Saya Bangga Jadi Anak Cucu Masyumi!
Runutan sejarah dari tahun 1945 hingga era reformasi, memperlihatkan bagaimana dinamika rakyat Indonesia dalam mencari jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Kita pasti ingat, jatuh bangunya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada saat itu, yang antara lain ditengarai dengan berubahnya bentuk negara, dari kesatuan menjadi serikat (RIS), gonta-gati kabinet dalam waktu yang relatif singkat, dan seterusnya.
Satu hal yang menjadi fokus penulis dalam dinamika itu adalah bagaimana negara baru tersebut justru dirongrong dari dalam, oleh sebuah organisasi politik yang berslogan "Sama rata, sama rasa" PKI (Partai Komunis Indonesia) mereka melakukan pengkhianatan yang terkenal dengan sebutan G30S PKI.
Melalui sejarah, semua itu tergambar jelas bagi kita, bagaimana sakit dan pedihnya ketika PKI membantai ribuan jiwa umat Islam tanpa merasa bersalah. 1965 menjadi puncak kekejaman durjana, yang dimulai dengan menculik tujuh jendral, dan membunuh mereka kemudian membuangnya ke lubang buaya.
Setelah jabatan presiden berpindah dari Soekarno ke Soeharto, kita bersyukur PKI sebagai dalang gerakan 30 september 1965 di bumi hanguskan. Bahkan dipersulit akses layanan publiknya jika terdeteksi sebagai anak cucu PKI.
Sayang, dengan makin bertambahnya umur negara, aturan-aturan itu justru menjadi makin longgar. Bahkan beberapa pelonggaran tersebut menjadi momentum kebangkitan anak cucu PKI yang tidak bisa dipungkiri faktanya.
Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara
Setidaknya hal itu terbukti ketika ada seorang anak cucu mereka yang berani menampakkan jati dirinya dengan menulis buku yang berjudul "AKU BANGGA JADI ANAK PKI". Ia adalah Ripka jiptaning Proletariyati, pernah menjadi anggota Dewan perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP). Benar perkataan Kolonel Untung saat itu "kita (PKI) tetap akan ada, akan senantiasa membayang-bayangi manusia". dan itu terbukti.
Bersamaan dengan itu, melalui sejarah pula kita melihat kejayaan umat Islam Indonesia ketika berhimpun di dalam satu partai yaitu Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat dengan Masyumi. Tokoh pendiri partai ini Allahuyarham Dr. Mohammad Natsir, adalah sosok penting yang mampu mengembalikan Indonesia ke format negara kesatuan. Melalui sebuah mosi yang diajukannya, selanjutnya dicatat sejarah sebagai Mosi Integral Natsir, Indonesia kembali ke khittah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika Soekarno yang memproklamasikan NKRI, maka Natsir sang tokoh Masyumi, adalah orang yang berjasa melahirkan kembali NKRI.
Masyumi merupakan salah satu bentuk manifestasi persatuan umat Islam kala itu. Di bentuk dan didirikan dalam Konggres Umat Islam yang diselenggarakan pada tanggal 7-8 November 1945 di Jogjakarta. Perlu dijelaskan bahwa yang tergabung dalam wadah partai Masyumi saat itu adalah semua kalangan, mazhab, serta manhaj yang ada dan berbeda. Bahkan sosok pejuang kemerdekaan dan politisi di awal kemerdekaan, Dr. Abu Hanifah yang dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional yang berpikiran sosialis, ikut dalam konggres pendirian tersebut. Mengingat Historical itu, kita merasa miris dengan keadaan Umat Islam saat ini, yang gontok-gontokan hanya karna beda manhaj dan mazhab. Hendaknya umat Islam bersatu sebagaimana Asy'ari dan Atsari bersatu membantu Khalifah Shalahudin Al-Ayubi dalam menghadapi Mongol.
Sebagai generasi muda Islam Indonesia, maka kita seharusnya juga memboomingkan kalimat "Saya bangga jadi anak cucu Masyumi!". Mudah-mudahan ini menjadi pemicu bersatunya kembali umat Islam dari berbagai kalangan, umat Islam fokus kepada perjuangan bukan pada perbedaan khilafiyah. Ini juga merupakan suatu bentuk reaksi kita sebagai Anak cucu Masyumi terhadap sosok yang membusungkan dada dan mengatakan "Bangga menjadi anak cucu PKI" secara jelas. Mereka saja tidak takut dalam kesalahan dan warisan sejarah kelam, masa kita umat Islam takut dalam kebenaran dan warisan sejarah gemilang yang ditinggalkan para founding fathers yang tergabung dalam Masyumi.