Sejatinya Makna Haji dan Berqurban
‘Idul Adha merupakan hari raya umat Islam selain ‘Idul Fithri. Maka, hari raya ini juga dinantikan oleh umat Islam sedunia. Paling tidak, ada dua momentum dalam hari raya Adha ini. Yang pertama, terdapat kewajiban bagi umat Islam untuk menunaikan Ibadah Haji satu kali seumur hidup dan itu pun bagi yang memenuhi syarat, yaitu memiliki kemampuan untuk perjalanan pergi, prosesi haji di Makkah, dan pulang kembali ke negeri asalnya. Yang kedua, adalah berqurban, yakni menyembelih hewan berkaki empat, semisal unta, sapi, kerbau, dan kambing, selain itu dalam islam juga disebut adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan atau hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah).
Qurban berasal dari bahasa Arab Qaraba-Yaqrabu-Qurban yang artinya dekat. Maka, berqurban sejatinya sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Berqurban juga merupakan indikator kualitas dan tebal-tipisnya keimanan seorang muslim terhadap Allah SWT. Seseorang yang berqurban berarti telah melepaskan dirinya dari keterikatan kepada makhluk atau selain Allah, menuju keterikatannya hanya kepada Allah SWT semata. Itulah sebabnya, beberapa kali kita dengar dan saksikan dalam tayangan berita-berita di TV dan media sosial, beberapa orang yang sesungguhnya tidak mampu secara finansial tetapi mau berqurban. Di antaranya ada seorang nenek pemulung dengan tempat tinggal di TPA sampah, tetapi rajin menabung untuk berqurban. Ada pula seorang nenek buruh tani yang rumahnya gedek, lantai tanah, tetapi rajin menabung untuk berqurban. Dengan demkian, berqurban bukan soal mampu tetapi soal mau karena iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Alhasil, orang miskin belum tentu menggambarkan kualitas iman, begitu pun orang kaya belum tentu menggambarkan kualitas iman, karena iman adalah soal hati.
Acapkali kita saksikan dalam kehidupan di masyarakat, orang terlalu sayang dan cinta terhadap harta bendanya, sehingga diperbudak oleh harta bendanya. Ia bahkan sulit tidur hanya memikirkan harta bendanya serta kehilangannya. Ia pelit berbagi, pelit bershodaqah, dan tak mau berqurban. Ia lupa bahwa dirinya terlahir tidak membawa apa-apa, semua harta benda adalah titipan-Nya.
Ada pula yang terlalu cinta dan sayang terhadap kedudukan atau jabatannya sehingga tak mau melepaskan jabatannya dan atau ingin terus menambah periodenya. Atau ingin mewariskan kepada ahli warisnya. Atau tidak rela jika estafet kedudukannya dan atau jabatannya jatuh kepada orang lain yang tak sejalan dengannya. Dia ingin pengganti kedudukan dan atau jabatannya harus jatuh kepada koleganya. Bahkan tak sedikit orang ketika tiba masa pensiun pun tak rela, sehingga setelah pensiun ia stress.
Ada pula yang terlalu sayang dan cinta terhadap gelarnya, egonya, serta keakuannya. Sehingga, ia selalu merasa yang paling benar, susah menjadi pendengar yang baik, seakan dialah yang paling pintar, yang paling tinggi ilmunya, serta merasa yang paling terhormat. Maka tak sedikit pula orang yang sulit untuk menerima pendapat orang lain.
Selain itu, seringkali orang terlalu sayang terhadap suami-istri dan anaknya. Kadang kala saking sayangnya, sehingga Allah dinomorduakan, dinomortigakan, dan seterusnya, sehingga hak-hak Allah dikesampingkan demi menuruti hak-hak suami atau istri dan atau anak-anaknya.
Apabila semua hal tersebut terjadi, maka sirnalah kehormatan dan kemuliaan tertinggi sebagai manusia, karena sesungguhnya kehormatan dan kemuliaan tertinggi sebagai manusia adalah manakala ia mampu melepaskan keterikatannya kepada apa pun dan siapa pun kecuali Allah SWT. Itulah sejatinya kemurnian iman dan taqwa kepada Allah. Serta melenyapkan sifat dan sikap Syirik. Sesungguhnya itu sejatinya ibadah Qurban dan Hajji yang tergambar dalam kalimat talbiyah.
"Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu."
Jika kita sadari serta mengenang sejarah momentum hari Idul Adha ini, yakni Nabi Ibrahim AS dalam mimpinya mendapat perintah untuk menyembelih putranya yaitu Ismail. Ismail adalah putra yang sangat dicintainya dan dinantinya berpuluh puluh tahun lamanya. Setelah anak tiba, mumayyiz Allah perintahkan untuk menyembelihnya, alangkah beratnya. Sehingga Nabi Ibrahim AS dihadapkan pada dua pilihan yang sangat berat, yaitu antara melaksanakan perintah Allah dari mimpi tersebut dan kehilangan putranya atau mengabaikan perintah tersebut dengan tidak melaksanakan perintah Allah. Tetapi karena baginya cinta kepada Allah adalah segalanya, karena ketaqwaaanya kepada Allah adalah segalanya, akhirnya Nabi Ibrahim AS memilih melaksanakan perintah tersebut. Dan saat penyembelihan Ismail berlangsung, Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba. Subhanallah! Begitulah pengorbanan Nabi Ibrahim AS ketika mendapat perintah dari Allah SWT. Olehnya, yang akan dan pasti Allah terima adalah karena taqwanya, sebagaimana Allah berfirman:
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” – QS. AlHajj:37
Apabila seorang muslim melaksanakan Haji dan juga Berquban karena iman dan taqwanya, tidak perlu ada rasa kekhawatiran. Sebab, Allah pasti akan menggantikan atau membalasnya dengan hal yang baik bahkan lebih baik secara langsung ataupun tidak langsung. Bagi yang menunaikan haji, Allah akan ganti ongkos yang sudah digunakan untuk menunaikan ibadah Haji. Membelanjakan dana untuk menunaikan ibadah haji bukanlah sesuatu yang sia-sia. Orang yang menghabiskan banyak dana untuk menunaikan ibadah haji hendaknya tidak merasa telah kehilangan hartanya. Hal itu karena Allah swt akan membalasnya dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Pembiayaan dalam haji sama dengan pembiayaan dalam berjihad di jalan Allah swt; akan dibalas dengan pahala 700 kali lipat.” – HR. Ahmad
Di dalam hadits lain disebutkan,
“Orang yang melaksanakan haji dan orang yang melaksanakan umrah adalah tetamu Allah swt. Allah swt akan memberi apa yang mereka minta; akan mengabulkan doa yang mereka panjatkan; akan mengganti biaya yang telah mereka keluarkan; dan akan melipatgandakan setiap satu Dirham menjadi satu juta Dirham.” – HR. Al-Fakihani dalam Akhbaru Makkah
Disebutkan dalam hadits di atas, Allah swt akan mengganti biaya yang mereka keluarkan itu dalam kehidupan dunia. Sedangkan balasan yang dilipatgandakan itu akan diberikan di akhirat. Maka dari itu, tidak perlu ada perasaan takut miskin ketika harus mengeluarkan biaya yang banyak. Karena Rasulullah saw bersabda,
“Orang yang melaksanakan haji sama sekali tidak akan jatuh miskin.” – HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar
Keutamaan berqurban yang lainnya juga memberikan manfaat sebagai aksi sosial dan kemanusiaan. Di sini, ibadah qurban yang dilakukan umat muslim setiap tahunnya, menjadi bukti bahwa agama Islam telah mengatur bagaimana menyeimbangkan perekonomian dan aspek kemanusiaan sosial. Di mana setiap manusia harus saling berbagi kepada sesama agar tercipta kehidupan sosial bermasyarakat yang harmonis. Bukan hanya itu, melalui berqurban juga dapat menghubungkan rasa kasih sayang dan kepedulian antara fakir miskin dengan golongan orang yang mampu. Qurban menjadi salah satu cara agar setiap umat dapat merasakan kenikmatan rezeki dan berkah yang senantiasa diberikan Allah kepada setiap hambanya.
Keutamaan berqurban yang berikutnya dan tak kalah penting adalah sebagai tanda mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Di dalam hal ini, Allah pun telah memerintahkan setiap umat untuk berqurban meskipun sedang dalam tekanan dan serangan oleh kaum yang tidak suka dengan Islam dan orang islam. Dengan begitu, secara tidak langsung seluruh masyarakat masih dapat merasakan nikmat dan berkah kebaikan dari Allah meskipun sedang dalam keadaan sulit. Untuk itu, setiap umat harus saling berbagi kebaikan sebagai tanda bersyukur kepada Allah.
Menunaikan Ibadah Haji merupakan Fardhu ‘Ain bagi yang memiliki kemampuan, (Istitho’ah), mampu ongkosnya, mampu fisiknya yakni sehat jasmani dan ruhani, mampu perjalanannya yang aman.
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” – QS. Ali Imran:97
Berqurban menurut ijma’ ulama hukumnya adalah sunnah muakkadah atau sunnah yang sangat dianjurkan untuk dapat dilaksanakan bagi umat Islam. Bagi mereka yang telah mampu untuk berqur’an, maka menjadi suatu keniscayaan untuk segera menunaikannya dan dapat menjadi makruh apabila sengaja meninggalkannya. Namun, bagi mereka yang belum mampu belum menjadi suatu keniscayaan, tetapi tetap berusaha.
“Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),” – QS. Alhajj:34
Kemudian, esensi dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa beberapa makna dan tujuan dari haji dan berqur’an ketika hari Idul Adha. Pertama, Ketika Jamaah menggunakan kain ihram merupakan bentuk keikhlasan seseorang untuk melepaskan seluruh jabatan dan pangkatnya saat menghadap Allah SWT. Kain ihram dipakai oleh manusia dari berbagai penjuru dunia, beda negeri, beda etnis, beda warna kulit, beda suku, beda postur tubuh, ini juga memiliki esensi di mana seluruh makhluk manusia adalah sama di mata Allah SWT. "Pembedanya hanyalah ketaqwaan. Maka, saat mengenakan ihram, tidak ada kesempatan untuk merendahkan orang lain atau menyombongkan diri,"
Kedua, ibadah wukuf di Arafah. Saat berwukuf, manusia harus memahami bahwa tidak ada keinginan lain selain menyembah dan bertemu dengan Allah. Wukuf, sejatinya adalah melepaskan segala ketergantungan kita kepada apa pun selain Allah, berdiam dengan tafakkur merenungi bahwa sesungguhnya dirinya sangat kecil dibanding Allah yang maha besar dan tidak lain tempat bergantung kecuali Allah SWT.
Ketiga, berqurban adalah sebagai gambaran kualitas serta wujud keimanan dan ketaqwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Keempat, berqurban dapat mengenang peristiwa ujian terhadap Nabi Ibrahim AS dan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kelima, dengan berqurban maka dapat berbagi dengan sesama muslim dan sebagai wujud kasih sayang serta untuk menguji keikhlasan umat muslim untuk dapat berqurban.
Keenam, menunaikan Ibadah Haji dan Qurban harus diawali dengan mau atau memiliki motivasi tinggi, maka Allah akan memberikan kemampuan. Ketujuh, tidak perlu khawatir dan takut menunaikan ibadah Haji dan Qurban, karena janji Allah yang pasti adalah akan menggantinya.
Wallahu ‘alam bishshowab.
Semoga bermanfaat. Amin