Terapi Penyakit Hati
Hati manusia adalah raja bagi organ tubuh lainnya. Titahnya akan senantiasa dituruti. Apapun yang dibisikkan hati, tiada satupun anggota tubuh yang bisa memungkiri. Jika ia senantiasa memberikan titah yang baik, maka baik pula seluruh perilaku manusia. Sebaliknya jika ia memberikan titah maksiat, maka hancurlah kepribadian manusia.
Itulah sebabnya, setan begitu antusias untuk menempati setiap relung hati manusia. Akibat ulahnya, hati kita yang suci menjadi kotor berdebu, sakit, dan akhirnya mati. Namun, hal itu tak akan terjadi pada orang yang mampu menangkis semua bisikan setan dan selalu membersihkan hatinya dari segala debu dengki, hasad, riya, dan takabur.
Dalam kacamata tasawuf, berdasarkan kondisinya, hati manusia dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, hati yang bersih. Cirinya, setiap saat ia mengingat Allah. Ketika mendengar ayat-ayat-Nya, ia bergetar sehingga keimanannya makin bertambah. Kecintaan dan kebenciannya kepada sesuatu hanya didasarkan kepada Allah semata. la rindukan segenap perintah-Nya dan benci terhadap semua larangan-Nya. Seluruh waktunya diabdikan kepada Allah. Ia akan merasa bersalah dan sangat bersedih jika suatu saat dirinya lupa atau lalai tidak memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Setiap detik yang dilaluinya adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Kedua, hati yang mati. Yakni hati yang kondisinya laksana batu granit. Orang yang hatinya mati akan jauh dari hidayah dan sulit menerima kebenaran. Baginya nasehat bagai angin lalu. Bahkan ia menganggap nasehat itu akan merendahkan derajatnya. la egois, tidak mau menerima kritik orang lain. Emosional, jika pendapatnya ada yang membantah. Picik, merasa dirinya paling benar. Allah SWT menggambarkan dalam surat Al-Baqarah ayat 18:
"Mereka tuli, bisu, buta. Maka tidaklah mereka kembali ke jalan yang benar." – QS. Al Baqarah: 18
Manusia yang hatinya telah mati, hidupnya tak jauh beda dengan binatang. Baginya tak ada hukum halal dan haram. Tidak ada batasan haq dan bathil. Yang ada hanyalah kepuasan nafsu yang tak pernah berujung. Pantas jika Allah SWT menyebut mereka sebagai orang kafir.
"Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka apakah kamu beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan beriman. Allah telah mematikan hati mereka, pendengaran mereka, dan penglihatan mereka. Bahkan semuanya benar-benar tertutup." – QS Al- Baqarah: 6-7
Ketiga, hati yang sakit. Tandanya, ia senantiasa merasa gundah-gulana dan ragu. Nikmatnya iman dan Islam tidak pernah ia rasakan. Ibarat orang yang kehausan di padang pasir. Ketika akan minum, ia tak mampu menelan air karena tenggorokannya sakit. Dosa besar dipandangnya sekadar debu yang beterbangan, kecil, dan tanpa beban.
Orang yang hatinya sakit tetap gundah gulana ketika ayat suci Al-Qur'an dibacakan. la tidak menikmati bacaan itu sebagai kalam Ilahi. Jangankan bergetar, mendengarkannya pun tidak membuatnya betah. Ini karena pada mata hatinya terdapat penyakit ujub, riya, dan takabur. Sehingga ia tidak merasakan kehadiran Allah dalam setiap jengkal hidupnya.
Para ulama tasawuf telah mendeteksi setidaknya ada enam penyakit hati. Pertama, lemahnya akhlak. Orang yang sering meremehkan dosa kecil, lambat laun tidak menyesali lagi ketika ia mengulangi perbuatannya. Selanjutnya, ia tidak merasa berdosa lagi ketika melakukan dosa besar. Kedua, lenyapnya kehati-hatian (ihtiyat). la selalu memandang remeh sesuatu yang syubhat. Bahkan, pada tingkat tertentu, ia memandang seolah-olah barang syubhat itu sama dengan barang halal. Padahal, syubhat itu lebih besar peluangnya untuk menjerumuskan manusia ke jurang keharaman. (HR Bukhari).
Ketiga, terlena dengan kehidupan dunia. Dunia ini fana, tapi begitu banyak orang yang merasa akan hidup selamanya. Sehingga, ia selalu memperhitungkan untung dan rugi berdasarkan ukuran duniawi, bukan keuntungan atau kerugian untuk kehidupan di akhirat yang abadi. Keempat, takut mengalami penderitaan. Pada kondisi tertentu, ketakutan bisa menimbulkan kenekatan. Takut miskin, misalnya, pada tahap tertentu bisa mendorong orang nekat untuk menghalalkan segala cara. Padahal, kenekatan seperti itu akan segera mengirimnya ke jurang kebinasaan.
Kelima, kepekaan yang berlebihan. Seseorang yang terlalu perasa akan mudah tersinggung, marah, dan berburuk sangka. Akibat emosi yang tidak terkendali maka dengan mudah terjadi tindakan-tindakan anarki. Keenam, menyia-nyiakan waktu. Seseorang yang menyia-nyiakan waktu berarti telah mengorbankan berbagai kepentingan untuk bekal di akhirat nanti. Maka Ibnu Umar mengingatkan dalam riwayat Bukhari, "Jika engkau berada di waktu sore (untuk berbuat kebaikan), maka jangan menunggu waktu pagi. Begitu juga jika engkau berada di waktu pagi (untuk melakukan kebaikan), maka jangan menunggu waktu sore."
Orang mati mustahil kembali lagi ke dunia. Begitu pula hati yang mati, mustahil dapat dihidupkan kecuali dengan izin Allah SWT. Adapun hati yang sakit masih bisa diobati. Siapapun yang merasa hatinya telah terinfeksi, maka tidak ada jalan lain untuk segera mengobatinya agar terhindar dari kematian.
Terapi yang paling ampuh adalah kembali kepada nilai Kitabullah. Hasilnya, dijamin sembuh. Karena dokternya adalah Allah sendiri, sang pengendali hati manusia. Bahkan, secara nyata Al-Qur'an sendiri telah menyatakan dirinya sebagai Syifa (obat penawar) bagi segenap penyakit hati manusia.
"Wahai manusia, telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian, obat penawar bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." – QS Yunus: 57
Hanya dengan nilai-nilai Qur'ani kesehatan dan kebugaran hati akan tetap terjaga. Rasa kedekatan dengan Allah pun senantiasa terjalin. Melalui tadabbur Al-Qur'an, Kewibawaan dan Keagungan Allah SWT akan senantiasa hadir dalam jiwa. Sebagai konsekuensinya, segala larangan-Nya secara total akan ditanggalkan. Tak ada lagi kesanggupan untuk menyentuh larangan-Nya.
Ayi Nurlaelasari
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 26 TH. VII / 14 JUNI 2000 / 11 RABIUL AWAL 1421 H