Salim Said, Insya Allah Ahlul Jannah
Seorang kharismatik dengan jubah dan gamis putih, mewakili keluarga dalam kata sambutannya di hadapan jenazah Prof. Dr. Salim Said, di depan pengimaman Masjid Al Akhbar, Kompleks PWI di Cipinang Muara, Jakarta, Ahad (19/5/2024) kemarin siang, menyatakan, Profesor Ahli Ilmu Politik dan Militer Salim Said dalam semangat agamanya beberapa hari sebelumnya masih (boleh baca: sudah) berpesan agar diadakan Seminar Khusus Para Ahli tentang Perihal Palestina.
Sebegitu besar perjuangan seorang Salim Said. Wartawan, seniman, dan Guru Besar Universitas Pertahanan yang wafat pada Sabtu, 18 Mei 2024 malam itu, bahkan di saat kesehatannya menurun, namun pikiran, daya nalar, dan hatinya tetap jernih dan bening. Demikianlah ciri-ciri orang yang dekat kepada Allah Azza Wajalla.
Kata-kata sosok kharismatik itu mengingatkan saya pada cerita yang sama. Bahkan juga tercatat sudah sejak belasan tahun lalu, Bang Salim Said (juga) mengingatkan saya untuk menggelar Seminar Khusus Para Ahli. Hal itu ketika kami tengah memperjuangkan agar Mr. Sjafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI) meraih gelar Pahlawan Nasional.
Saya bersama Lukman Hakim (PPP) yang bertanggung jawab untuk menggelar seminar dan penerbitan buku, lalu mengumpulkan 17 Ahli Sejarah, Para Ahli Hukum Tata Negara, dan Tokoh Pergerakan, dengan diskusi terbatas bersama Harry Tjan Silalahi, Kwik Kian Gie, Yusril Ihza Mahendra, Asvi Warman Adam, dan juga tentu saja Bang Salim Said. Setelah saya membuka Diskusi Amat Terbatas selaiknya menjadi tempat berkumpulnya para pakar, saya pun menunjuk mas Anies Baswedan untuk menjadi moderatornya. Sebuah diskusi yang amat sangat menarik itu diadakan di Universitas Paramadina. Lalu saya tulis dengan judul “Presiden Yes, Pahlawan Yes”, dan dimuat di dalam buku tebal “Mr. Syafruddin dalam Perjuangan Bangsa”, yang diterbitkan Penerbitu Republika.
Begitulah Bang Salim Said. “Selalu berpikir di depan”. Berperan. Dengan berbagai upaya, langkah, perjuangan tanpa mengenal lelah, dan lobi sampai ke tokoh paling elit, di tahun 2011 Pak Syaf pun meraih gelar Pahlawan Nasional, alhamdulillah. Ia menyusul Pak Natsir yang sebelumnya telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional (2008) dengan “lebih seruuu kami memperjuangkannya". Sehingga "mengubah" peta sejarah di Tanah Air.
Baca juga: Sinergisme Negara-Negara OKI Versus Genosida Israel di Palestina: Cermin Sikap Bahrain, Indonesia, dan Mesir
((Oh yaaa... Itu kisah Pak Natsir, sebagaimana Pak Sjaf, juga kami bukukan. Dan saya tulis di Harian Kompas)).
Dua tokoh sejoli itu memang mendapatkan perhatian khusus dari Bang Salim Said. Entah mengapa. Tentu tak lepas Beliau sebagai ahli sejarah juga pejuang Republik Indonesia.
Beruntung saya sudah dekat dengan Bang Salim Said sejak tahun 1983. Bang Salim yang kocak dan suka melucu itu sempat “ngerjain saya”, ketika saya akan pergi ke Malaysia untuk (kemudian) wawancara dengan PM Mahathir Mohammad dan Menteri Pendidikan Bang Anwar Ibrahim (1984) -- dengan berbekal “Surat Sakti” tulisan tangan Pak Natsir.
((Oh yaaa… Sekadar saja: Ini adalah “perjalanan sebagai hadiah” setelah saya (bersama Alook/Lukman) berhasil membongkar Kasus Tanjung Priok yang menghebohkan dunia dan menjadikan hasil investigasi majalah Tempo pun difotokopi -- dan membuat Pangab Jenderal Benny Moerdani marah ke Tempo, lalu Pak Fikri Jufri dipanggil ke Cilangkap. Akibatnya, saya untuk sementara tak lagi bisa masuk ke Cilangkap. Sehingga saya merapat “lengket” ke Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno -- dan jadilah bersahabat amat dekat)).
Pada sepotong malam, teman-teman sedang tak-tik-tuk pada mengetik. Malam menjelang berangkat ke Malaysia, Bang Salim Said tiba-tiba datang mendekat, dengan gayanya yang enak dan khas, lalu menyuruh saya untuk membawa Mesin Ketik (dulu kan belum ada faksimile dan belum ada internet). Jadi, kata Beliau, saya perlu membawa “mesin-tik” ke Malaysia.
Saya pun diberi dua buah dasi khusus oleh Bang Salim Said dari hasil kuliah Beliau di AS. Tetapi saya harus ambil malam itu juga ke rumahnya. Saya manut-manut manggut. Sami'na wa-atho'na.
Maka, esok harinya saya pun (tentu) menenteng “mesin-tik” itu, naik pesawat ke Malaysia. Ha ha haaa ...
Baca juga: Menggugat Kapitalisme Pendidikan: Jalan Menuju Indonesia Emas 2045
Padahal, di hotel-hotel berbintang lima di Kualalumpur kan ada sarana teletext. Jadi, saya mengetik laporan dengan menggunakan teletext itu untuk saya kirim ke Didi Prambadi sebagai Sekretaris Redaksi.
((Sebegitulaaah... potongan hari-hari berlalu di Tempo. Makanya, di meja saya, yang berhadapan langsung dengan meja kerja Pak Goenawan Mohamad, kosong melompong tidak ada mesin ketiknya, karena saya bawa terbang ke Malaysia. Ha ha haaa ... Ini Kantor Tempo yang masih di Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan saya juga baru satu tahun menjadi karyawan Tempo)).
Bang Salim Said memang kocak dan puintar. Itu dari duluuu...
Beliau suka bercanda dan tertawa-tawa. Dan tulisan-tulisannya juga buku-bukunya pun tajam -- kita semua tahu -- juga bening.
Yaaa … sebening hatinya yang kini membawa dia ke surga.
Salim Said Ahlul jannah. Aamien Ya Rabbal ‘Alamin.