Sinergisme Negara-Negara OKI Versus Genosida Israel di Palestina: Cermin Sikap Bahrain, Indonesia, dan Mesir
Sejumlah negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Organization of Islamic Cooperation (OIC) telah berikhtiar keras untuk melawan tindakan penjajahan, agresi militer, teror, genosida, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat oleh rezim zionis Israel terhadap warga sipil Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Sikap Kerajaan Bahrain
Salah satu negara anggota OKI yang bersikap tegas terhadap tindak kejahatan luar biasa Israel terhadap Palestina ialah Kerajaan Bahrain. Pemerintah Bahrain telah secara resmi mengusir Duta Besar Israel untuk Kerajaan Bahrain (persona non grata) sejak Kamis, 2 November 2023. Kerajaan Bahrain juga menarik kembali Duta Besar mereka untuk Israel sejak saat itu.
“Posisi Kerajaan Bahrain sangat istimewa bagi Negara Israel karena telah menanda tangani Kesepakatan Abraham atau 'Abraham Accords' pada 15 September 2020 dengan Pemerintah Negara Israel dan Amerika Serikat (AS). Namun, hubungan diplomatik ini mengalami anti-klimaks pada 2 November 2023, dengan ditariknya Dubes Kerajaan Bahrain dari Tel Aviv, Israel, untuk berkonsultasi,” tutur Anggota Dewan Pakar OIC Youth Indonesia, Muhammad Ibrahim Hamdani.
Seperti dilansir dari Doha News, tercatat pada Kamis, 2 November 2023, Parlemen Bahrain mengumumkan bahwa Duta Besar Israel telah meninggalkan Manama, Bahrain. Sebaliknya, Duta Besar Bahrain pun telah kembali dari Tel Aviv, Israel, untuk konsultasi. Bahkan, Pemerintah Bahrain telah menghentikan hubungan ekonomi dengan Israel. Menurut Parlemen Kerajaan Bahrain, langkah-langkah itu merupakan bagian dari tindakan yang diambil untuk mendukung perjuangan Palestina dan hak-hak sah rakyat Palestina.
“Kami mengonfirmasi kepergian Duta Besar Israel ke negara tersebut, kembalinya Duta Besar Bahrain dari Israel, dan penghentian hubungan ekonomi,” tegas Parlemen Kerajaan Bahrain, Kamis, 2 November 2024.
Seperti dilansir dari Al-Arabiya, tercatat bahwa pada Kamis, 2 November 2023, Parlemen Kerajaan Bahrain telah mengecam operasi dan eskalasi militer Israel yang terus berlanjut di tengah kurangnya penghormatan terhadap hukum kemanusiaan internasional. Parlemen Kerajaan Bahrain juga menyerukan lebih banyak keputusan dan tindakan (dari pemerintah Bahrain) untuk melindungi kehidupan warga sipil di Jalur Gaza dan di seluruh wilayah Palestina.
“Kebijakan pemerintah Kerajaan Bahrain untuk menarik duta besarnya dari Israel, mengusir duta besar Israel dari Manama, serta menghentikan hubungan ekonomi dengan negeri zionis itu, jelas menjadi embrio dari lahirnya 'Resolusi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-15 OKI’ di Banjul, ibu kota Republik Gambia, khususnya pada poin pertama dan kedua Resolusi,” ujar Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga Peneliti 'Center for Strategic Policy Studies' (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) itu.
Baca juga: Wahdah Islamiyah Kecam Penjajahan dan Genosida Zionis Israel yang Berketerusan di Gaza
Resolusi KTT Ke-15 OKI
Tepatnya, lanjut Ibrahim Hamdani, pada poin-poin berikut ini:
Pertama, OKI menyerukan kepada negara-negara anggotanya untuk memberlakukan sanksi terhadap Israel, sang penjajah, serta menghentikan ekspor senjata dan amunisi yang digunakan militer “Negeri Zionis” itu untuk melakukan genosida di Jalur Gaza.
Kedua, OKI mendesak negara-negara anggotanya untuk melakukan tekanan diplomatis, politik, dan hukum, dalam upaya menghentikan kejahatan pendudukan Israel dan genosida yang dilakukan terhadap warga Palestina.
Lebih lanjut, Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga Wakil Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PD PAB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu pun sepakat dan mendukung penuh Resolusi KTT Ke-15 OKI di Banjul, Gambia, yang terkait dengan tindakan Penjajahan, Teror, Genosida, Pelanggaran HAM Berat, dan Agresi Militer rezim zionis Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina.
“Sebagai Wakil Sekretaris PD PAB MUI, saya sepakat dan mendukung penuh hasil Resolusi KTT Ke-15 OKI di Kota Banjul, Republik Gambia. Apalagi Palestina merupakan satu-satunya negara anggota OKI yang hingga kini belum menjadi negara merdeka seutuhnya akibat penjajahan rezim zionis Israel. Maka negara-negara OKI harus bersatu-padu dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina seutuhnya,” paparnya.
Sikap Republik Indonesia (RI)
Seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, tercatat bahwa pada Ahad, 5 Mei 2024, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Lestari Priansari Marsudi, mengajak segenap anggota OKI untuk terus bersatu membela keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina. “Dalam Arab Peace Initiative dan berbagai keputusan OKI, tercantum sikap bahwa perdamaian dengan Israel hanya akan dilakukan jika Israel menghentikan pendudukannya terhadap Palestina,” tuturnya.
Sikap ini, lanjut Menlu Retno Lestari, telah mengirim pesan yang sangat kuat bahwa tanpa kemerdekaan Palestina, maka tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel. “Saya ingatkan bahwa keputusan dan pesan tersebut sudah seharusnya dipertahankan secara konsisten,” tegas Menlu Retno.
Baca juga: Perdana Menteri Qatar: Negosiasi Gencatan Senjata di Gaza Mengalami Stagnasi
Menlu Retno Lestari pun mengajak segenap anggota OKI untuk segera mengaktifkan Islamic Financial Safety Net atau Jaring Pengaman Keuangan Syariah yang telah disepakati sebelumnya. “Tujuannya agar lembaga ini dapat membantu rakyat Palestina,” imbuhnya.
Menurut Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Rumah Produktif Indonesia (RPI) ini, sikap teguh, komitmen nasional bangsa Indonesia dan konsistensi perjuangan diplomatik Indonesia dalam membela, mendukung, dan mewujudkan kemerdekaan Palestina secara menyeluruh merupakan amanat konstitusi RI, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tepatnya, lanjut dia, dalam Alinea Pertama, Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945, yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
“Konsekuensi logisnya ialah Pemerintah RI tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel hingga terwujudnya kemerdekaan dan kedaulatan Negara Palestina secara menyeluruh serta dihentikannya seluruh tindakan genosida, pelanggaran HAM Berat, invasi dan agresi militer, teror, serta penjajahan oleh rezim zionis Israel terhadap Bangsa Palestina,” ungkap Direktur Bidang Media, Komunikasi dan Informasi Pimpinan Pusat (PP) Perhimpunan Remaja Masjid (PRIMA) Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu pula.
Sikap Republik Arab Mesir
Salah satu negara anggota OKI yang bersikap tegas dan keras terhadap kebiadaban rezim zionis Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina, ialah Republik Arab Mesir. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan resmi Menlu Republik Arab Mesir, Sameh Hassan Shoukry, pada Ahad, 12 Mei 2024.
Seperti dikutip dari kantor berita Anadolu Agency, tertulis bahwa pada Ahad, 12 Mei 2024, pemerintah Mesir akan bergabung dengan gugatan kejahatan genosida terhadap Israel, yang sebelumnya diajukan oleh Pemerintah Republik Afrika Selatan, melalui International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional. Khususnya atas masalah gempuran mematikan militer zionis Israel (Israel Defence Force / IDF) di Jalur Gaza, Palestina.
“Langkah tersebut (gugatan kejahatan genosida terhadap Israel) dilakukan mengingat tingkat keparahan serangan Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza dan penargetan sistematis terhadap warga sipil serta penghancuran infrastruktur di jalur Gaza,” ujar pernyataan resmi Kemenlu Mesir pada Ahad, 12 Mei 2024.
Tindakan itu (Genosida Israel di Jalur Gaza), lanjut Kemenlu Mesir, merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, hukum kemanusiaan, dan Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 mengenai perlindungan warga sipil selama masa perang.
Baca juga: Seminar Internasional tentang Al Aqsa di Universitas Islam As-Syafi’iyah Lahirkan Sebelas Rekomendasi
Lebih lanjut, Pemerintah Mesir pun meminta Israel, sebagai kekuatan pendudukan (Penjajah Negara Palestina), untuk mematuhi kewajibannya dan menerapkan tindakan sementara yang diminta oleh ICJ guna memastikan penyediaan bantuan kemanusiaan di Gaza.
Menurut Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama Institut Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute) itu, sikap pemerintah Republik Arab Mesir yang bersitegang dengan Israel menjadi sangat wajar dan memiliki argumen kuat dilihat dari sudut pandang keamanan nasional dan kedaulatan Mesir.
“Invasi dan agresi militer Israel ke Rafah di Jalur Gaza, Palestina, sejak Senin malam, 6 Mei 2024, yang berbatasan langsung dengan wilayah Semenanjung Sinai di wilayah Mesir, tentu menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional dan kedaulatan Mesir. Apalagi sejak Selasa, 7 Mei 2024, militer penjajah Israel telah merebut kendali di perbatasan sebelah selatan Rafah dengan Mesir. Bahkan Koridor Philadelphia atau Saladin Axis menjadi salah satu wilayah yang dirampas Israel dalam agresi militer ini,” tuturnya.
Koridor Philadelphia, ungkapnya, merupakan wilayah Mesir yang berbatasan darat langsung dengan Rafah, Palestina. Maka, aksi dan tindakan militer apa pun dari militer Israel terhadap 'Koridor Philadelphia' akan merusak dan mengancam kesepakatan perjanjian damai antara Israel dengan Mesir.
“Khususnya Perjanjian Camp David tahun 1978 antara Israel dengan Mesir, yang menjadi pondasi dasar dari perjanjian damai dan hubungan bilateral kedua negara,” imbuh alumnus Program Studi (Prodi) Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI), SKSG UI itu.
Menurut dia, invasi dan agresi militer sepihak Israel tehadap Koridor Philadelphia semakin memperburuk hubungan diplomatik kedua negara. Kondisi ini terbukti dengan respon militer Mesir yang mengerahkan pasukan tambahan ke wilayah Semenanjung Sinai pada Rabu malam, 15 Mei 2024.
Baca juga: Penjajah Israel Serang Tepi Barat dan Tangkapi Mahasiswa-Mahasiswa di Nablus
Seperti dilansir dari Middle East Eye, tercatat pada Rabu, 15 Mei 2024, malam, Pemerintah Mesir telah mengerahkan militer tambahan dan kendaraan pengangkut personel lapis baja ke perbatasan Mesir dengan Gaza di timur laut Sinai. Informasi ini disampaikan oleh Yayasan Hak Asasi Manusia (HAM) Sinai.
“Lima belas pengangkut personel lapis baja yang dilengkapi dengan peralatan tempur terlihat oleh penduduk Sheikh Zuweid di Sinai yang sedang melakukan perjalanan menuju perbatasan Mesir dengan Gaza pada Rabu malam, 15 Mei 2024,” ungkap Yayasan HAM Sinai.
Secara terpisah, lanjut Yayasan itu, konvoi kendaraan lapis baja lainnya (milik militer Mesir) telah tiba di desa Al-Joura, di sebelah selatan Sheikh Zuweid.
“Keretakan hubungan bilateral antara pemerintah Mesir dengan rezim zionis Israel pasca invasi militer IDF ke Rafah, Palestina, dapat berubah menjadi konfrontasi bersenjata. Saat ini saja, terdengar rencana pemerintah Mesir untuk menarik duta besar mereka dari Tel Aviv, Israel,” jelas Muhammad Ibrahim Hamdani yang juga salah seorang pengurus DPP Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) itu.
Jika ini terjadi, ungkapnya, maka Republik Arab Mesir akan menjadi negara keempat di Timur Tengah yang menarik duta besarnya dari Israel setelah Republik Turkiye, Kerajaan Hasyimiyah Yordania, dan Kerajaan Bahrain. Seperti dilansir dari Wall Street Journal, tercatat bahwa pada Selasa, 14 Mei 2024, seorang pejabat Mesir menyatakan bahwa pemerintah di Kairo mulai mempertimbangkan untuk menurunkan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, Israel. Penyebabnya, lanjut pejabat Mesir itu, sebelum invasi militer ke Rafah berlangsung, pemerintah Israel telah berjanji bahwa Pos Penyeberangan Rafah tidak akan terpengaruh selama berlangsungnya perang dengan Hamas.
Pihak zionis Israel pun, ujarnya, pernah menjamin bahwa warga Palestina akan diberikan waktu berminggu-mingu untuk mengungsi dengan aman dari Rafah. Namun, tidak ada jaminan (janji Israel) yang terwujud. “Tidak ada jaminan (janji Israel) yang terwujud, karena Israel memberi kami pemberitahuan singkat untuk memasuki penyeberangan (Rafah),” kata pejabat Mesir itu.
Dengan demikian, ucap Muhammad Ibrahim Hamdani, karakter rezim zionis Israel yang sering kali melanggar janji dan mengingkari komitmen politik dengan negara lain inilah yang menyebabkan keretakan hubungan diplomatik antara Mesir dengan Israel.