Shohib An-Naqb
Panglima Besar Maslamah menghadapi suatu masalah besar dalam sebuah operasi militer, karena daerah musuh yang akan ditaklukan terbentang luas dan benteng kokoh berdiri tegak, seakan tak bisa ditembus kekuatan tentaranya.
Maslamah berpikir keras, strategi apa yang harus dilakukan. Pertempuran dengan mengarahkan tentara ke dekat benteng tentu akan memakan banyak korban, karena benteng demikian tinggi dengan penjagaan yang ketat.
Anak panah dengan mudah dimuntahkan ke bawah, jika para Mujahidin berada di bawahnya. Maslamah sadar bahwa meskipun setiap mereka menginginkan syahid di medan laga, ia harus memperkecil kemungkinan banyaknya tentara yang gugur. mengingat jumlah pasukan sangat minim dibanding musuh.
Tiba-tiba ia menemukan jalan keluar. Dilihatnya sebuah lorong dalam benteng kurang terjaga kuat. Jika lorong tersebut dapat ditembus dan membuka pintunya pastilah para Mujahidin akan dengan mudah melakukan penyerangan ke dalam benteng.
Masalahnya, pekerjaan itu tak dapat dilakukan dengan melibatkan banyak pasukan. Pergerakan sejumlah besar pasukan justru akan menarik perhatian dan menimbulkan kepanikan, strategi akan terbaca, musuh dipastikan akan mengerahkan kekuatan ekstra untuk mempertahankan pintu lorong tersebut mati-matian.
Pilihannya harus dilakukan oleh seseorang yang kuat dan pemberani, dapat menyelinap dan menaklukan para penjaga tanpa membuat kehebohan.
Di perkemahan pertahanannya, Maslamah pun mengumpulkan para Mujahidin. Diceritakanlah taktik yang tengah dipikirkannya, kemudian ia bertanya: "Siapakah yang berani merelakan dirinya untuk mengemban tugas ini?" Tak ada jawaban, para Mujahidin saling berpandangan seakan-akan mereka tak dapat membayangkan bahwa tugas itu dapat diselesaikan oleh seorang saja. Maslamah mengulang kembali pertanyaannya. Tetap tak ada jawaban. "ini suatu pekerjaan yang mustahil," pikir mereka.
Melihat kenyataan ini, Maslamah tercenung. Apakah strategi ini harus diubahnya? Tak adakah seorang prajurit pun, rela berkorban demi terbukanya peluang ini? Hampir putus asa, tiba-tiba datanglah seorang mendekati beliau, dari atas pelana kudanya orang itu pun berseru: "saya yang akan mengerjakan tugas itu, wahai Maslamah!"
Maslamah terkejut. Dipandangnya orang yang tiba-tiba saja berada di hadapannya. Berbadan tegap, di pinggangnya terselip pedang, sorot matanya menampakkan kejantanan. Tetapi, ya Allah! ia menyembunyikan wajahnya dibalik kain penutup kepala. Hanya mata dan pangkal hidungnya saja yang tampak. Doa maslamah mengiringi kepergian orang itu. "Mudah-mudahan Allah menolongnya," bisiknya.
Tak lama kemudian tampaklah orang itu memberi isyarat. Ia telah menaklukkan para penjaga dengan mudah dan berhasil menguasai pintu masuk. Maka menyerbu lah pasukan Mujahidin masuk ke Benteng.
Pertempuran dahsyat terjadi. Pekik takbir dan dentingan pedang-pedang bersahutan silih berganti. Allah Subhanahu Wa Ta'ala melimpahkan karunianya dengan kemenangan yang dicapai pasukan muslim.
Seusai pertempuran Maslamah berteriak: "Wahai Shohib Annaqb (si penguasa pintu) siapakah engkau sebenarnya? Marilah kemari, kenalkan dirimu!" Tak ada seorang pun menyahut, mengaku sebagai Shohib Annaqb. Para mujahidin hanya bisa saling berpandangan. Diam-diam mereka juga penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya manusia yang gagah perkasa itu.
Selang beberapa lama datanglah seseorang ke kediaman Maslamah. Orang itu berkata: "Jika Tuan ingin mengetahui siapakah sebenarnya Shohib Annaqb, saya dapat memberitahu. "Tapi sebelum saya memberitahu siapa Shohib Annaqb, Tuan harus memenuhi tiga syarat," kata orang itu lagi.
Maslamah penasaran. Dengan segera ia menyetujui persyaratan yang akan diajukan, "silahkan Sebutkan" katanya.
Orang itu berkata: Pertama tuan jangan bertanya siapa nama Shohib Annaqb, kedua Jangan memberi hadiah apapun kepadanya, ketiga jangan ceritakan peristiwa ini kepada Amirul Mu'minin!"
"Baik!" jawab maslamah. "katakan Siapakah Shohib Annaqb?"
"Sayalah Shohib Annaqb! "kata orang tersebut.
Setelah kejadian itu, panglima perang Maslamah mengangkat tangan dan berdoa: "Ya Allah! kumpulkanlah aku di surga bersama Shohib Annaqb!"
Seorang yang ikhlas akan mengutamakan kerja daripada bicara. Kerja yang dihasilkannya pun bukan untuk dibacakan atau disebarluaskan dan dibanggakan. Allah berfirman:
Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman. – QS. An-Nisa:146
Keikhlasan adalah puncak dari pengamalan Islam. Seseorang yang telah hijrah dari kejahilan dengan bertobat, kemudian ia mengerjakan amal-amal Islam dan konsisten dalam keislamannya. Tetapi semua itu jika dilandasi rasa tidak ikhlas maka hapuslah amalannya.
Seorang da'i akan celaka jika rasa riya' telah menyelinap ke dalam dadanya. Demikian pula jika penyakit tersebut terkena kepada jundullah dan lainnya, dalam sebuah amal jama'i, maka kecelakaan dapat meluas kepada jamaah. Seorang atau sekelompok orang dapat merasa riya' atas kegagahannya dalam medan pertempuran, kejeliannya mengatur strategi perang, kemahiran berkhotbah dan memberi pengarahan. Allah berfirman:
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (ria) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yang mereka kerjakan – QS. Al-Anfal:47
Allah juga telah memberi pelajaran tentang risiko tidak ikhlas dalam berjuang di jalannya dalam surat at-taubah ayat 25.
Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. – QS. At-Taubah:25
Ayyuhal Ikhwah, betapa pun maju dan berkembangnya gerak da'wah yang diemban, tetaplah kita jaga kebersihan hati ini. Ingatlah gerak langkah Shohib Annaqb!
Disadur dari majalah Sabili Edisi No.27/II 27 Dzulhijjah 1410H/20 Juli 1990H