Tidak Cawe-cawe Tetapi Ngawe-awe!
Cawe-cawe adalah istilah dari bahasa Jawa yang di tahun politik ini kerap kali kita dengar. Salah satu yang membikin istilah tersebut melejit dan akrab di telinga publik adalah karena diungkapkan oleh figur penting di republik ini, yaitu Presiden Joko Widodo. Beliau berulang kali mengungkapkan kata tersebut dalam banyak kesempatan.
Misalnya pada saat menanggapi pertanyaan terkait isu Gibran Rakabuming yang akan dijadikan sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Ketika itu, beliau tegas mengatakan tidak cawe-cawe urusan Capres. “Itu urusan partai politik dan koalisi, bukan urusan presiden,” demikian ucapnya.
Pada kesempatan yang lain, ketika wartawan mengonfirmasi tentang putusan MK terkait batas minimal usia 40 tahun bagi Capres, lagi-lagi Presiden Joko Widodo menggunakan kata cawe-cawe. “Saya tegaskan, saya tidak cawe-cawe urusan calon presiden maupun calon wakil presiden,” katanya.
Cawe-cawe sebagai istilah bahasa Jawa, memiliki makna “Ikut terlibat, nimbrung dalam suatu pekerjaan atau urusan, membantu, dan seterusnya.” Tidak cawe-cawe dengan demikian memiliki makna “tidak ikut terlibat”. Jadi, Presiden ingin menegaskan bahwa di tengah dinamika politik yang tengah berlangsung, utamanya terkait Capres dan Cawapres, tidak ada campur tangan beliau untuk mengarahkan, mengorkestrasi, bahkan dia ingin menepis tudingan apa pun terkait keterlibatannya dalam urusan itu.
Baca Juga : Ajian Bandung Bondowoso ala Gibran dan Kaesang
Sebagai Kepala Negara, Jokowi memang harus netral. Itulah yang ia lakukan. Secara formal dan verbal Presiden Joko Widodo telah mengungkapkannya di depan publik, beliau tidak cawe-cawe.
Masalahnya, perasaan dan persepsi publik kerap kali tak bisa dikendalikan dengan pernyataan formal dan verbal. Publik memiliki mata, telinga, dan logikanya sendiri. Walhasil, meski kepercayaan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo mencapai 80%, namun soal kasus terakhir, tampaknya kepercayaan publik tak lagi berbanding lurus dengan kepuasaan kinerja presiden sebagaimana dilaporkan oleh lembaga-lembaga survei.
Dunia politik adalah panggung besar. Orang tak perlu melotot untuk tahu apa yang terjadi di panggung itu. Apalagi di zaman medsos seperti sekarang ini, panggung politik layaknya sebuah ruang teater yang transparan, penuh cctv, perekam digital visual, audio, atau perpaduannya. Parahnya lagi, bahkan cicak-cicak yang nempel di dinding teater itu punya ambisi menjadi buaya dengan berjualan berita dan gosip politik yang terjadi di dalam teater. Sehingga tak ada yang tak bocor.
Intinya, publik memiliki pasokan data dan fakta yang lebih dari cukup untuk dikunyah. Tahu mana yang harus ditelan dan mana yang harus dilepeh kembali. Meski berulang kali Pak Jokowi berbicara, “tidak cawe-cawe”, tetapi publik juga bisa menyimpulkan bahwa runtutan kejadian yang sistematis, gayung yang selalu bersambut, dan ending yang membenarkan semua dugaan dan persepsi public, membuktikan satu hal: adanya orkestrasi!
Presiden Joko Widodo boleh saja mengatakan tidak cawe-cawe, tetapi berhimpunnya beberapa ketua partai yang kebetulan menjadi pembantu beliau di kabinet di dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) membuktikan hal sebaliknya. Presiden mungkin tidak cawe-cawe, tetapi tangan kekuasaannya “ngawe-awe”.
Ngawe dalam bahasa Jawa berarti “memangil dengan lambaian tangan tanpa bicara, menarik hati sehingga menggerakkan, dan seterusnya.” Dengan posisinya sebagai atasan semua menteri, Jokowi bebas ngawe-awe semua menterinya. Bisa ngawe-awe Menhan yang juga Ketum Gerindra, bisa ngawe-awe Menko Bidang Perekonomian yang juga Ketum Golkar, bisa ngawe-awe Mendag yang Ketum PAN, apalagi sekadar ngawe-awe Ketua Mahkamah Konstitusi yang jelas-jelas adalah adik iparnya sendiri.
Bawahan yang diawe sudah pasti semrintil, dengan semangat dan perasaan gembira datang menghadap. Maklum dipanggil bos besar. Lazim terjadi dalam organisasi apa pun.
Baca Juga : MK Tolak Gugatan Batas Maksimal Usia Capres, Prabowo-Gibran Segera Daftar ke KPU
Sebagian besar publik dan terutama mantan loyalis pendukung Presiden Jokowi sendiri tahu, beliau sedang menggunakan jurus emak-emak di jalanan; “sign kiri, belok kanan” bikin shock. Begitu kata Eko Kunthadi, pegiat sosial yang pernah menjadi die hard-nya Jokowi, dalam sebuah wawancara di TV.
Soal diam tetapi ngawe-awe ini, mengingatkan kita pada lagu dolanan dalam bahasa Jawa yang cukup sering kita dengar saat masih kecil. Judulnya “Padang Bulan.” Konon lagu ini diciptakan oleh Sunan Giri. Begini bunyi penggalan syairnya:
“Yo pra kanca dolanan ing njaba: Ayo teman, kita bermain di luar (rumah)
Padhang wulan padhange kaya rina: Lagi terang bulan, terangnya seperti siang
Rembulane e sing awe-awe: Bulannya yang memanggil-manggil
Ngelingake aja padha turu sore: Mengingatkan jangan tidur sore hari”
Bulan pada posisinya di ketinggian, dengan kharismanya yang cerah, dan cahaya terangnya yang memesona digambarkan oleh Sunan Giri mampu “ngawe-awe”, memanggil-manggil khalayak untuk berkerumun, bermain di luar rumah (bukan rumah politik lama, loh). Seakan bulan itu mengingatkan jangan tidur terlalu awal (saat masih sore). Perjuangan masih panjang. Jika mungkin suasana terang bulan ini diabadikan terus… ehm, oleh anak cucu.