Sejarah Organisasi Kemasjidan (Bagian 1)
Khazanah Seni Budaya Islam Bermula dari Sebuah Masjid
Menurut Dr. Omar Amien Hoesin yang menulis buku “Kultur Islam” terbitan PT Bulan Bintang, 1981, menyatakan bahwa “Kebudayaan Islam lahirnya bermula dalam masjid. Masjid yang pertama didirikan dalam sejarah Islam adalah Masjid Madinah dalam tahun 622 M. Masjid itu pendiriannya dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ.”
Tentu saja Masjid yang didirikan pada masa itu adalah sangat sederhana, namun ia telah membuktikan bahwa Islam itu dipimpin oleh wahyu Tuhan, dan Muhammad telah menjadi pemimpin pertama dalam kebudayaan orang Islam. Para ahli sejarah kebudayaan memandang bahwa Masjid itu juga merupakan prototype dari segala masjid yang ada dalam dunia Islam. Bahkan juga kebudayaan Islam pada masa itu dan masa kemudiannya.
Masjid Madinah, berbentuk segi empat, didinding dengan tembok yang terbuat dari batu. Karena waktu itu kiblat arah sembah adalah ke Baitul Maqdis, maka pada bagian sebelah utara masjid itu (tempat di mana Nabi sebagai Imam shalat) diberi atap. Baru pada tahun 624 M, kaum Muslimin menukar arah kiblatnya ke Mekkah. Jadi, kiblatnya berputar dari utara ke Selatan. Namun perubahan itu tidak membawa perubahan bentuk masjid dari yang semula.
Masjid pertama yang didirikan di Madinah, meski pun sangat sederhana, namun telah memberikan inspirasi bagi pendirian masjid-masjid selanjutnya. Sedangkan Masjid yang kedua dalam sejarah Islam adalah Masjid yang dibangun di Kufah, Mesopotamia (kini termasuk wilayah Republik Irak) yang didirikan tahun 639 M. Pada masjid yang kedua ini, bangunan sudah jauh lebih bagus dari yang pertama. Atapnya bukan terbuat dari daun kurma lagi, akan tetapi karena masjid tersebut dibangun oleh para Raja Mesopotamia, maka atapnya terbuat dari batu pualam dari Hirah, Persia. Masjid itu juga berbentuk segi empat. Namun, berbeda dengan Masjid Madinah yang berdinding tembok, maka Masjid Kuffah ini memiliki parit. Artinya seluruh bangunan dibatasi dengan air.
Masjid ketiga didirikan di Fustat (Cairo) oleh Amru Bin ‘Ash pada tahun 624 M. Walaupun ukuran masjid ini kecil, namun telah memberikan cara baru dalam bidang bangunan. Masjid Fustat tak mempunyai atap (sahn), namun memiliki mimbar tempat khatib berkhutbah. Hal ini belum pernah ada sebelumnya. Di samping itu, juga dibuat dinding yang rendah sebagai pembatas imam dengan ma’mum.
Pada akhir abad ke-6 pada masjid-masjid di Fustat dibangun menara tempat orang melakukan Adzan. Bentuk sedemikian itu membuat orang menyebut Masjid Fustat sebagai masjid jami pertama. Jika dilihat dari segi ilmu bangunan, Masjid Fustat di Mesir ini sudah lepas dari bentuk asalnya.
Baca juga: Pemberantasan Judi Online
Perlu kita ketahui, Masjid Nabi pertama memang belum memiliki nilai arsitektur, sesuai dengan kondisi waktu itu yang serba darurat dan masih merupakan masa permulaan. Namun sudah menunjukkan dasar dan arah kiblat. Tampaknya, mulai Masjid Fustat ini model masjid di Timur Tengah dimulai dengan ciri khususnya ialah menaranya.
Masjid Damascus (Suriah)
Seorang Sahabat Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan, pernah menjadi pegawai pemerintah dan memiliki kemampuan di bidang administrasi. Ia juga pernah menjadi panglima. Ketika Suriah berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin, ia menjadi Gubernur di Damascus.
Adanya pertentangan politik dengan Khalifah Ali menyebabkan Suriah menjadi terisolasi dari pemerintah pusat di Kufah. Ketika Khalifah Ali wafat, Muawiyah menjadi Khalifah, dan pada masa itulah Damascus menjadi pusat dunia Islam. Sekitar tahun 661 M, wilayah Mesopotamia atau Suriah sekarang adalah suatu daerah yang memiliki kebudayaan yang tua, penduduknya terdiri dari bangsa Arab dan Suriah. Di sinilah akhirnya dibangun Masjid yang ternama pula yakni Masjid Raya Damascus. Masjid ini memiliki keunikan yakni didirikan di atas bekas bangunan candi tua Yunani.
Seperti halnya Masjid di Fustat, maka Masjid Raya Damascus itu juga memiliki empat buah menara. Pada masjid Raya Damascus, kubah-kubahnya berbentuk tapak besi kuda bulat. masing-masing pada amabang pintu berbentuk setengah bundar (semi-circular).
Ruangan masjid ini dihias dan diukir amat indahnya. Di antaranya kita dapati marmer (pualam) yang halus, mozaik yang indah, dan pada pintunya dipasang kaca-kaca warna-warni. Konon, mozaik seindah di Masjid Raya Damascus kala itu belum pernah ditemui sebelumnya di daratan Eropa.
Baru sekitar 100 tahun kemudian, yakni sekitar tahun 786 M, Masjid Kordova di Spanyol mulai dibangun. Hampir semua masjid-masjid di Spanyol beratap tidak seperti di Asia Tengah. Masjid Raya Kordova terdiri dari sebelas buah ruangan besar. Tiap-tiap ruangan dipisahkan oleh lengkungan atap. Tiap ruangan beratap lengkung itu memiliki masing-masing dua puluh tiang penyangga. Konon bahan-bahannya dari bangunan zaman Romawi.
Baca juga: Urusan Palestina, Prabowo Lebih Progresif daripada Jokowi
Jika kita perhatikan dengan seksama, Masjid Kordova ini tiang-tiangnya bentuknya sangat antik, terasa kepada orang yang memandangnya. Seolah-olah tiang-tiang batu itu telah dibuat lebih dahulu oleh sebuah pabrik tiang, sebelum masjidnya didirikan. Seluruh Masjid Kordova ditutup dengan tembok yang tinggi dan pada sekeliling atap terdapat jalan-jalan beratap lengkung. Banyaknya tiang-tiang penyangga pada Masjid Kordova ini tampak seolah begitu banyak tangan tengah berdoa.
Dari segi arsitektur, arsitektur Cairo lebih banyak condong kepada arsitektur Mesopotamia. Munculnya masjid-masjid kuburan semisal Masjid Al Yuyushi dan kemudian beberapa masjid pun menirunya, biasanya sang pendiri masjid selalu bermaqam di sebelah masjid. Di dalam perkembangan berikut, ketika beberapa wilayah jatuh ke tangan Turki, sejak itu muncul masjid-masjid baru yang bergaya Usmaniyah.
Bentuk arsitektur Usmaniyah memiliki ciri dan nilai tersendiri. Apalagi ketika Constantinopel dan Byzantium jatuh ke tangan Turki. Sekitar tahun 1200-1445 M, tampaknya perkembangan arsitektur di Turki begitu maju pesat. Arsitektur Islam mendapat inspirasi dari gedung-gedung dan istana Byzantium. Percampuran budaya Byzantium dan Turki telah menambah suatu kebudayaan baru di Asia Kecil. Hal itu pun berpengaruh ke Mesir dan Suriah.
Wilayah lain yang kaya akan kebudayaan Islam dalam bidang arsitektur adalah Persia, Turkestan, India, dan Pakistan. Perkembangan arsitektur Islam berjalan tumbuh dan berkembang sesuai dengan keadaan, tempat, dan potensi budaya yang ada di suatu daerah atau negara. Para ahli kebudayaan membagi adanya madzab-madzab arsitektur Islam menjadi 5 bagian, yakni Madzab Syro Egyptian (Suriah dan Mesir); Hispano – Morisque (Morin – Spanyol) ; Persia (Iran); Turki Osmaniyah; Hindi (Hindia dan Pakistan).
Perbedaan yang menonjol antara madzab satu dengan yang lain hanya pada penggunaan bahan. Bahan-bahan dipergunakan kebanyakan disesuaikan menurut adat istiadat yang terdapat di daerah tersebut.
Arsitektur Masjid di Indonesia
Pengaruh ajaran Islam di tanah air kita ternyata kemudian telah menjadi tradisi bangsa kita. Bukan saja terbatas pada masyarakat Islam. Tetapi juga memasuki bidang arsitektur, baik masjid, rumah, kuburan, batu nisan, bahkan juga istana-istana raja dan pola tata kota. Seolah-olah menjadi sebuah tradisi tata kota pada kerajaan-kerajaan sejak Kerajaan Demak sampai Mataram, bahwa bangunan keraton, masjid, alun-alun, pasar, benteng dan kandang kuda, penjara, semuanya menjadi semacam hak paten dari tata kota kerajaan Islam. Hal itu masih kita lihat sampai sekarang. Ada kantor kabupaten, alun-alun, masjid, penjara, selalu kita dapati pada kota-kota tertentu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Ternate, dan lain-lain.
Baca juga: Relasi BSI dengan Muhammadiyah
Mengapa kita mengambil contoh masjid? Karena masjid adalah sebuah bangunan yang di dalamnya meliputi arsitektur, seni lanskap, dekoratif, dan lain-lain. Di Indonesia, mungkin kita bisa menampilkan madzab tersendiri di luar 5 madzab. Walau pun dalam perkembangannya, penampilan bangunan masjid Indonesia mengalami proses akulturasi dengan budaya setempat, dan ini menambah kekayaan arsitek Islam di tanah air kita.
Misalnya menurut kenyataan bangunan Masjid Kudus beserta menara dan gapuranya adalah perpaduan budaya Majapahit dan Mataram Islam. Begitu juga budaya daerah telah mendukung budaya Islam semacam bentuk atap susun, atap bergonjong, serta atap susun corak Masjid Minangkabau. Namun, secara prinsip misalnya pola hias yang dulunya (pengaruh Hinduisme) pada visualisasi makhluk hidup semacam arca manusia, binatang, kebiasaan itu menjadi hilang begitu Islam masuk.
Hiasan-hiasan terpantul pada visual bukan manusia atau binatang lagi, melainkan diganti dengan visualisasi yang abstrak dan simbolis. Misalnya, pola hiasan Arabik (kaligrafi) walau pun bentuknya ornamen atau lukisan timbul. Ini terlihat pada hiasan pigura, dinding dan pintu masjid, bahkan juga dinding mihrab atau mimbar.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat, khususnya terhadap pemahaman keagamaan, maka perluasan bangunan masjid pun biasanya disesuaikan dengan aspirasi umat setempat. Ada masjid makam terdapat di beberapa tempat, berarti pemberian penghormatan bagi pendiri masjid atau pendakwah awal di daerah tersebut untuk dimakamkan di kawasan masjid. Biasanya dekat mihrab masjid.
Setelah masjid berkembang menjadi pusat Pendidikan, ada madrasah bahkan pondok pesantren. Ada juga sebagai tempat penginapan bagi para pedagang muslim, karena kota yang bersangkutan sudah menjadi pusat perdagangan, dan lain-lain. Lihat saja masjid-masjid yang dibangun sesudah kemerdekaan, semacam Masjid Syuhada di Yogyakarta, Masjid Al Azhar Jakarta, Masjid Sunda Kelapa Jakarta, Masjid Agung Semarang, sampai pada Masjid Istiqlal. Tampak begitu pesat perkembangan fungsi masjid sebagai pusat kebudayaan, sehingga di kawasan masjid kita dapati sekolah, poliklinik, kantor majalah, penasihatan pernikahan, dan kegiatan umat lainnya.
Yang perlu kita sadari bersama, masjid kita jadikan studi kasus dalam masalah karya-karya budaya dan seni umat Islam, bukan berarti bahwa hasil budaya umat hanyalah masjid saja. Akan tetapi, justru kita ingin menunjukkan, dari masjidlah seni budaya Islam diberikan warna dan ruh Islami, sehingga diharapkan seni budaya Islam mampu memberikan kesejahteraan dan keselamatan bagi umat, baik dunia maupun akhirat. Sebab, kita tahu bahwa begitu banyak khasanah seni budaya kita, sejak seni ukir, sastra, sulaman, tenun, lukisan, musik, falsafah, yang semuanya memiliki mutu karya seni yang cukup tinggi dibandingkan karya seni non Islam.
(Bersambung)