Cerita Dakwah Marginal (Bagian 1): "Tarawih Perdana di Atas Puing"

Ramadhan tiba. Setiap orang pasti punya cara masing-masing untuk menyambut datangnya sesuatu yang dianggap sebagai momentum. Biasanya, orang-orang akan menentukan pilihan untuk menyambut bulan yang penuh kemuliaan ini. Ada yang mulai memetakan kegiatannya dengan menghitung hari dan menentukan berapa Juz Al Qur’an yang akan dibaca dalam sehari. Dari sana, muncullah istilah One Day One Juz.

Ada juga yang masih bingung untuk menentukan di mana dan kapan buka bersama, bersama siapa, dengan apa, dan seterusnya. Sampai sedetail itu. Sebagian orang sudah sibuk menyiapkan hidangan untuk sahur, ifthar, dan sebagainya.

Saya memilih untuk mengawali Ramadhan kali ini dengan shalat tarawih berjamaah di Mushalla tanah kosong yang lokasinya bersebelahan dengan SMPN 74, Rawamangun.

Mungkin tak banyak yang menyangka, ternyata di tengah tanah kosong itu terdapat tempat ibadah. Uniknya, Mushala tersebut berdiri di atas tanah puing dan kayu bekas. Bangunannya terbuat dari potongan-potongan kayu berselimut tripleks, atapnya berbalutkan sisa-sisa asbes yang disusun rapih, lantainya beralaskan susunan kayu yang dilapisi karpet, pemberian dari donatur.

Alhamdulillah, malam tarawih perdana Ramadhan 1444 H di Mushalla Tanah Kosong berjalan dengan khidmat. Sepuluh orang hadir dan ikut shalat tarawih malam itu. Mereka adalah jamaah pengajian Dakwah Marginal binaan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta yang diasuh Ustadz Anshari Taslim Lc. Selain saya, ada Pak Kardonoh, Pak Sutarjo, Pak Satori, Pak Ahroya, Pak Sagim, Pak Wage, Pak Kliwon, Pak Zaenal Abidin, dan Mas Wahyu. Biasanya ada beberapa orang lagi. Di antaranya Pak Casmuro, Pak Faizin, Pak Sauri, Pak Kisno, Pak Jahidin. Tetapi malam itu mereka tidak hadir.

“Sebagian dari teman-teman sudah pada pulang kampung, Mas,” kata Pak Sutarjo.

Mereka pulang kampung lebih dulu karena sebagian punya tugas menjadi Pengurus Masjid. Misalnya Pak Casmuro. Beliau adalah Ketua DKM di kampung halamannya, Pemalang. Meskipun sehari-hari ia berada di Jakarta.

“Lho, kok bisa begitu, Pak? Kan Pak Casmuro sehari-hari nggak ada di rumah? Kenapa nggak yang lain aja yang jadi Ketua DKM?” Pertanyaan itu saya lontarkan ke Pak Casmuro, Rabu pagi, sesaat sebelum ia pulang kampung.

“Waktu pemilihan ketua DKM, saya justru menunjuk warga yang lain. Di sana ada pensiunan PNS, pegawai balai desa, dan guru. Melalui musyawarah warga, mereka semua sudah ditawarkan menjadi Ketua DKM. Tetapi tidak ada yang mau. Malah saya yang ditunjuk. Saya nggak tahu karena apa. Secara kapasitas, tentu saya merasa belum mampu, mas. Wong saya saja nggak bisa selalu hadir di rumah. Saya ada di rumah cuma kalau saya sedang pulang kampung" Jawab pak Casmuro.

"Misalkan di momen Lebaran Haji, ada pemotongan hewan qurban, saya pernah ditanya, mas, bagaimana cara memotongnya, berdoanya, dan lain-lain. Nah, jika saya mendapatkan pertanyaan dari masyarakat, kalau saya tidak tahu, saya selalu tanya Ustadz Anshari melalui telepon atau sms. Dulu saya belum punya WA. Alhamdulillah, Ustadz Anshari selalu menjawab, bahkan membimbing, sehingga kami bisa mengurus hewan Qurban sesuai syariat. Mungkin dari situ warga jadi menunjuk saya menjadi Ketua DKM,” sambungnya.

Pembinaan di Mushala Tanah Kosong adalah bagian dari program “Dakwah Marginal” yang diluncurkan Pesantren Bina Insan Kamil. Sejak 2017, para pengajar dari Pesantren Bina Insan Kamil silih berganti hadir untuk mengajarkan baca tulis Al Qur’an di Rawamangun, salah satu titik Dakwah Marginal. Lokasinya sering berpidah-pindah, karena memang tempat tinggal warga di sana menempati tanah kosong yang tak bertuan. Jadi, jika tanah itu digusur, mereka harus segera pergi dan mencari lokasi lain untuk tempat tinggal.

Alhamdulillah, walau telah 3 kali berpindah tempat, mereka masih istiqomah untuk terus mengaji. Bahkan, ada dari mereka yang sebelumnya belum kenal huruf hijaiyah sama sekali dan sampai sekarang pun mereka masih terbata-bata dalam membaca iqra. Ada juga yang sudah bisa membaca Al Qur’an walau belum fasih, akan tetapi masih mau belajar.

“Dulu saya sempat ragu ketika Ustadz Anshari menyerahkan salah satu santrinya untuk mengajar ngaji di sini, Mas. Saya gengsi. Masaksaya yang orang tua diajari anak muda? Tetapi seiring berjalannya waktu dan dibuktikan dengan dia (santrinya Ustadz Anshari, red) semangat mengajar dan saya mendengar bacaan Al Qur’an dia juga bagus, saya jadi berpikir, ternyata saya belum benar bacanya dan saya belum pernah menguji cara membaca saya apakah sudah benar atau belum,” kisah Pak Casmuro tentang pengalaman dia saat awal mengaji pada santri dari Pesantren Bina Insan Kamil.

“Alhamdulillah, ya Pak Casmuro. Semoga Allah selalu memberikan kita taufiq dan hidayah-Nya,” sahut saya.

Titik Dakwah Marginal di Rawamangun ini menjadi satu penyemangat tersendiri bagi saya. Melihat mereka berjuang membangkitkan semangat saya. Bagaimana tidak? Demi mencari nafkah, mereka harus jauh merantau dan terpisah dari keluarga. Bekerja memulung kayu bekas setiap hari dengan penghasilan tak pasti. Tetapi dengan segala keterbatasan dan beban hidup, mereka masih punya semangat besar untuk mengaji. Lantas mengapa kita yang masih muda dan secara zahir tak mengalami kesulitan seperti mereka justru kadang bermalas-malasan?

Padahal, tidak ada yang tahu kapan ajal datang. Bagi yang sudah tua, ajal pasti sudah dekat. Bagi yang masih muda, belum tentu jauh. Kekayaan harta, kebugaran fisik, kecerdasan otak, semua itu tidak akan mengubah waktu ajal walapun hanya sedetik saja. Ketika Allah berkehendak, semua pasti terjadi. Yang datang dari-Nya pasti akan kembali juga kepada-Nya. Seperti yang sudah Allah katakan dalam firman-Nya di Surat Al Baqarah ayat 156.

اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
“sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali”

Yang paling penting adalah bekalnya. Bekal untuk kembali. Sudah siapkah? Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan dalam beribadah, menyambut Ramadhan dengan sebagaimana mestinya. Semoga pula Allah berkenan menerima semua amal ibadah yang kita kerjakan.