Seruan Takbir Bung Tomo Bakar Semangat Pertempuran 10 November 1945
Sabtu, 18 Agustus 1945. Sehari setelah dikumandangkan, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disiarkan ke kota-kota di Indonesia, antara lain melalui siaran radio. Semangat menyambut kemerdekaan pun bergelora di hati dan jiwa seluruh rakyat Indonesia, terutama para pemuda. Aksi-aksi perlawanan terhadap sisa-sisa kekuasaan Jepang yang masih tersisa pun muncul di sana-sini. Misalnya di Bandung, Semarang, dan Surabaya. Perlawanan yang lalu dibalas dengan keras oleh para tentara Jepang itu pun lantas berkembang menjadi perang terbuka di banyak tempat.
Pada 31 Agustus 1945, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat tentang pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih secara terus menerus di seluruh wilayah Indonesia. Rakyat di kota-kota di Indonesia, termasuk Surabaya, mengikuti maklumat itu. Hampir seluruh kantor dan gedung di Surabaya ketika itu didatangi arek-arek (bahasa Jawa Timur, bermakna anak-anak muda yang berasal atau lahir di tempat itu) Suroboyo yang lantas mengibarkan bendera merah putih.
Namun, pada 18 September 1945, pasukan Inggris dan Sekutu yang memboncengi Belanda dari Allief Forces Netherlands East Indies (AFNEI) masuk ke Surabaya. Sekutu datang karena Jepang tunduk pada ketentuan sekutu sebagai konsekuensi kekalahan Jepang dalam perang. Waktu itu, Belanda masuk lewat Netherland Indies Civil Administration (NICA). Setidaknya, kala itu dari pihak sekutu ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Inggris, Australia, dan Belanda lewat NICA. Indonesia tidak menerima kehadiran NICA karena dianggap sebagai representasi Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia.
Pasukan sekutu itu ditempatkan di Hotel Yamato (Hotel Oranje). Hotel Yamato (sekarang bernama Hotel Majapahit) saat itu dijadikan markas Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran. Esoknya, 19 September 1945, sekelompok orang Belanda dipimpin W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (merah, putih, biru) di tiang bendera di puncak atap Hotel Yamato yang berlokasi di Jalan Tunjungan 65, Surabaya, itu tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia di kota Surabaya.
Baca Juga : KH Raden Ma’mun Nawawi, Tokoh di Balik Pusat Pelatihan Hizbullah di Cibarusah
Waktu itu, Bung Tomo adalah seorang wartawan dari Kantor Berita Antara. Ia yang saat itu menjadi Pemimpin Redaksi Antara di Jawa Timur datang meliput peristiwa itu bersama fotografer Abdul Wahab. Ketika memotret peristiwa itu, Abdul Wahab dipukul seorang pribumi pendukung Belanda dan nyaris dikeroyok. Hal itu mengundang kemarahan masyarakat yang berkumpul di sekitar Hotel Oranje yang semakin lama jumlahnya kian banyak.
Di Tengah situasi yang memanas, terdengar suara tembakan. Kericuhan segera terjadi karena rakyat semakin murka. Beberapa pemuda nekad merangsek masuk dan naik ke atap Hotel Oranje. Menuju tiang bendera di atap hotel. Tiba-tiba sudah ada tangga yang disandarkan dan mereka naik ke bendera. Seorang di antara mereka berhasil merobek kain warna biru di bendera tersebut, menyisakan warna merah putih. Lalu perlahan-lahan bendera Sang Merah Putih itu pun dinaikkan ke puncak tiang. Orang-orang Belanda melarikan diri. Ploegman sendiri tewas dalam insiden tersebut.
Lalu Bung Tomo naik ke atas hotel. Ia mengajak arek-arek menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Usai bernyanyi, mereka bubar meninggalkan Jalan Tunjungan.
Membangun Radio Rakyat
Di Jakarta, para pemimpin Indonesia mencoba membuat kesepahaman dengan sekutu, dan berharap, jalinan perjanjian itu setidaknya menjadi langkah awal pengakuan sekutu terhadap kedaulatan Indonesia. Masalah terjadi karena militer Belanda di daerah-daerah sering memprovokasi rakyat dan bertindak arogan. Bung Tomo sering menyaksikan sendiri arogansi dan provokasi serdadu yang berpakaian seperti Gurkha dan berkulit hitam yang dilindungi serdadu Inggris. Bahkan serdadu Inggris juga kerap terlibat melecehkan perempuan-perempuan Indonesia.
Awal Oktober 1945, Bung Tomo bertemu para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta. Kepada Presiden Soekarno, Bung Tomo menyatakan, rakyat di Surabaya dan Jakarta siap melawan. Mereka hanya butuh komando para pempimpin Indonesia. Konon Soekarno menjawab, “Adik, saya harap adik jangan hanya mengukur kekuatan kita dengan keadaan di Jawa Timur. Cobalah Adik lihat juga daerah lainnya. Banyak pasukan Nippon yang belum juga menyerahkan senjatanya kepada kita. Dari itu, sebaiknya kita sekarang berusaha dulu merebut senjata tantara Nippon di seluruh Indonesia.”
Bung Tomo dapat menerima jawaban Presiden Soekarno. Tetapi, ia usul untuk mengudarakan siaran radio agar semangat rakyat dapat dipelihara, sekaligus memperingatkan rakyat untuk tetap waspada dan bersiap-siap. Usul Bung Tomo diterima. Ia diizinkan membuat siaran radio. Pada 12 Oktober 1945 di Surabaya, Bung Tomo memulai siaran yang dikenal sebagai “Radio Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia”. Radio yang dibuat dengan alat seadanya itulah yang kemudian menyiarkan pidato-pidato Bung Tomo setiap malam. Pidato-pidato Bung Tomo itu kelak dikenal sebagai pidato legendaris yang membakar semangat perlawanan Arek-arek Suroboyo dalam pertempuran heroik 10 November 1945.
Baca Juga : Jenderal Soedirman, Bapak TNI dan Konseptor Perang Gerilya
Sejak “Radio Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia” menyiarkan pidato-pidatonya, rakyat mengenal Bung Tomo kendati tak banyak yang pernah melihat wajahnya waktu itu. Banyak tokoh pun tergerak mendengar suaranya di radio. Termasuk tokoh-tokoh Islam.
Suatu kali, Bung Tomo bertemu langsung dengan Rois Akbar Nadhlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, untuk mendapatkan nasihat. Kala itu, KH Hasyim Asy’ari baru saja menggelorakan semangat pertempuran di kalangan santri dan kiai dengan mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Hanya 18 hari sebelum pecah perang heroik 10 November 1945. Fatwa jihad itu adalah sebuah rumusan dari KH Hasyim Asy’ari yang berjudul “Toentoetan Nadhlatoel Oelama kepada Pemerintah Republik soepaja Mengambil Tindakan jang Sepadan”. Isinya antara lain memohon agar pemerintah Republik Indonesia memerintahkan untuk melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan agama Islam.
Resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari itu juga membangkitkan semangat jihad umat Islam untuk melawan Pasukan Sekutu. Bung Tomo sendiri pernah memberikan wejangan di rumah KH Yasin di Blauran, Surabaya, yang waktu itu dikenal sebagai Markas Kiai Blauran. Tempat itu menjadi markas bagi para pejuang, santri, dan kiai yang datang ke Surabaya untuk berjihad.
Seiring dengan seruan Resolusi Jihad itu, siaran Bung Tomo setiap malam dari tanggal 1 sampai 9 November 1945 lewat Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia kian membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan. Bung Tomo sendiri telah mendapatkan wewenang dari KH Hasyim Asy’ari untuk bertugas membakar semangat para santri dan pemuda lewat pidato-pidatonya di radio.
Takbir dalam Pidato Bung Tomo
“Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar orang yang ingin Merdeka! Dan untuk kita, saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI. Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh di tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, saudara-saudara! Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar…! Allahu Akbar…! Allahu Akbar! MERDEKA!” demikian antara lain petikan pidato Bung Tomo yang disiarkan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia menjelang pertempuran 10 November 1945, seperti banyak ditayangkan di channel youtube.
Pekik Takbir dalam pidato Bung Tomo yang terkenal itu tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran para ulama ketika itu. Perpaduan hubungan pemuda revolusioner semacam Bung Tomo dengan para ulama menghasilkan pekik Takbir yang membakar semangat jihad fi sabilillah di Surabaya dan wilayah lain. Seruan takbir Bung Tomo itu mengagungkan asma Allah SWT seraya memohon kekuatan dari Allah SWT, dan di saat bersamaan juga menyemangati rakyat untuk melawan kezaliman penjajah saat itu.
Baca Juga : KH Noer Ali, Ulama dan Pahlawan dari Betawi
Puncaknya adalah peristiwa Pertempuran Heroik di Surabaya pada 10 November 1945. Ketika itu, Inggris memasang target akan mengiasai Surabaya dalam 3 hari. Namun, para pejuang tak berhenti berjuang, sehingga Inggris baru bisa memukul mundur para pejuang keluar dari Surabaya setelah 21 hari pertempuran. Awal Desember, pertempuran di Surabaya dinyatakan selesai.
Kini, Soetomo atau Bung Tomo kita kenal dan kenang sebagai pahlawan yang besar perannya dalam membangkitkan semangat rakyat melawan tentara Belanda penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia melalui NICA. Hingga kini, tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Menjadi Tokoh Kritis
Soetomo atau Bung Tomo lahir di Kampung Blauran, Surabaya, 3 Oktober 1920. Ayahnya, Kartawan Tjiptowidjojo, adalah priyayi golongan menengah yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah, staf perusahaan swasta, asisten di kantor pajak pemerintah, hingga pegawai perusahan ekspor-impor Belanda. Konon, Kartawan punya pertalian darah dengan beberapa pengikut dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Subastita, berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura, yang pernah menjadi anggota Sarekat Islam. Soetomo atau Bung Tomo adalah anak sulung dari enam bersaudara yang dibesarkan di tengah keluarga kelas menengah yang sangat menghargai pendidikan.
Bung Tomo dikenal sebagai pria berkepribadian ulet, pekerja keras, dan punya daya juang sangat tinggi. Ketika muda, Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan, selain juga bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Tetapi aktivitas yang lantas membuat namanya dikenal luas adalah menjadi wartawan dan pendiri serta pemimpin Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Radio itu menjadi representasi perjuangan mati-matian Bung Tomo untuk mempertahankan Surabaya dari cengkeraman Sekutu yang diboncengi Belanda lewat NICA.
Pengaruh Bung Tomo sangat kuat di kalangan pemuda dan para pejuang, sehingga mampu membakar semangat pejuang untuk melawan habis-habisan pasukan sekutu. Padahal, dalam pertempuran yang dipicu tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan para pejuang itu, sesungguhnya kekuatan Pejuang dan Arek-arek Suroboyo tidak seimbang dengan kekuatan pasukan sekutu. Maka, Pertempuran Heroik 10 November 1945 itu tercatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia. Hingga kini, bangsa Indonesia pun mengenang Bung Tomo karena jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu.
Pada 19 Juni 1947, Soetomo menikah dengan Soelistina, seorang mantan perawat di Palang Merah Indonesia (PMI). Mereka dikaruniai empat anak. Di tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Tahun 1955-1956, ia sempat menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim di Kabinet Burhanuddin Harahap.
Keteguhan sikap Bung Tomo kembali terlihat ketika tahun 1970-an ia menjadi tokoh kritis terhadap pemerintah Orde Baru dan banyak mengritik kebijakan Presiden Soeharto yang ia anggap mulai melenceng. Akibat sikap kritisnya, pada 11 April 1978 Bung Tomo ditangkap dan dipenjara rezim Orde Baru. Setahun kemudian ia dibebaskan dari tahanan. Sejak itu, Bung Tomo tak banyak aktif dalam kehidupan politik. Ia lantas dikenal sebagai muslim yang taat beribadah.
Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo wafat di kala melaksanakan wukuf di Arafah ketika menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel di Surabaya. Tahun 2007, Soetomo atau Bung Tomo diangkat sebagai Pahlawan Nasional.