Politik Mr. Erdogan di Gaza

Di dalam fase berikut dan dalam kehidupan nyata, Kartini tetaplah seorang perempuan Jawa yang jauh dari praktik hidup feminis liberal sebagaimana dinarasikan banyak pihak. Menariknya lagi, RA Kartini justru semakin mendalami ajaran Islam dan berani mengritik budaya Barat yang ketika remaja ia kagumi.

Saudara Seperguruan Pendiri Muhammadiyah dan NU

Fakta penting keenam, RA Kartini adalah seorang Santriwati. Ia bukan santri pondok. Tetapi ia adalah murid langsung dari Kiai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang. Beliau lebih dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat.

Persentuhan pemikiran RA Kartini dengan Kiai Sholeh Darat adalah titik balik yang penting dalam revolusi pemikiran RA Kartini. Ia yang semula begitu kagum dengan kebebasan budaya Barat dan amat mengeluhkan model pengajaran agama Islam pada era itu, justru memperoleh pencerahan setelah berkenalan dengan Kiai Sholeh Darat.

Adalah pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang menjadi momentum penting itu. Bupati Demak itu masih terhitung paman langsung RA Kartini. Di dalam pengajian itulah, sesuatu yang telah lama diimpikan dan ingin diketahui oleh RA Kartini terjadi.

Di dalam pengajian tersebut, Kiai Sholeh Darat menyampaikan tafsir tentang surat Al Fatihah. Kartini sungguh terkejut, telah lama ia ingin tahu arti surat atau ayat-ayat yang harus ia hapal dan baca saat shalat, namun keingintahuan RA Kartini saat itu terbentur oleh sikap guru mengajinya yang justru memarahi dia. Di belakang hari, Kartini menginsyafi bahwa guru ngajinya itu juga tidak tahu arti surat-surat dalam Al Qur’an. Ia Cuma bisa mengajarkan baca dan tulis huruf Arab.

Baca juga: Mencintai Islam, Mencintai Indonesia

Maka, alangkah terpesonanya RA Kartini saat Kiai Sholeh Darat membabar makna surat Al Fatihah dalam bahasa Jawa. Setelah pengajian usai, Kartini mendesak pamannya, sang Bupati Demak, untuk bertemu langsung dengan Kiai Sholeh Darat. Sang paman mengabulkannya. Semenjak itulah Kartini mejadi santri kalong (tidak menginap) Kiai Sholeh Darat.

Kiai Sholeh Darat adalah Guru dari Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia juga guru dari Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul ulama (NU). Dengan demikian, RA Kartini masih saudara seperguruan dengan ulama-ulama besar di tanah air.

Bahkan, berkat desakan RA Kartini pula, Kiai Sholeh Darat berkenan menuliskan terjemah Al Qur’an dalam bahasa Jawa. Pada saat Kartini berusia 24 tahun, beliau menikah. Tepatnya dijodohkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Konon, Kiai Sholeh Darat menghadiahkan terjemah Al Qur’an yang telah beliau susun. Baru sampai juz 13, dari surat Al Fatihah hingga surat Ibrahim. Kartini menerimanya sebagai hadiah terindah dalam hidupnya.

Kartini begitu intens mempelajari naskah terjemah yang belum sempurna itu, sembari ikut pengajian Kiai Sholeh Darat. Dari sinilah, fajar keinsyafan itu tiba. Kartini tetap memilih jalan Islam dan damai dalam pangkuan Islam.

Ayat Al Qur’an yang begitu inspiratif bagi RA Kartini adalah surat Al Baqarah ayat 257. Kata-kata “Minaddzulumati illannur” yang kalau diterjemahkan menjadi: Dari Gelap Menuju Cahaya. Kata-kata itulah yang kerap ia kutip dalam surat-suratnya kepada JH Abendanon, tentu dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Tot Licht”. Artinya sama persis dengan makna Minaddzulumati illannur. Sayang, sastrawan Armjin Pane menerjemahkan kalimat tersebut agak keluar konteks, menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Baca juga: Penetapan Tersangka untuk 7 Warga Masyarakat Adat di Halmahera Timur: Keadilan yang Terpinggirkan

Ketujuh, cita-cita besar Kartini untuk memajukan pendidikan bagi kaum perempuan mendapat dukungan sepenuhnya dari sang suami. Ia diberikan kebebasan untuk mendidik kaum perempuan agar kelak nasib kaum perempuan dan harkat martabatnya sejajar dengan kaum pria. Suaminya yang pejabat Bupati Rembang memberikan ruang belajar di sebelah Timur kompleks Kantor Kabupaten Rembang.

Kedelapan, Kartini sempat mengajukan minat kepada Pemerintah Belanda untuk mendaptkan kesempatan belajar di Belanda atau Eropa. Namun, panggilan belajar dan komitmen beasiswa baru ia terima beberapa tahun kemudian, di saat dirinya telah berumah tangga. Beasiswa pendidikan itu tidak diambil oleh Kartini. Ia lebih memilih tinggal bersama keluarganya.

Kesembilan, Kartini hidup dan berkeluarga dengan bangsawan Jawa yang mempraktikkan poligami. Kartini berstatus sebagai istri keempat dari K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Bangsawan Jawa pada masa itu umum berpoligami. Kartini menerima kenyataan tersebut. Artinya, klaim banyak pihak yang ingin menjadikan Kartini sebagai ikon feminis liberal sesungguhnya tidak berdasar.

Kesepuluh, sebagai santri kalong Kiai Sholeh Darat, RA Kartini juga memiliki komitmen dakwah yang kuat. Inilah yang ia ungkap dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Van Kol, tanggal 21 Juli 1902. “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah,” tulisnya.

Komitmennya kepada Islam juga terungkap dari penggalan suratnya kepada JH Abendanon tertanggal 27 Oktober 1902, dimana ia menulis, “Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”

Masih kepada orang yang sama, Kartini kembali menulis, tertanggal 1 Agustus 1903. Kalimat menarik yang Kartini selipkan di surat itu adalah, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT”.

Selamat memahami Kartini secara lebih utuh.