Sebanyak 15,5 Juta Remaja Indonesia Usia 10-17 Tahun Alami Masalah Mental Health

Seorang Master Trainer ESQ Hypnotherapy, Coach Bram G Wibisono, mengungkap sebuah fakta yang memprihatinkan. Berbicara dalam Pelatihan Coaching dan Hypnotherapy yang diselenggarakan ESQ Corp, Selasa (14/5/2024), Coach Bram mengatakan, satu dari tiga remaja Indonesia berusia 10-17 tahun mengalami masalah kesehatan mental (mental health). Angka tersebut setara dengan 15,5 juta orang remaja.

Kegiatan Pelatihan Coaching dan Hypnotherapy yang berlangsung secara Hybrid di lantai 2 Menara 165 Jakarta maupun lewat zoom itu diikuti oleh 1.025 Guru Bimbingan Konseling (BK) dari berbagai wilayah di Indonesia. Pelatihan itu mengangkat tema “Great Teacher as a Coach”.

Didampingi oleh Coach Arief G Rachman, Master Trainer ESQ 3.0 Coaching, para guru BK dilatih untuk mampu memberikan konseling kepada anak remaja zaman now yang rapuh dan cenderung ingin bunuh diri karena merasa suaranya tidak didengar, baik oleh orangtua maupun komunitas di tengah masyarakat serta di sekolah.

Kegiatan yang diselenggarakan menyambut ulang tahun (Milad) ke-24 ESQ Corp dengan Forum Komunikasi Alumni (FKA) ESQ yang berjumlah 5 juta orang, baik alumni pelatihan offline maupun online di dalam dan luar negeri dan dari berbagai benua. Lewat pelatihan ini, diharapkan guru mampu menggali potensi diri dan mendidik dengan efektif, baik dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ), maupun kecerdasan Spiritual (SQ) siswanya.

“Sekitar 34,9% atau satu dari tiga orang remaja atau 15,5 juta remaja terdiagnosis punya setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK),” kata Bram G Wibisono yang juga Board of Expert ESQ Corp dan Direktur ESQ-Neuro Linguistic Programming & Hypnotherapy.

Baca juga: Aksi Bully di Sekolah Lagi-Lagi Bikin Resah

Bram mengatakan hal itu mengutip laporan I-NAMHS. Di tahun 2022, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebutkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia berusia 10-17 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta remaja. I-NAMHS juga menemukan bahwa 5,5% dari angka tersebut, atau sekitar 4,9 juta remaja terdiagnosis punya gangguan mental mengacu pada manual diagnostic global (DSM-5), atau di Indonesia disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Menurut Bram, masalah gangguan kesehatan jiwa di Indonesia naik 164,3% pasca pandemi. Kenaikan itu selain akibat dari pandemi penyakit COVID-19, juga karena masalah sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi.

Ada beberapa jenis gangguan mental yang paling banyak diderita oleh anak dan remaja di Indonesia. Pertama, sekitar 3,7% dari populasi anak dan remaja Indonesia mengalami gangguan kecemasan. Kedua, lebih dari 12 juta penduduk Indonesia dengan rentang usia di atas 15 tahun diketahui mengalami depresi. Sebanyak 1,0% dari populasi anak dan remaja mengalami gangguan kecemasan mayor. Ketiga, sebanyak 0,9% populasi anak dan remaja mengalami gangguan perilaku. Keempat, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing diderita oleh 0,5% anak dan remaja Indonesia.

“Penyebab masalah kesehatan mental ini umumnya tekanan akademik, karena baik di rumah di sekolah yang ditekankan adalah perolehan nilai tinggi dari beragam pelajaran. Padahal selain beban akademik yang tinggi, ada persaingan yang ketat,” katanya.

Ekspektasi yang tidak realistis dari sekolah dan orang tua dapat menyebabkan stres dan depresi pada anak dan remaja di sekolah dan kampus. Penelitian juga menunjukkan, pengalaman menjadi korban bullying di sekolah atau di lingkungan sekitar dapat menyebabkan stres, kecemasan, depresi, dan bahkan berkontribusi pada risiko bunuh diri pada anak dan remaja.

Masalah Keluarga

Konflik dalam keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau kurangnya dukungan emosional dari orang tua dan keluarga, dapat menjadi faktor risiko untuk masalah kesehatan mental pada anak dan remaja. Bagi anak dan remaja yang hidup di zaman digital ini, penggunaan media sosial yang berlebihan atau interaksi yang negatif di dunia maya juga menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi.

Baca juga: Sejak Kapan Sekolah Diwajibkan?

Gangguan Identitas dan Body Image, kesulitan dalam mengidentifikasi diri sendiri atau memiliki citra tubuh yang negatif, dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Jika seorang anak mengalami gangguan kesehatan mental, dapat timbul berbagai masalah yang bisa memengaruhi kesejahteraan dan prestasinya di sekolah dan kampus, karena kesulitan dalam berkonsentrasi, belajar, dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar mengajar.

“Bunuh diri menjadi penyebab terbesar kedua kematian yang terjadi pada rentan usia 15-29 tahun. Lebih dari 800.000 orang setiap tahunnya mati karena bunuh diri, sekitar 20 persennya disebabkan oleh anak-anak dan remaja di dunia yang mengalami gangguan dan permasalahan mental,” ungkap Bram.

Hal yang lebih mencoreng citra bangsa adalah tingkat kekerasan di sekolah di Indonesia yang mencapai 84% (ranking pertama). Sedangkan Vietnam dan Nepal 79%, Kamboja 73%, dan Pakistan 43%. Sebanyak 27,9% siswa SMA di Indonesia melakukan kekerasan dan 25,4% siswa SMA mengambil sikap diam.

Menurut Bram, remaja yang sudah duduk di bangku SMP, SMA, dan SMK, umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Hal ini berarti bahwa, remaja melewatkan hampir sepertiga dari waktu mereka setiap hari, di sekolah. Tidak mengherankan jika sekolah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan jiwa remaja.

Itulah sebabnya keberadaan guru BK sangat dibutuhkan dan jumlahnya antara 2-3 orang guru BK di setiap sekolah. Selama ini, guru BK minimal hanya bisa satu minggu sekali mengunjungi setiap kelas.

“Solusinya, sekolah negeri maupun swasta wajib memiliki guru BK lebih dari satu orang,” tegasnya.

Hal yang mengejutkan adalah, para peserta pelatihan yang 90% adalah guru BK ternyata bekerja dalam tekanan bahkan hingga 13-14 jam per hari, meskipun pertemuan siswa dan sekolah hanyalah 7 jam.

Baca juga: Mengenal Metode Pembelajaran ala Ponpes Nuu Waar AFKN

Darurat Kesehatan Mental

“Jika masalah darurat kesehatan mental ini mau diatasi secara nasional, maka guru BK harus melakukan tugasnya dengan bahagia dan memiliki waktu untuk diri sendiri maupun keluarganya. Sekolah juga harus memiliki proses belajar dan mengajar yang sehat dan sejahtera, sehingga siswa akan merasa lebih bahagia dan sejahtera dalam mengikuti pelajaran di kelas, dapat belajar secara efektif dan memberi konstribusi positif pada sekolah, dan lebih luas lagi pada komunitas,” urainya.

Solusi lainnya, semua stakeholders bangsa ini meningkatkan kompetensi guru BK sebagai orang yang ahli dalam menangani kesehatan mental, misalnya dengan ilmu coaching dan hypnotherapy. Sebab, mengatasi persoalan anak bangsa saat ini tidak bisa lagi sekadar lewat nasihat dan ceramah, karena tuntutan zamannya yang sudah berubah.

“Guru BK harus bisa jadi teman curhat, jadi guru pembimbing, mentor, selain banyak pula yang menjadi pengganti orang tua. ESQ Corp berkomitmen memberikan pelatihan, pendampingan pada guru BK, sehingga cita-cita memiliki SDM Emas di tahun 2045 tercapai,” kata Bram.

Bram G. Wibisono, Trainer Senior ESQ yang telah berbagi ilmu di lebih dari 650 kelas Training Nasional di Bank Indonesia, lantas mengutip Konfusius, mengatakan, “Untuk menertibkan dunia, pertama-tama kita harus menertibkan bangsa. Untuk menertibkan bangsa, pertama-tama kita harus menertibkan keluarga. Untuk menertibkan keluarga, pertama-tama kita harus membina kehidupan pribadi kita, mengatur hati kita dengan benar terlebih dahulu”.