Titi Anggraini (Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia): “Sejak Awal, Pemilu 2024 Sudah Menghadapi Tantangan”
Pemilu (Pemilihan Umum) sejatinya bukan sekadar instrumen demokrasi. Tetapi, pemilu sebagai instrumen demokrasi adalah pemilu yang bebas dan adil (free and fair elections). Pemilu sebagai instrumen demokrasi itu juga sejalan dengan deklarasi universal hak asasi manusia dan juga konvensi hak sipil politik. Hal itu juga ditegaskan di pasal 22E ayat 1 undang-undang dasar 1945, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali.”
Hal itu dikatakan aktivis yang juga Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi Indonesia, Titi Angraini, saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik bertema “Akankah Putusan MK Memenuhi Rasa Keadilan?” di Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2024). Di acara yang berlangsung pukul 19.10 sampai 21.40 WIB itu dihadiri para mahasiswa dan Ketua-Ketua BEM seluruh Indonesia yang terwakili.
“Kita sering lupa, seolah-olah ciri dari demokrasi itu cuma pemilu saja, titik. Padahal, yang dibutuhkan dari pemilu sebagai instrumen demokrasi adalah Pemilu yang bebas dan adil. Free and fair elections. Hal itu kalau menurut konstitusi kita bahkan lebih ditegaskan lagi di Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar. Pemilu bukan sekadar pemilu, tetapi pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap lima tahun sekali. Jadi, pasal 22E ayat 1 itu sejatinya adalah bagian dari bagaimana konstitusi menghendaki praktik pemilu yang sejalan dengan deklarasi universal hak asasi manusia dan juga konvensi hak sipil politik, karena pemilu yang konstitusional kalau menurut pasal 22E ayat 1 itu adalah pemilu yang periodik dan genuine. Pemilu yang berkala, reguler, setiap 5 tahun sekali, tetapi juga murni. Murni itu hanya bisa dihasilkan kalau prosesnya langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itu yang disebut dengan periodic and genuine elections,” urai Titi yang juga Dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Titi menekankan kembali, pemilu yang dikehendaki dalam deklarasi universal hak asasi manusia adalah pemilu berkala, juga genuine authentic (murni), serta free and fair (jujur dan adil). Sehingga, ketika di awal tahun 2021 ada wacana penundaan pemilu, menurut dia, jelas bertentangan dengan konstitusi. Sebab, konstitusi menghendaki regularitas.
Baca juga: Halal bi Halal di PBNU, Gus Yahya Minta Jangan Tanya Berapa Persentase NU di Kabinet
“Regularitas itu bagian dari penetapan asas konstitusionalisme. Pembatasan kekuasaan. Salah satu cara untuk merusak pembatasan kekuasaan adalah dengan menunda-nunda pemilu, dan hal itu sempat menjadi narasi di pemilu kita di awal 2021 sampai 2022. Pemilu harus reguler dan itu menjadi bagian dari instrumen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan menjadi bagian dari upaya kita untuk menerangkan pembatasan kekuasaan. Tetapi itu saja tidak cukup. Pemilu juga harus genuine. Harus. murni Dia harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang menurut konstitusi kita luber dan jurdil,” tegasnya.
Anggota Dewan Pembina PERLUDEM itu melanjutkan, kita tak bisa membenturkan pemilu yang periodik dengan pemilu yang genuine. Keduanya harus satu paket. Itulah yang dihendaki konstitusi. Satu paket, yaitu pemilu yang luber dan jurdil sebagai refleksi Pemilu yang genuine, dan juga berkala, reguler, pasti, setiap 5 tahun sekali, sebagai bagian dari menjaga pembatasan kekuasaan.
Titi lantas menyebut, sejak awal Pemilu 2024 sudah menghadapi tantangan untuk bisa dilaksanakan. Di antaranya ada isu tentang 3 periode kepemimpinan, isu penundaan pemilu karena alasan kita belum pulih dari upaya menghadapi Covid-19, dan lain-lain. Di antara semua tantangan itu, tahun 2024 kita tetap berpemilu.
“Saya tidak (bisa) membayangkan, kalau di 2021 narasi soal penundaan pemilu itu ‘go’, sekarang mungkin kita nggak bicara soal ini. Tetapi ternyata, kita menghambat yang satu, yang lain muncul. Ketika pemilu bisa dilaksanakan, pertanyaannya pemilu yang bagaimana dulu? Tema kita kan soal keadilan pemilu. Pemilu yang kita kehendaki. Oke, kita sudah dapet pemilu yang regular, nih. Lima tahun sekali. Siklusnya 2019, lalu sekarang 2024. Regulernya sudah dapat. Tetapi yang genuine-nya, apakah kita sudah dapat atau belum? Nah itu yang kita diskusikan sekarang,” tuturnya.