Seruan Boikot Haruslah Diiringi Kemandirian Ekonomi Umat
Dalam artikel yang lalu saya telah menyinggung wacana boikot sebagai salah satu senjata jihad kaum muslimin non militer. Salah satu peristiwa yang ingin saya jadikan pengantar dalam tulisan ini adalah hubungan diplomatik antara khalifah Bani Umayyah dengan Romawi dalam satu kasus sebagaimana diperoleh keterangan dari kitab Bughyatu Ath-Thalab fii Tarikh Halab karya Ibnu Al-‘Adim jilid 7 hal. 3194. Berikut kisahnya:
Sebagaimana diketahui bahwa dinar itu diimport dari Romawi, lalu Romawi mengimpor kertas dari negeri khilafah Umawiyah. Waktu itu yang jadi khalifah adalah Abdul Malik bin Marwan. Maka tiap mau kirim kertas Abdul Malik menyelipkan dakwah berupa ayat Al-Qur`an surah An-Nisa` ayat 118 di kertas notanya. Lalu raja romawi minta dibacakan apa maksud tulisan itu, maka penasehatnya mengatakan itu artinya menghina tuhan kita. Maka Raja Romawi pun marah lalu menulis balasan kepada Abdul Malik bin Marwan: “Kalau kau tulis ini lagi maka aku akan menulis balas menghina nabimu.”
Ancaman itu membuat Abdul Malik mulai ngeper, sampai akhirnya datang Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah menyemangatinya dan memberi saran; kita hentikan import dinar dari mereka dan cetaklah dinar sendiri lalu jangan lagi ekspor kertas ke mereka. Mereka pasti butuh dan minta kepada kita. Kalau mereka minta maka harus ikut aturan kita. Abdul Malik pun melakukan saran itu dan jadilah dia pemimpin Islam pertama yang mencetak dinar.
Dari sini kita lihat bahwa pemerintahan khalifah Islamiyyah berusaha untuk mandiri dalam hal produksi dan industri untuk mencukupi kebutuhan sendiri agar tak tergantung kepada negara kafir. Lalu bertekad akan boikot ekspor kertas bila pemerintah Romawi menghina Rasulullah ﷺ.
Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri buat umat Islam yang bersemangat menegakkan agamanya. Kita melihat umat ini memiliki banyak pejuang keras tapi belum tentu cerdas. Seruan boikot menggema, tapi tak banyak yang bisa menyediakan produk penggantinya. Ingat: “Boikot tidak akan berjalan mulus tanpa usaha mendirikan kemandirian ekonomi umat!”
Banyak produk yang sangat vital untuk mendukung jihad dan penegakkan agama Allah, ironisnya kaum muslimin malah bergantung pada produk orang kafir, seperti senjata perang, kendaraan tempur dan lain sebagainya. Apakah tidak ada kaum muslimin yang mampu membuatnya? Dipastikan banyak yang mampu, persoalannya siapa yang mau mengatur? Ini adalah peran negara, selama rezim penguasanya bukan syariat oriented dan dijangkiti penyakit wahn (cinta dunia dan takut jihad) maka tak akan ada yang mau ambil risiko bersaing dengan barat membuat senjata.
Baca juga: Reformasi Rantai Suplai Pertanian di Era Umar bin Abdul Aziz
Sektor teknologi dan informasi juga demikian. Produk computer dan perangkatnya masih bergantung pada produk Barat bahkan produk pendukung Zionisme. Bukannya tak mampu membuat, tapi produk semacam ini bukan sekedar dibuat, tapi di-menej dengan benar agar bisa bersaing di pasaran. Lalu mengapa umat Islam tidak berusaha memenejnya?
Kritik internal kita adalah bahwa kita belum menyusun strategi kongkrit jangka panjang dan lebih suka terpaku pada nostalgia atau utopia, atau letupan semangat sesaat yang cepat redup diterpa masa. Kalau kita berkaca pada musuh, maka kita akan lihat bagaimana gerakan Zionisme begitu tersusun rapi dengan perencanaan yang matang sehingga Yahudi yang hanya sekian puluh juta orang bisa menguasai dan mengendalikan perekonomian dunia.
Selain itu, sebagai pemula kalau kita terjun ke dunia manufaktur tentu sudah ketinggalan jauh dengan yang sudah ada sebelum kita lahir. Mereka telah menguasai jaringan pemasaran, tapi yang paling penting dari itu semua adalah quality control (QC) terhadap produk. Banyak produk muslim saat ini yang berusaha launching ternyata kalah kualitas. Atau kalaupun di awal kualitasnya bagus sering kali berubah menurun karena lemahnya sistem kualitas kontrolnya.
Tapi jangan menyerah, inilah jihad. Tak ada jihad yang mudah dan santai. Kalau semua ini kita niatkan atas dasar jihad di jalan Allah maka ingatlah bahwa:
“…. sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang mukmin.” – QS. Ali Imran ayat:171
Meski demikian, tetaplah harus disusun langkah strategis dalam membangun kemandirian ekonomi umat ini. Beberapa langkah yang harus diperhatikan adalah:
Pertama, membangun kesadaran dengan meluruskan niat bahwa usaha ini adalah jihad fii sabilillah. Sehingga muatan ideologi harus ada pada setiap individu pelaksananya dari tingkat pimpinan sampai yang paling bawah.
Kedua, penyatuan visi dengan musyawarah strategis, menyatukan langkah sinergis agar tidak berbenturan dengan usaha lain yang membuat gerakan menghadapi masalah yang tidak perlu, atau konflik internal.
Ketiga, membangun Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem manajerial yang profesional. Tidak boleh bersandar hanya pada slogan ekonomi umat, tapi kualitas tidak dijaga, pelayanan buruk, distribusi tidak lancar. Ini yang banyak terjadi di beberapa jenis usaha milik kaum muslimin sehingga kalah bersaing dengan produk kafir atau yang memberikan keuntungan kepada musuh Islam.
Analisa SWOT dan SMART harus ketat diterapkan pada semua lini, begitu pula manajemen risiko harus benar-benar diperhatikan sehingga gerakan ini mampu mengambil langkah yang efektif dan efisien bila menemui hambatan dan tantangan.