Sikap DPR dan Pemerintah terhadap Putusan MK Timbulkan Kegentingan
Selasa (20/8/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan keputusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah prasyarat pengusungan Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah di Pilkada dengan menyesuaikan persentase persyaratan seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan di Pilkada. Putusan itu sontak membuat situasi politik dalam dua hari terakhir menjadi penuh dinamika.
Khusus di Pilkada Jakarta, munculnya putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 itu memunculkan harapan bagi sejumlah pihak agar PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bisa mencalonkan Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur sendiri. Banyak yang berharap, PDIP bisa mengusung Anies Baswedan, yang berdasarkan survei selama ini punya elektabilitas tertinggi di Jakarta. Sedangkan jika memakai aturan lama, mereka masih kurang enam kursi DPRD untuk bisa mengajukan Paslon. Kabar pun segera berembus, bahwa mayoritas pengurus DPP PDIP sudah sepakat untuk mendukung Anies di Pilkada Jakarta, tinggal tunggu persetujuan dan restu Ketua Umum-nya, Megawati Soekarnoputri.
Beberapa jam sebelumnya, partai-partai politik yang tergabung dalam KIM Plus (Koalisi Indonesia Maju Plus) resmi mengusung pasangan Ridwan Kamil (RK) dan Suswono untuk maju dalam Pilgub (Pemilihan Gubernur) Jakarta. KIM Plus adalah gabungan partai-partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) ditambah PKS, Partai NasDem, PPP, Perindo, dan PKB. Deklarasi dukungan KIM Plus terhadap pasangan RK-Suswono itu digelar di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Senin (19/8/2024) malam.
Di dalam putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024, disebutkan bahwa syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon cagub dan cawagub adalah memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah pemilih tetap di provinsi yang bersangkutan. Namun, DPR memutuskan bahwa aturan syarat pencalonan untuk partai-partai politik yang punya kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD, dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Di hari yang sama, Selasa (20/8/2024), MK juga menetapkan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa pemenuhan prasyarat usia calon kepala daerah adalah bermuara pada harus terpenuhinya syarat usia minimal calon di saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Bukan saat pelantikan (jika terpilih). Artinya, kalau ada pasangan calon yang usianya masih kurang dari 30 tahun saat penetapan pasangan calon oleh KPU, maka pencalonan dia tidak sah dan tidak bisa lanjut dalam proses pemilihan.
Tetapi, sikap berbeda ditunjukkan pemerintah dan DPR terhadap putusan MK tersebut. Rabu (21/8/2024) kemarin, terjadi perdebatan di Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada DPR. Salah satunya adalah tentang syarat batas usia Calon Kepala Daerah. Mereka ingin anak bungsu Presiden Joko Widodo dapat tetap diloloskan menjadi Calon Kepala Daerah, berdasarkan putusan MA, bukan putusan MK. Alasan mereka, MK tidak boleh menganulir putusan MA dengan menetapkan syarat batas usia 30 tahun pada saat pendaftaran, bukan 30 tahun ketika pelantikan.
Maka, seharian kemarin iklim demokrasi di Indonesia diwarnai pendapat yang mengatakan bahwa negara sedang dalam “situasi genting”. Bahkan, tersiar kabar DPR akan menyiapkan pembuatan undang-undang baru yang berstatus setara dengan putusan MK tersebut. Atau didahului dengan pemerintah yang akan membuat Perppu. Hal yang tentu segera memancing kegaduhan di tengah masyarakat. Setidaknya kegaduhan itu tecermin di tampilan isi media massa dan media sosial.
Sejumlah tokoh pro-demokrasi di Indonesia pun angkat suara. Mereka pun berencana akan turun ke jalan jika DPR tetap dengan sikapnya dan tidak mengindahkan putusan MK. Pesan-pesan di media sosial terkait perkembangan di DPR terkait putusan MK itu menjadi viral. Umumnya, mereka mengkhawatirkan situasi yang akan terjadi jika DPR dan pemerintah tetap memaksakan tidak menuruti keputusan MK sedangkan secara hukum putusan MK bersifat final and binding (memiliki kekuatan mengikat secara langsung).
Kegentingan yang kini tercipta membuat masyarakat semakin paham bahwa “demokrasi dengan mudah membunuh anaknya sendiri” hanya karena dorongan ego dan syahwat kekuasaan.