Serangan El Fasher dan Khartoum di Sudan, Negara-Negara Arab Buka Suara
Negara-negara Arab menyerukan diakhirinya perang antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang telah berlangsung selama lebih dari setahun. Seruan yang dikeluarkan pada hari Rabu (19/6/2024) itu juga menuntut kembalinya penyelesaian melalui jalur diplomasi.
Seruan negara-negara Arab itu disampaikan dalam pidato Arab Saudi, dan pidato lainnya atas nama negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), dalam dialog interaktif yang diadakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia mengenai situasi di Sudan. Antara lain disampaikan dalam pidato Arab Saudi, melalui perwakilan tetapnya di PBB, Abdul Mohsen Khathila.
Di kesempatan itu, Abdul Mohsen Khathila menurut laporan dari Saudi Press Agency menyatakan, “Kerajaan Arab Saudi cemas terhadap berlanjutnya operasi militer di Sudan dan penderitaan yang terjadi”.
Khatila juga menyerukan perlunya kembali melakukan dialog antara dua pihak, sebagai langkah awal untuk menyelesaikan masalah politik, agar menghindarkan saudara-saudara kita dari bencana perang.
Selama dialog interaktif, negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk juga mendesak pihak-pihak di Sudan terkait pentingnya kedamaian, memberikan prioritas untuk berdialog, dan menyatukan barisan.
Baca juga: Kepentingan Asing dalam Krisis Sudan
Sedangkan Wakil Perwakilan Tetap Qatar di Jenewa, Jawhara Al Suwaidi, menekankan urgensi keterlibatan yang serius dan efektif dari pasukan pemerintah Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat. Sehingga, perlu inisiatif untuk menyelesaikan krisis tersebut. Demikian pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Qatar yang dikeluarkan pada Selasa (18/6/2024) malam.
Sementara itu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyerukan tindakan segera untuk mengatasi bencana kemanusiaan yang terjadi di Sudan. “Kedua belah pihak yang berkonflik harus segera melakukan gencatan senjata di Sudan,” imbau Tedros.
Konfrontasi di Khartoum
Konfrontasi terjadi antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di selatan ibu kota, Khartoum dan ibu kota wilayah Darfur (barat), El Fasher. Sumber lokal pun mengonfirmasi kepada Al Jazeera bahwa serangan penembakan menggunakan senjata berat terdengar di sekitar Korps Lapis Baja, di selatan ibu kota, Khartoum.
Tentara Sudan mengatakan, “Serangan Pasukan Aksi Khusus di wilayah militer Al-Shajara atau yang disebut Milisi Dukungan Cepat (RSF) menyebabkan banyak korban jiwa di selatan Khartoum.”
Publikasi pihak militer memperlihatkan gambar-gambar Pasukan Aksi Khusus (RSF) dengan memperlihatkan kendaraan tempur bersenjata lengkap. Juga sejumlah peralatan yang disita dari Pasukan Dukungan Cepat.
Baca juga: Mendebarkan! Begini Kesaksian WNI Keluar dari Perang di Sudan
Di Omdurman, para aktivis mengatakan, “Seorang sukarelawan di Rumah Sakit Al-Naw tewas akibat tembakan artileri oleh Pasukan Dukungan Cepat di pinggiran kota Al-Thawra”
The Sudanese Resistance Committees di wilayah Karari, sebelah utara Omdurman, menyatakan, “Lingkungan di wilayah tersebut menjadi sasaran penembakan artileri yang kejam oleh Pasukan Dukungan Cepat.”
Pertempuran di El Fasher
Di lain sisi, New York Times mengatakan bahwa gambar satelit dan analisis video mengungkapkan peningkatan serangan di El Fasher.
Surat kabar tersebut mengutip Laboratorium Penelitian Manusia Yale yang mengatakan, lebih dari 40 desa di dekat El Fasher telah dibakar sejak bulan April 2024. Beberapa di antaranya sengaja dihancurkan, dan lebih dari 20.000 bangunan telah dihancurkan sejak Pasukan Dukungan Cepat mengambil alih kompleks-kompleks di bagian timur kota El Fasher.
Sejak pertengahan April 2023, tentara Sudan yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat yang dipimpin oleh Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti) telah berperang. Hal itu menyebabkan sekitar 15.000 orang tewas dan sekitar 8,5 juta orang mengungsi. Demikian laporan yang dikeluarkan oleh PBB.
Baca juga: Memahami Akar Konflik Sudan (Bagian 1)
PBB dan seruan internasional semakin vokal untuk menyelamatkan Sudan dari bencana kemanusiaan yang dapat menyebabkan jutaan orang mengalami kelaparan dan kematian. Hingga sekarang, akibat dari konflik ini, kekurangan pangan terjadi akibat pertempuran yang telah menyebar ke 12 dari 18 wilayah di negara itu.
(Sumber: Al Jazeera & Press Agency)