Sampah Plastik dan Masa Depan Anak-Cucu Kita
World Economic Forum (WEF) memperkirakan, jika kita tidak berbuat sesuatu secara signifikan, maka pada tahun 2050 akan terdapat lebih banyak plastik daripada ikan di laut. Ini artinya, anak dan cucu kita akan makan ikan yang mengandung zat-zat berbahaya terhadap tubuh yang dihasilkan dari sampah plastik. Di dalam tayangan sebuah televisi swasta di Indonesia, dengan mengutip sumber riset yang dilakukan oleh Cornell University, orang Indonesia makan 15 gram mikroplastik per bulan dari makanan laut, atau yang kedua terbesar di dunia. Ini sungguh mengerikan.
Sampah plastik menghasilkan partikel berbahaya semisal bisphenol A (BPA) dan phthalates yang dapat menyebabkan kanker, endocrine disruption (gangguan kelenjar hormon), dan masalah reproduksi. Mikropastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air.
Atas dasar itu, lembaga PBB yang menangani masalah lingkungan hidup (United Nations Environment Assembly/UNEA) mengeluarkan Resolusi PBB Nomor 5/14 yang membidani lahirnya Intergovernmental Negotiating Committee (INC). INC ditugaskan untuk membentuk sebuah perjanjian yang mengikat anggotanya (International Legally Binding Instrument/ILBI) dalam bentuk Global Plastic Treaty. Diharapkan, draft pertama perjanjian tersebut sudah difinalisasi dalam sidang INC ke-5 di Busan, Korea Selatan, akhir tahun ini.
Hal ini sangat penting untuk dipahami oleh kalangan industri nasional jika tidak ingin produknya ditolak di mana-mana. Sekarang pun beberapa perusahaan pengekspor hasil laut kita ditolak masuk ke negara-negara lain karena memiliki kandungan merkuri atau bahan kimia lain yang di atas ambang batas.
Sejarah Plastik
Teknologi plastik ditemukan oleh Leo Baekeland tahun 1907 dan mulai diproduksi masal tahun 1920-an dengan ditemukannya polyvinyl (PVC) dan polystyrene (PS). Antara tahun 1930-1940-an ditemukan polyethylene (PE), nylon, dan Teflon (PTFE) yang merupakan bahan utama untuk pembuatan parasut sampai bahan insulasi radar yang sangat dibutuhkan selama Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II, plastik merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Plastik dipakai dari sebagai alat pembungkus, produk mainan, peralatan rumah tangga, sampai bahan body mobil dan sepeda motor.
Baru pada awal tahun 1970-an mulai muncul kekhawatiran akan bahaya plastik, terutama plastik sekali pakai (single used plastic/SUP). Plastik tidak segera dapat dicerna oleh tanah. Bahkan butuh ratusan hingga seribu tahun, khususnya untuk plastik konvensional.
Menurut MIPOL Educational, pada 2019 dunia memproduksi sekitar 390 juta ton sampah plastik per tahun, dan jumlahnya akan menjadi dua kali lipat setiap 20 tahun. Asia, khususnya RRC, memproduksi sekitar 50% sampah plastik dunia, disusul Eropa (antara 15%-20%) dan Amerika Utara khususnya Amerika Serikat (18%-20%). Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 9% yang didaur ulang. Selebihnya dibuang ke laut, ditanam di tanah, atau dibakar.
Sekitar 60% konsumsi plastik dipakai oleh tiga sektor, yaitu pengepakan (packaging) yang mencapai 154 juta ton per tahun; diikuti bangunan dan konstruksi 63 juta ton; dan dan otomotif 60 juta ton.
Indonesia sendiri diperkirakan memproduksi sekitar 7,8 juta ton setiap tahun, dengan 4,9 juta ton tidak dikelola dengan baik. Parahnya, sekitar 58% sampah tidak pernah dikelola dan 9% dibuang ke laut (Jakarta Globe, 18 April 2023). Hanya 10% sampah plastik yang didaur ulang.
Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik sampai 70% di tahun 2025. Walau pun target itu tidak terpenuhi, karena saat ini menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, angkanya baru mencapai 41%, namun komitmen ke arah sana semakin besar.
Simposium tentang Sampah Plastik
Sebuah simposium diselenggarakan pada 6-8 Agustus dengan tema “Ending the Plastic Waste” di Melbourne, Australia, oleh Indo Pacific Plastic Innovation Network (IPPIN) yang disponsori Centre for Scientific and Innovation Research Center (CSIRO) Australia. Simposium tersebut dihadiri sekitar 270 peserta yang berasal dari berbagai kalangan semisal LSM Lingkungan, akademis/universitas, industri, dan praktisi dari kawasan Indo Pasifik. Dari ASEAN hadir National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, Vietnam dan Thailand, serta kalangan dari lembaga pemeritah terkait.
Indonesia diwakili oleh NPAP Indonesia, Bappenas, BRIN, dan Kemeristekdikbud. NPAP Indonesia didirikan tahun 2019, yang pertama di ASEAN, yang merupakan platform “multistakeholder” yang menjembatani kepentingan pembuat kebijakan (pemerintah), akademis, para ahli, dan masyarakat madani, untuk mengurangi polusi plastik.
NPAP merupakan bagian dari Global Plastic Action Partnership (GPAP). Saat ini, NPAP memiliki anggota lebih dari 100, terdiri atas kementerian dan lembaga terkait, akademisi, LSM, industri, inovator, dan masyarakat madani.
Selama tiga hari, dibahas berbagai masalah tentang sampah plastik dan bagaimana mengatasinya. Hampir semua negara di dunia saat ini mengalami krisis sampah plastik, baik negara maju maupun berkembang. Beberapa permasalahan besar yang saat ini dihadapi adalah belum adanya bahan alternatif plastik yang ramah lingkungan dan teknologi untuk mengubah sampah plastik mudah terurai (degradable).
Bahan alternatif sebenarnya sudah ada teknologinya, dengan menggunakan bahan alami, namun oleh kalangan industri dinilai belum bernilai ekonomis. Yang menarik adalah temuan dari Australian National University (ANU) yang bekerjasama dengan lembaga riset SAMSARA, yang berhasil memanfaatkan enzyme untuk mengurai sampah plastik. Teknologi ini sudah mendapatkan paten dan akan segera diproduksi. Jika berhasil, ini merupakan teknologi terobosan yang dapat mengurangi masalah sampah plastik secara signifikan.
Masalah lain adalah perubahan perilaku (behavioral change). Dahulu, sebelum kita mengenal plastik, ada sebuah lagu yang sangat populer di kalangan anak-anak di Jawa, yaitu “jika anjingnya mati, buanglah di sungai”. Ketika itu, yang ada hanya sampah organik yang mudah larut di tanah. Kita harus mengubah sikap ini. Tidak mudah. Kita harus mulai dari anak usia dini, sebagaimana dilakukan di negara-negara maju.
Juga dibahas tentang bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia, tentang bagaimana menjawab tantangan agar terjadi penurunan penggunaan sampah plastik sampai 80% tahun 2030, penggunaan plastik untuk tujuan pertanian, penggunaan bioplastic, manajemen sampah, daur ulang, dan lain-lain. Tugas mengatasi sampah plastik adalah tugas kita semua, termasuk kalangan industri, baik yang memproduksi sampah plastik maupun sebagai pengguna.
Melalui skema extended producers responsibility (EPR), produsen (pabrik, importir, distributor, dan pengecer) memiliki tanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari plastik yang mereka hasilkan. Masalah ini biasanya menjadi tarik ulur antara kepentingan untuk menjaga lingkungan di satu sisi dan menjaga keuntungan di lain sisi. Beberapa perusahaan besar telah memiliki divisi yang menangani masalah pengolahan sampah plastik, sementara yang lain masih sebatas mengurangi tebalnya plastik sampai batas toleransi.
Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan tiga peraturan yang mengatur tentang sampah plastik, yaitu Perpres No 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Penmen LH No 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, dan Permenparekraf Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Plastik di Destinasi Wisata Bahari. Namun, peraturan-peraturan itu tidak ada artinya jika kita tidak melaksanakannya dan tanpa adanya penegakan hukum bagi para pelanggar.
Masalah sampah plastik ini adalah tanggung jawab kita bersama, demi masa depan anak dan cucu kita. Tanpa kerja sama yang erat para pemangku kepentingan, jangan harap kita bisa memenuhi target pengurangan sampah plastik tahun 2025.