Next Policy: Jatuhnya Kelas Menengah Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serius dengan semakin rapuhnya kelas menengah, yang selama ini dianggap sebagai pilar utama perekonomian nasional. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah terus menyusut secara signifikan, menempatkan masa depan ekonomi Indonesia dalam kondisi rentan.
Menurut Yusuf Wibisono, Direktur Lembaga Kajian Next Policy, kelas menengah yang kuat sangat penting untuk mendorong Indonesia mencapai status negara berpendapatan tinggi.
"Pengalaman negara-negara yang lolos dari jebakan pendapatan menengah menunjukkan bahwa kelas menengah yang besar dan kuat adalah fondasi terpenting menuju negara maju. Namun dalam 5 tahun terakhir, kelas menengah Indonesia justru semakin rapuh dan mengecil," ujar Yusuf dalam siaran tertulisnya, Senin (14/10/2024).
Data terbaru menunjukkan bahwa pada Maret 2023, jumlah kelas menengah Indonesia hanya mencapai 52,1 juta orang, menyusut dari 60,8 juta orang pada 2018. Ini mencerminkan penurunan signifikan sebesar 8,7 juta orang dalam periode lima tahun.
Penurunan ini juga berdampak pada pengurangan kontribusi kelas menengah terhadap konsumsi domestik, di mana pangsa konsumsi mereka turun dari 45,6 persen pada 2018 menjadi hanya 40,3 persen pada 2023.
"Kelas menengah adalah mesin pertumbuhan ekonomi, dengan daya beli yang kuat dan peran penting dalam mendorong konsumsi. Jika kelas menengah terus menurun, ini akan berdampak negatif pada perekonomian kita secara keseluruhan," kata Yusuf.
Salah satu penyebab utama penurunan kelas menengah adalah menurunnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Kejatuhan kelas menengah ke kelas ekonomi yang lebih rendah, banyak terkait dengan semakin turunnya peran sektor formal sebagai sumber penghidupan penduduk kelas menengah.
"Kelas menengah memiliki ketergantungan yang tinggi pada sektor formal, terutama perusahaan besar dan menengah, sebagai penyedia lapangan kerja dengan tingkat penghasilan yang tinggi," tutur Yusuf.
Pada Maret 2018, sebanyak 16,8 juta orang atau 55,8 persen dari pekerja kelas menengah memiliki status pekerjaan sebagai karyawan / pegawai / buruh. Pada Maret 2023, angka ini anjlok menjadi 13,8 juta orang atau 52,8 persen.
Seiring kejatuhan peran sektor formal dalam menyediakan lapangan kerja ini, penduduk kelas menengah mengalami keruntuhan. Penduduk kelas menengah usia 18 – 64 tahun turun dari 30,2 juta orang pada Maret 2018 menjadi 26,1 juta orang pada Maret 2023.
Pandemi juga mempercepat pergeseran ini. Banyak pekerja kelas menengah dipaksa untuk menerima pekerjaan dengan penghasilan yang lebih rendah, atau bahkan beralih ke sektor informal, yang mengakibatkan penurunan daya beli dan konsumsi.
Dalam lima tahun terakhir, dinamika mobilitas ekonomi masyarakat Indonesia menunjukkan dua pola utama. Pertama, adalah pola kebangkitan ekonomi yang didominasi oleh penduduk miskin. Yusuf menjelaskan bahwa antara 2018 dan 2023, jumlah penduduk miskin turun sebesar 1,9 juta jiwa.
"Tanpa adanya mobilitas ekonomi, jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 seharusnya mencapai 22,4 juta jiwa. Namun, berkat mobilitas ekonomi, jumlah aktual penduduk miskin tercatat hanya 19,5 juta jiwa. Sekitar 2,9 juta penduduk miskin naik kelas menjadi rentan miskin selama periode ini," ujar Yusuf.
Pola kedua adalah pola kejatuhan ekonomi, yang didominasi oleh kelas menengah. Yusuf menyebutkan bahwa seharusnya pada Maret 2023, jumlah kelas menengah mencapai 63,7 juta jiwa jika tidak ada mobilitas ke bawah. Namun kenyataannya, hanya tersisa 52,1 juta jiwa.
"Kami memperkirakan bahwa 11,6 juta penduduk kelas menengah telah jatuh ke status calon kelas menengah sepanjang 2018 hingga 2023, menunjukkan tren penurunan yang sangat mengkhawatirkan," tambahnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Yusuf menekankan bahwa pemberian bantuan sosial (bansos) bukan solusi jangka panjang. Menjadi krusial bagi pemerintah untuk secepatnya melindungi industri manufaktur dari kejatuhan dan mendorong pengembangan industri yang akan menciptakan lapangan kerja secara luas seperti industri padat karya, industri kreatif hingga pariwisata.
“Reindustrialisasi menjadi kunci, bukan hilirisasi. Hilirisasi tambang adalah industri padat kapital yang terbukti minim menyerap angkatan kerja. Kontribusi hilirisasi dalam menyediakan lapangan kerja yang berkualitas bagi kelas menengah adalah terbatas,” tutup Yusuf.