Taushiyah Kebangsaan Jimly Asshiddiqie Singgung Soal Adab dalam Berdemokrasi

Sejumlah tokoh publik hadir dalam acara halalbihalal yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada Rabu, 1 Maret 2024. Di antaranya adalah Mantan Ketua MPR RI, Prof. Dr. M. Amien Rais; Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri; Gubernur Sumatera Barat, H. Mahyeldi Ansharullah; Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak; penyanyi legendaris Indonesia, Ebiet G Ade; dan Sekjen Kementan, Prihasto Setyanto, yang hadir mewakili Kementerian Pertanian. Acara yang diadakan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pukul 19.20 hingga 21.40 WIB itu berlangsung meriah.

Acara halalbihalal yang mengangkat tema “Kuatkan Silaturrahmi, Teguhkan Iman dan Taqwa untuk Wujudkan Persatuan Bangsa” itu menghadirkan Taushiyah Kebangsaan yang disampaikan oleh Ketua Dewan Penasihat ICMI, Prof. Dr. JimlyAsshiddiqie, SH. Di kesempatan itu, Jimly menyinggung tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024. Ketika itu, MK memutuskan menolak seluruh permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024, baik yang diajukan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 1 maupun nomor urut 3.

“Bahwa kita boleh saja menilai secara bebas. Ada yang setuju dengan putusan MK, ada yang tidak setuju. Cuma, sebagai kegiatan bernegara, ini sudah selesai. Tinggal kita tunggu pelantikan aja tanggal 20 Oktober 2024,” tegas Jimly.

Jimly menyentil, ketika masa kampanye Pilpres 2024 lalu, masyarakat kita ini terbelah menjadi lima. Pertama, yaitu golongan kosong-kosong. Golongan kosong-kosong itu artinya golongan masyarakat yang memilih golput (golongan putih). Artinya, yang memilih untuk tidak memilih salah satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bisa karena alasan teknis dan bisa karena alasan prinsip. Pokoknya tidak memilih.

“Itu satu golongan. Tetapi ada juga empat golongan yang lain. Yaitu kosong satu dengan segala kekerasan sikapnya; kosong dua; kosong tiga; dan kosong empat. Kosong empat itu artinya, ‘asal bukan kosong dua’. Terutama sesudah putusan MK dan kemudian ditetapkannya Gibran menjadi cawapres sebagai peserta pemilu, muncul itu golongan kosong empat,” urainya.

Baca juga: Halalbihalal ICMI Kirimkan Pesan Agar Kreatif untuk Ketersediaan Pangan

Lantas, apa yang bisa dipelajari dari proses Pilpres 2024 itu? Menurut Jimly,yaemosi publik yang marah sekali. Di perguruan tinggi dan di mana-mana. Emosi yang menunjukkan kemarahan publik itu berhubungan dengan proses maupun hasil pemilihan 2024 itu menurut dia terjadi karena dua hal.

“Pertama, orang marah ini dengan isu nepotisme. Isu dinasti politik. Ini yang pertama. Yang kedua, mengenai etika. Mengenai adab. Di dalam kegiatan bernegara, adashame culture. Rasa malu. Rasa malu itu tidak menonjol dalam praktik bernegara di hari-hari ini,” ucap Jimly.

Jimly pun mengajak hadirin untuk mencatat dua hal itu sebagai soal yang serius. Ia menyebut, barangkali inilah momentum bagi kita semua dalam hidup bernegara untuk memperbaiki dua hal itu.

“Ke depan, bagaimana kita melakukan modernisasi budaya politik dan pelembagaan politik dengan sungguh-sungguh. Ini penting sekali. Sebab, semua lembaga politik kita, semua partai kita, dihinggapi oleh budaya feudal. Hampir semuanya begitu. Nah, begitu juga soal etika. Di mana-mana ini terjadi pelanggaran atas larangan. Benturan kepentingan. Itu terjadi di mana-mana. Dan menjadi praktik yang dianggap benar. Padahal tidak benar,” ucapnya.

Jimly juga menyoroti, saat ini orang melihat masalah hanya dari segi benar-salah secara hukum. Padahal ada soal yang kedua, yaitu baik-buruk.

“Makanya saya selalu mempromosikan, kita membutuhkannot only the rule of lawtetapi jugathe rule of ethics. Di seluruh dunia, sekarang, saudara-saudara, praktik infrastruktur etika untuk jabatan publik sudah menjadi isu yangburningdalam praktik di semua negara modern. Nah, kita pun sudah mengikuti. Coba lihat, semua undang-undang yang mengatur lembaga negara, badan pemerintahan, komisi negara, badan, PNS, dan sebagainya, semua pasti memuat pasal yang mengatur mengenai kode etik dan ada komite etik untuk menegakkannya. Cuma, ini belum tertata. Hanya sektoral-sektoral. Jadi, saya rasa, ke depan ini harus kita benahi, supaya bernegara itu berakhlak. Akhlak itu abstrak. Konkretnya adalah adab.Adab itulah sebetulnya etika,” tegasnya.

Baca juga: Pesan Ketum ICMI di Hardiknas 2024, Masyarakat Teruslah Belajar

Jimly lantas menekankan sila pertama dan kedua dalam Pancasila. Di dalam dua sila itu ada tiga hal yang menjadi kunci kemajuan peradaban suatu bangsa.

“Di Pancasila ada Ketuhanan yang maha esa, ada kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi ketuhanan, keadilan, dan keberadaban, itu trisila yang merupakan kunci kemajuan peradaban suatu bangsa. Semua peradaban dalam sejarah selalu kemajuannya ditentukan oleh faktor ini. Soal ketuhanan. Soal keadilan. Dan soal keadaban. Oleh karena itu, (jika dilihat kondisi saat ini) demokrasi kita ini belum beradab. Itu sebabnya, indeks demokrasi kita ini masih nomor 54. Indeksnya. Rankingnya. Padahal, kuantitasnya nomor 3 di seluruh dunia dari segi jumlah penduduk. Tetapi dari segi pemilih dalam pilpres, yang terbesar itu Indonesia,” kata Jimly.

Jimly lantas mencontohkan Pemilihan Presiden di Amerika Serikat. “Joe Biden saja di tahun 2018 itukancuma dipilih oleh 80 juta orang. Itu pun denganelectoral college. Tidak langsung.Kita one man one vote. Maka, Presiden Terpilih di 2024 ini adalah presiden yang dipilih oleh pemilih terbanyak di seluruh dunia,” ujarnya.

Tetapi itu jika dilihat dari segi kuantitasnya. Sedangkan jika dilihat dari segi kualitasnya, tentu masih jauh dari kondisi ideal.

“Jadi, tugas kita (adalah untuk) meningkatkan kualitasnya ini. Antara lain soal adab dalam berdemokrasi. Kita harus tata ini. Kita harus perbaiki sistem etika. Bukan hanya hukum yang harus diperbaiki,” tegasnya.