Satu Tahun Badai Al-Aqsa: Tanda Kehancuran Israel Makin Nyata
Warga Israel Eksodus Meninggalkan Negaranya
Dalam setahun terakhir, sejak meletusnya operasi Badai Al-Aqsa pada Oktober 2023, penjajah Israel telah mengalami keterpurukan dahsyat dalam politik dan keamanan. Hal ini memicu gelombang minggatnya warga Israel secara besar-besaran. Lebih dari 2 juta pemukim “ilegal” mengungkapkan niat mereka untuk meninggalkan negara tersebut.
Data resmi dari Biro Pusat Statistik Israel mengungkapkan bahwa lebih dari 40.000 orang telah meninggalkan Israel hanya dalam tujuh bulan pertama tahun 2024. Fenomena ini menggambarkan gelombang migrasi yang semakin meningkat di tengah ketidakpastian yang melanda penjajah Israel.
Ketegangan Internal yang Semakin Tajam
Ketegangan politik dan sosial di internal penjajah juga terus meningkat. Konflik antara kelompok religius dan sekuler, serta antara kelompok etnis Yahudi seperti Ashkenazi, Sephardi, dan Yahudi Ethiopia, semakin memperburuk keadaan.
Perpecahan antara Yudaisme fundamentalis (religius) dan Zionisme juga semakin nyata. Bagi banyak penganut agama, Zionisme dianggap sebagai gerakan yang melanggar ajaran Taurat, yang menyatakan bahwa negara Yahudi hanya bisa didirikan oleh Mesias di akhir zaman. Ketegangan ini menciptakan konflik internal yang tajam dan berpotensi besar menghancurkan stabilitas negara.
Gerakan "Mari Tinggalkan Israel"
Dalam beberapa bulan terakhir, muncul gerakan baru bernama “Mari Kita Tinggalkan Negara Bersama”. Pada tahap awal, gerakan ini berhasil membuat hengkang sekitar 10.000 warga Israel ke Amerika Serikat. Yang menarik, salah satu pendiri gerakan ini adalah Mordechai Kahane, seorang kapitalis Israel yang sebelumnya aktif dalam membawa warga Yahudi dari berbagai penjuru dunia ke Israel. Alasan di balik migrasi ini tidak hanya didorong oleh masalah ekonomi, tetapi juga oleh ketakutan akan konflik internal yang semakin memanas di Israel, terutama terkait identitas nasional, rasa tidak aman, serta eskalasi perang dengan pejuang Palestina.
Kehancuran Proyek Zionis
Benny Morris, seorang sejarawan Israel, dalam wawancaranya dengan Haaretz pada tahun 2019, mengungkapkan tanda-tanda kehancuran proyek Zionis. Menurutnya, keberlanjutan Israel sebagai negara Yahudi semakin sulit dipertahankan karena ketimpangan demografis antara Yahudi dan Arab. Ia menegaskan bahwa dominasi demografis Arab, terutama di wilayah yang telah dirampas oleh Israel, dapat mengancam eksistensi negara tersebut sebagai negara Yahudi. Kebijakan pemerintah Israel yang terus menindas hak-hak orang Arab Palestina juga memicu kemarahan bangsa Arab di luar Palestina, membuat kelangsungan Israel semakin sulit di abad ke-21.
Morris juga mencatat bahwa bangsa Palestina memiliki pandangan jangka panjang. Mereka melihat bahwa dengan adanya sekitar tujuh juta orang Yahudi yang dikelilingi oleh ratusan juta orang Arab, kemenangan Arab dalam jangka waktu 30 hingga 50 tahun sangat mungkin terjadi.
Perlawanan Pejuang Palestina dan Tekanan Internasional
Selain konflik internal, penjajah Israel juga menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Palestina yang tak kunjung reda. Banyak politisi dan pengamat internasional memperingatkan bahwa Israel tidak akan mampu menahan tekanan dari perlawanan ini. Abraham Burg, mantan Ketua Knesset, dalam artikel di The Guardian pada 2003, menggambarkan operasi syahid pejuang Palestina sebagai upaya balas dendam terhadap kebijakan rasis Israel. Sementara itu, Avigdor Feldman, seorang pengacara Israel, mengungkapkan bahwa masyarakat Israel yang tertutup dan kapitalis lambat laun akan runtuh.
Selain itu, Israel juga kehilangan dukungan internasional. Demonstrasi solidaritas untuk Gaza semakin meluas di seluruh dunia, sementara dukungan terhadap Israel terus menurun di Eropa dan Amerika Serikat. Hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa popularitas Israel semakin menurun, terutama di negara-negara seperti Inggris dan Prancis.
Kutukan Dekade Kedelapan
Berita tentang kehancuran masa depan Israel bukanlah hal baru. Pada Mei 2022, mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Barak mengungkapkan dalam artikel yang diterbitkan di surat kabar Yedioth Ahronoth tentang kemungkinan kehancuran negara tersebut. Barak menyinggung apa yang ia sebut sebagai "Kutukan Dekade Kedelapan", di mana ia mencatat bahwa sejarah menunjukkan bahwa negara-negara Yahudi tidak pernah bertahan lebih dari 80 tahun.
Ketakutan Barak bukanlah omong kosong belaka. Banyak politisi, sejarawan, dan penulis Zionis telah mengungkapkan hal serupa selama beberapa dekade, terutama sejak Intifada pertama pada 1987 yang memicu kekhawatiran tentang keberlanjutan keamanan warga “ilegal” Yahudi di wilayah Palestina. Setelah empat perang besar di Gaza dan operasi “Badai Al-Aqsa” oleh pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023, ketakutan ini semakin membesar. Banyak pemukim Yahudi memilih untuk meninggalkan Israel.
Mantan Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett menyatakan bahwa Israel sedang berada di titik terendah dalam sejarahnya. “Kita sekarang hidup di era ketiga, dan mendekati dekade kedelapan, Israel sedang mencapai salah satu momen kemunduran tersulit yang pernah dialaminya.” uajar Naftali Bennett.
(Sumbe : Al Jazeera)