TPDI Laporkan Presiden dan Ketua MK ke KPK

Para Advokat yang tergabung dalam TPDI dipimpin koordinatornya, Erick S. Paat, SH, MH. Mereka menyampaikan Laporan/Informasi kepada KPK tentang dugaan terjadinya “Tindak Pidana” Kolusi dan/atau Nepotisme, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 21 dan 22 UU Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam laporan itu, TPDI antara lain melaporkan presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep dan Ketua MK Anwar Usman karena dugaan telah melakukan praktik kolusi dan nepotisme.

Di dalam Summary Laporan/Informasi Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) kepada KPK yang diterima sabili.id, terdapat sejulah dasar hukum yang dikemukakan TPDI untuk membuat laporan tersebut. Menurut TPDI, dasar hukum laporan dan/atau informasi yang mereka sampaikan itu adalah Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme dan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selain itu, juga UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelaporan TPDI ke KPK itu adalah buntut dari keputusan Mahkamah Konstitusi minggu lalu yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2007 terkait batas usia minimal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. TPDI mengemukakan sejumlah pokok pelaporan tersebut. Di antaranya adalah fakta bahwa Anwar Usman, Hakim Konstitusi merangkap Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 26 Mei 2022 menikah dengan Idayati, adik kandung Presiden Jokowi dan tante dari Gibran Rakabuming Raka.

Baca Juga : Pungli 4 Miliar Rupiah di Rutan KPK: Firli Wajib Diganti!

Maka, jabatan sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua Mahkamah Konstitusi yang disandang Anwar Usman, dalam tugas yustisial dan tugas-tugas kenegaraan lainnya yang bersifat non yustisial, akan selalu beririsan bahkan berhadapan secara vis a vis dengan jabatan Presiden yang diemban Jokowi. Misalnya, dalam sengketa Uji Materiil UU terhadap UUD 1945, sengketa Pemilu (Pilpres), sengketa Pilkada dan/atau jika DPR RI mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Di dalam kondisi-kondisi tersebut, posisi Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua Mahkamah Konstitusi dipandang berada dalam benturan kepentingan (conflict of interest) ketika berhadapan dengan Presiden Jokowi yang adalah kakak iparnya sendiri. Maka, terdapat potensi terjadinya Kolusi dan Nepotisme akibat hubungan keluarga antara Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan Presiden Jokowi. Sehingga, menurut TPDI Anwar Usman seharusnya mengundurkan diri secara permanen dari MK.

Selanjutnya, TPDI meminta Pimpinan KPK cq Penyelidik dan/atau Penyidik untuk melakukan suatu rangkaian Penyelidikan dan Penyidikan, terutama guna menemukan apakah terdapat peristiwa pidana Kolusi dan Nepotisme dalam perkara yang dilaporkan atau diinformasikan itu, dengan terlebih dahulu memeriksa sejumlah orang terkait dengan tindak pidana Kolusi dan Nepotisme dimaksud. Sejumlah orang yang dimaksud itu antara lain adalah Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep, Mensesneg Pratikno, Ketua Umum Partai Genrindra, Prabowo Subianto, dan lain-lain.

TPDI pun menyampaikan laporan tersebut kepada Pimpinan KPK, dengan harapan agar KPK segera melakukan pemeriksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dengan Prioritas Tinggi. Sebab, laporan itu terkait dengan keinginan untuk melahirkan pemimpin nasional yang bersih dan bebas dari KKN serta tidak melanggar HAM.