Sejumlah 62% Sebab Perceraian di Indonesia adalah Tidak Mampu Mengelola Pertengkaran
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, hingga tahun 2024 ini, sebagian besar atau setara dengan 62% kasus perceraian disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran. Menurut BPS, dari jumlah terbesar angka kasus perceraian di Indonesia, yang menjadi penyebab utamanya adalah pertengkaran atau percecokan yang terus menerus.
Hal itu terungkap dalam Webinar Keleidoskop Keluarga Indonesia yang dilaksanakan pada hari Senin, 23 Desember 2024 melalui Zoom Meeting. Webinar yang mengangkat tema “Rapor Merah Keluarga Indonesia” itu menampilkan Cahyadi Takariawan, (konselor keluarga) dan dr. Ida Rachmawati (psikiater dan pegiat media sosial) sebagai pemateri utama.
“Salah satu yang kami lihat dari akhir tahun 2024 ini adalah bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Indonesia. Kami selalu berharap bahwa angka perceraian bisa kembali menurun dan menjadi hal yang melegakan kita,” kata Cahyadi Takariawan.
Di kesempatan itu, Cahyadi Takariawan menyebut, Laporan BPS mengungkapkan empat poin besar penyebab terjadinya perceraian di Indonesia. Yaitu, karena pertengkaran atau percecokan; faktor ekonomi; meninggalkan pasangan; dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
“Ungkapan ini sebenarnya tidak mudah menduga bahwa ini adalah kalimat formatif yang diambil dari Kompilasi Hukum Islam, pada poin tentang alasan-alasan yang membolehkan perceraian di Indonesia, dan ini muncul pada poin ke-6 dari ke-8 alasan yang dibolehkan menjadi sebab perceraian di Indonesia,” jelasnya.
Fun fact-nya adalah, Cahyadi dengan tegas mengungkapkan data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) terkait alasan terbesar yang menyebabkan perceraian di Indonesia, justru bukan karena perselingkuhan. “Saya coba buka data dari BPS sejak 2022 sampai 2023. Dari 13 penyebab perceraian yang diungkapkan dalam data BPS itu, tidak ada satu pun kata-kata ‘selingkuh’ di sana. Tidak ada satu pun klausul poin yang menyatakan bahwa ada kasus cerai yang disebabkan oleh selingkuh. Tidak ada!” tegasnya.
Maka, menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi rapor merah keluarga Indonesia adalah ketidakmampuan mengelola pertengkaran. Jika keluarga di Indonesia mampu mengelola pertengkaran maupun percecokan, maka data perceraian akan semakin menurun.
“Kalau asumsi ini benar, dan jika hal ini bisa mengedukasi dan membuat komitmen di antara suami dan istri, maka perceraian yang sebabnya karena percekcokan makin lama makin bisa ditekan. Jika kita bisa mengelola hal ini, peluang terjadinya perceraian akan semakin menipis,” tutup Cahyadi.
Sedangkan dr. Ida Rachmawati, di kesempatan itu meng-highlight kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Sebab, menurut dia, banyak hal bisa menjadi sebab kekerasan. Termasuk komunikasi, yang bisa terkait dengan kekerasan, yaitu kekerasan verbal. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2018, sekitar 30% perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidup mereka.
“Data yang cukup mengerikan diungkapkan oleh UNICEF pada November 2024. Yaitu 1,6 miliar anak secara rutin mengalami hukuman fisik atau agresi psikologis di rumah, dan 90 juta anak telah mengalami kekerasan seksual. Setiap 4 menit, seorang anak meninggal akibat kekerasan,” ungkap dr. Ida Rachmawati.
dr. Ida lantas banyak sekali menjelaskan tentang mengapa kekerasan terhadap anak dan perempuan terus menerus meningkat, dan hal ini berkaitan dengan konflik di rumah tangga, yang berujung terhadap perceraian. Bisa dibayangkan, jika hubungan pasangan tidak sehat, maka akan berdampak kepada keluarga dan anak-anaknya. Maka, janganlah takut untuk datang ke psikiater atau konselor pernikahan jika hal-hal tersebut terjadi kepada keluarga.
“Hadiah terbaik yang diberikan orang tua terhadap anaknya bukanlah harta yang banyak, melainkan adalah keluarga yang harmonis, yang selalu ada untuk anak-anaknya dan menjadi rumah ternyaman bagi mereka,” jelasnya.