Siapa yang Radikal dan Intoleran?
Dalam dua pekan ini Banser GP Ansor, ormas dibawah Nahdhatul Ulama, sedang jadi pusat pemberitaan. Yang paling heboh adalah kasus penganiayaan sadis Mario Dandy terhadap David Ozora, sehingga membuat remaja 15 tahun itu koma. Kasus tersebut menjadi isu besar, bukan saja karena sadisme luar biasa tindak penganiayaan itu, tapi juga karena orang tua pelaku dan korban. Mario (20) ternyata anak Rafael Alun, ASN pajak eselon III yang kekayaannya membuat publik terhenyak. LHKPNnya di tahun 2021 sebesar 56,1 M, tidak termasuk moge Harley Davidson dan Rubicon serta sejumlah aset lain yang diatasnamakan orang lain. Sedangkan Jonathan Latumahina, ayah David, salah seorang pentolan Banser GP Ansor, ormas pemuda underbow Nahdhatul Ulama (NU) yang namanya tengah berkibar.
Tak heran kalau kasus penganiayaan David jadi isu besar. Deretan petinggi negara, elite partai dan tokoh masyarakat bergantian menjenguk David yang sampai kini masih dirawat di Rumah Sakit. Pada saat yang sama kegeraman publik terhadap Mario dan AG, wanita yang memicu tindak sadisme itu, juga tak tertahankan.
Di luar itu, menyeruak fakta menarik seputar sosok Jonathan. Cuitan nyinyirnya terhadap 6 anggota FPI yang tewas dibantai aparat di Km 50 dua tahun lalu berseliweran di Medsos. Narasinya sungguh jauh dari adab kemanusiaan. Boro-boro berduka atau bersimpati, ia malahan meledek para syuhada itu dengan kata-kata yang menyakitkan. Padahal peristiwa itu sangat menyayat hati nurani dan merobek-robek rasa keadilan. Boleh saja, Jonathan atau siapapun tak setuju dengan sikap dan aksi laskar FPI. Tapi satu hal yang pasti, hukum dan kemanusiaan harus dikedepankan, diatas pandangan politik.
Begitu juga komentarnya terhadap cuitan Prof. Dr. Musni Umar, rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, seputar banjir. Sangat kasar dan jauh dari adab. Tidak pantas keluar dari manusia yang bernaung di ormas berlabel Islam. Islam sangat menekankan pentingnya adab dan akhlak dalam menyatakan sesuatu. Nabi SAW bersabda "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik, atau diam". Seorang sastrawan Mesir Syauqi Bey mengatakan "Sesungguhnya eksistensi suatu bangsa itu karena akhlaknya. Jika akhlak itu hilang, maka bubarlah bangsa itu".
Kita tidak tahu pasti, apakah ucapan dan sikap Jonathan sudah bawaan dari "sono"nya atau lebih karena perasaan jumawa lantaran dirinya pentolan Banser. Jika melihat ia lama tinggal di Magelang dan pembicaraan atau chatnya dengan David kerap dengan bahasa Jawa, mestinya Jonathan halus dan sopan.
Dalam ilmu sosiologi, perasaan in group memang bisa membuat seseorang berperilaku berbeda dengan warna aslinya. Ambil contoh anak-anak geng motor. Orang Tua dan tetangga mengenal mereka sebagai remaja biasa, layaknya yang lain. Bahkan sebagiannya dikenal kalem dan hangat. Namun, ketika berkumpul bersama sesama anggota geng, anak-anak yang masih labil itu berubah jadi beringas dan tak sungkan berbuat anarkis. Boleh jadi hal serupa juga terjadi pada Jonathan. Twitan-nya yang kasar dan tak beradab bukan cermin dirinya sebagai Me, tapi aktualisasi dirinya menjadi I am.
Posisi GP Ansor, dimana Banser menjadi kekuatan intinya, saat ini memang sangat dekat dengan kekuasaan. Yaqut C Qaumas, sang Ketua Umum menjabat Menteri Agama. Sementara kakaknya, Yahya C Tsaquf, adalah anggota Wantimpres yang sejak setahun lalu menahkodai NU. Bahkan Wapres Ma'ruf Amien adalah Rais Aam NU, saat dilantik sebagai Wakil Presiden tahun 2019.
Merasa dekat dengan kekuasaan, membuat Banser jumawa dan kerap bertindak lebih dari polisi. Misalnya melarang dan membubarkan kegiatan pengajian atau pertemuan publik yang dituding radikal dan intoleran. Terbaru Banser membubarkan pengajian ust. Hanan Attaki di Sumenep Madura, dengan tudingan sang ustadz terafiliasi HTI dan mengusung konsep khilafah. Padahal publik mengenal ustadz muda berdarah Aceh yang digandrungi kaum milenial itu sebagai da'i yang santun, intelek dan mengajak anak muda kembali ke Islam. Lantunan Al Qur'an nya yang merdu dan fokus da'wahnya mengajak kaum milenial bangga dan kembali dengan cara hidup Islam disertai bahasa yang santun, menjadi daya tarik ustadz lulusan Universitas Al Azhar itu. Sama sekali tidak nampak da'wah berbau provokatif.
Seandainya ada yang menyimpang, tentu sudah lama aparat kepolisian di Bandung membubarkan pengajiannya. Faktanya tidak. Jika pun Banser di Sumenep tidak berkenan, seperti dinyatakan Ketua MUI K.H. Cholil Nafis, seharusnya mereka menyampaikannya ke aparat kepolisian. Polisi lah yang oleh undang-undang diberikan hak diskresi melakukan tindakan tertentu yang dianggap perlu, dengan tetap menjamin hak-hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat. Begitu tata cara yang benar berbangsa dan bernegara yang benar di negara hukum dan demokrasi.
Jika setiap ormas atau kelompok masyarakat karena merasa besar dan kuat di suatu wilayah, bertindak sebagai polisi, akan menyuburkan tindak anarkis dan intoleran. Pada gilirannya hal itu akan memicu dan memacu disintegrasi dan mengancam stabilitas nasional. Sebagai catatan, tindakan Banser itu bukan yang pertama. Sebelumnya hal serupa terjadi pada Ust. Felix Siaw. Bahkan menimpa Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang berasal dari rumpun yang sama dengan Banser, yakni NU. Seperti halnya Hanan, UAS dan Felix pun sampai saat ini terus berda'wah. UAS bahkan kerap diundang di instansi pemerintah, di daerah maupun di pusat. Jadi sebenarnya siapa yang sesungguhnya radikal dan intoleran?
Sudah saatnya Banser kembali kepada jatidirinya sebagai pilar umat Islam. Tentu kita tidak lupa peran besar tokoh GP Ansor, K.H. Subhan Zaenal Ehsan (Subhan Z.E) mendirikan dan mengomando Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP Gestapu) sesaat usai gagalnya kudeta PKI tahun 1965. Bersama KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang dipelopori PII (Pelajar Islam Indonesia) dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang diinisiasi HMI, KAP Gestapu berdiri di garda terdepan melawan PKI. Ketiganya bahu-membahu melawan PKI dan antek-anteknya, karena didorong kesadaran bersama menjaga dan memelihara NKRI yang terancam kaum atheis.