Titip Ukhuwah Islamiyah kepada Ketua MUI Baru
Melalui rapat pleno yang diselenggarakan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, hari ini (15/8/2023), segenap pimpinan MUI telah mengambil keputusan untuk menetapkan KH Anwar Iskandar sebagai Ketua Umum MUI. Beliau menggantikan KH Miftachul Ahyar yang mengundurkan diri pada Maret 2022. KH Anwar Iskandar sebelumnya menduduki jabatan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Salah satu tokoh senior di jajaran PBNU itu juga menjadi Wakil Rais Aam PBNU periode 2021-2023.
Kaum muslimin di Indonesia patut bersyukur dengan terpilihnya Kiai Anwar Iskandar sebagai Ketua Umum MUI. Sebagai tokoh sepuh, beliau tentu telah banyak mencicipi asam-garam dan dinamika dakwah Islam di tanah air. Kepemimpinan beliau sudah barang tentu menghadirkan banyak harapan agar kiranya MUI mampu mengemban amanah dakwah dan menjadi suluh bagi kaum muslimin Indonesia untuk istiqomah dalam menjalankan ajaran Islam.
Keberadaan sosok pemimpin yang definitif menjadi sangat penting bagi MUI. Apalagi memasuki tahun politik seperti sekarang ini. Dinamika politik kerap mengoyak ukhuwah Islam. MUI dituntut mengambil peran strategis dalam semua ketegangan dan kegentingan tersebut. Sosok nakhoda yang autoritatif menjadi amat menentukan dalam mengemban peran tersebut.
Baca Juga : ASEAN dan MUI Dorong Indonesia Jadi Contoh Perangi Islamofobia bagi Dunia
Ibarat kapal, secara kelembagaan MUI sebenarnya telah menetapkan tujuan akhir perjalanan yang akan dia arungi. Ada banyak pelabuhan yang harus disinggahi dalam rangka mendekatkan pada dermaga akhir yang telah ditetapkan sebagai visi MUI. Nakhoda MUI bertugas untuk mengarahkan bahtera yang dinakhodainya agar tetap pada jalur dan mengarah ke tujuan akhir, dengan memimpin para awak kapal agar mematuhi tanggung jawab masing-masing, sehingga kapal berfungsi baik dan dapat mencapai visi pelayarannya.
Akan ada ombak dan badai. Itu sunatullah dan kepastian hidup. Nakhoda hanya bertugas untuk mengarahkan kapal agar tetap pada koridor pelayaran. Tentu boleh meliuk, melakukan manuver jika dipandang perlu, agar perahu tak kandas, atau bahkan menerjang ombak besar jika tidak ada lagi pilihan untuk mengelak. Sebab, tujuan pelayaran ini sudah ditetapkan dengan koordinat, manifest, dan rute yang telah ditentukan.
Untuk itulah seorang nakhoda diperlukan. Memimpin pelayaran agar sampai di tujuan dengan selamat. Godaan terbesarnya, karena memegang power dan kemudi, nakhoda bisa tergoda, lupa, atau mungkin kesulitan untuk membedakan mana tujuan kapal dan mana tujuan pribadinya. Apalagi, kapal besar bernama MUI yang pada setiap laju pergerakannya berpotensi menciptakan riak, bahkan gelombang yang tak kecil.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah berhimpunnya para ulama dan cerdik pandai dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia. Fungsi keberadaan MUI ditilik dari latar sejarahnya adalah dalam rangka membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Tentu fungsi tersebut dalam konteks dakwah Islam dan peningkatan wawasan keislaman masyarakat.
Sejauh ini, MUI cukup berhasil dalam menjalankan fungsi-fungsinya itu. Bahkan kegiatan bimbingan dan pembinaan keislaman telah berkembang begitu pesat. MUI dengan sangat baik mampu membangun orkestra kegiatan bimbingan dan pembinaan umat yang berlangsung di organisasi-organisasi anggotanya. Sehingga, dakwah Islam terasa begitu dinamis di Indonesia. Gencarnya sertifikasi halal (dahulu) juga menunjukkan bahwa perlindungan atas hak-hak konsumen muslim semakin terjamin di Indonesia. Itu semua adalah bagian dari peran penting yang telah dimainkan secara apik oleh MUI sejauh ini, meski sekarang sudah tidak lagi.
Tantangan terberat MUI di masa yang akan datang mungkin lebih pada peran melindungi umat Islam dari perpecahan. Di dalam satu dekade terakhir umat Islam pasti merasakan, bahwa ukhuwah Islam rentan mengalami keretakan. Salah satu sisi paling rawan terkait ancaman terhadap persatuan umat Islam adalah dinamika dan agenda politik sebagaimana telah disinggung di atas.
Dua kali pemilihan presiden dalam rentang waktu 10 tahun terakhir terasa sekali menggerus energi persatuan umat, bahkan nyaris membuat defisit ukhuwah dan persaudaraan umat Islam. Ancaman perpecahan begitu nyata dan meluas hingga ke daerah-daerah.
Persatuan di tubuh umat Islam menggaransi keutuhan NKRI. Jika umat Islam gagal menjaga ukhuwah dan persatuan, maka dampaknya akan serius bagi keutuhan jati diri kita sebagai bangsa. Sungguh, sinyalemen ini tak berlebihan menginagt 85 persen warga negara kita adalah umat Islam dan sejarah telah membuktikan, bahwa persatuan di kalangan umat Islam adalah modal penting bagi kelestarian NKRI.
Baca Juga : Milad ke-48 MUI: Agendakan Deklarasi Kebangsaan
MUI harus menjadi perekat ukhuwah Islam, setidaknya di tingkat elit organisasi Islam yang menjadi anggota MUI. Syukur-syukur jika MUI menggalang gerakan ukhuwah Islam ini secara nasional dengan melibatkan semua elemen umat Islam di seluruh Indonesia, karena Pilkada di daerah juga memberi dampak kurang lebih serupa terhadap kelanggengan ukhuwah Islam. Bukan berarti umat harus dikendalikan hak-hak politiknya, justru yang terpenting adalah bagaimana berpolitik secara dewasa dan sesuai adab Islam sembari mengajak para politisi Islam agar tidak melakukan politisasi agama untuk kepentingan jangka pendek mereka.
Salah satu agenda penting terkait hal tersebut, MUI harus memulai dari internal MUI sendiri. Elit MUI jangan mudah silau oleh godaan politik dan menjadikan MUI sebagai kendaraan politik! Insya Allah amanat mengelola MUI jauh lebih mulia di sisi Allah dan manusia, melebihi jabatan mana pun yang ada di dunia ini.
Selamat bekerja, Pak Kiai. Kami titipkan ukhuwah yang mulai retak ini, agar rekat kembali.